Sebuah Cerpen: Mahar Pemikat Bidadari

Langit malam kali ini sedang berwajah duka, semisal wajah hati yang sedang berbela sungkawa. Jutaan bintang yang harusnya nampak di angkasanya, tiba-tiba hilang dalam kuasanya mendung. Suara angin yang datang dari arah gurun terdengar menderu, menimbulkan bunyi tak beraturan ketika menghantam tiang-tiang penyangga dan terpal plastik yang menaungi kemah-kemah para penduduk Gaza yang rumahnya porak poranda akibat ulah zionis, siang tadi.




Aminah sedang duduk sendirian, di depan pintu tenda. Kedua tangannya memeluk erat tubuhnya sendiri, berharap rasa hangat bisa menetralisir udara dingin yang kerapkali menyusup ke kain tebal yang sudah melingkar di tubuhnya. Namun agaknya para angin tersebut memang sedang bersemarak sekali malam itu. Sapuan beku kian deras menampar perlahan sosoknya, lantas menelusup masuk ke dalam rumah tak berdinding yang ada di belakangnya.

“Apakah kau baik-baik saja, Umi?“

Hisyam, anak lelakinya, tiba-tiba datang dari arah belakang dan bertanya seperti itu. Ia lantas duduk di sebelah Aminah, yang saat itu masih tepekur hikmad, mengingati kejadian beberapa hari lalu, ketika suami tercintanya meninggal terkena amukan jet-jet tempur para Zionis.


Hanya ada anggukan kepala, guna menimpali pertanyaan dari anaknya. Hisyam pun mengerti kalau uminya sedang berduka; mengais sedih atas meninggalnya suami tercinta.

“Minum coklatnya dulu, Umi, supaya badannya terasa hangat.” kata Hisyam lagi seraya menyodorkan sebuah cawam kepada Uminya.

Mendapat tawaran tersebut, mata Aminah menyipit sesaat. Menilai ketulusan yang terpancar di raut anak semata wayangnya. Beberapa saat kemudian, ia pun menerima cawan tersebut lalu meminumnya perlahan.
Mereka berdua terdiam. Masing-masing menerawang ke arah bukit di sebelah barat. Sementara itu, awan pekat masih terus menapak, berpawai duka di atas langit Gaza. Gerak angin terus merambat, membuat pijar api unggun menari-nari dalam nuansa gurun.

“Umi, subuh-subuh nanti aku harus bergabung kembali bersama teman-teman mujahidin. Para zionis sudah mulai bergerak mendekat perbatasan. Itu berarti kami harus bersiaga. Kami akan menghadang mereka.” suara Hisyam lirih, namun masih bisa terdengar oleh Aminah.

“Kini aku hanya punya engkau. Apakah kau rela meninggalkanku?”

Hisyam menjadi bingung mendapatkan pertanyaan itu dari sang umi. Ia diam, larut dalam pikiran-pikiran yang berat dan hatinya menjadi bercabang. Beberapa saat kemudian, ia rebahkan kepalanya ke pundak Aminah. Seketika itu juga ada tangisan. Ada air sedih yang meleleh dari dua sudut kelopak matanya.

“Apakah umi melarangku untuk ikut berperang?” tanya Hisyam dengan kepala masih tersender di pundak Uminya.

“Tidak.... Demi Allah umi tak melarang kau berjihad mempertahankan harga diri kita, Nak. Umi sangat rela melepasmu. Umi merestui kau memasang dadamu untuk menghadapi para kafirun itu.”

”Aku takut meninggalkan umi sendirian, jika aku meninggal kelak.” Hisyam berkata dengan lemas.

”Kau tidak usah memikirkan hal itu, Nak. Sesungguhnya takdir memang memiliki garis edarnya sendiri. Bergerak atas izin dan ketetapan dari Allah. Maut, rizki, jodoh....”

Aminah tak mampu melanjutkan perkataannya. Ia mendesah pelan. Matanya melirik wajah samar Hisyam yang masih tersudut di lehernya. Tak ada yang kurang dari sosok pemuda yang lahir dari rahimnya itu. Keshalehannya, kemuliaan hatinya lebih-lebih militansi jihadnya yang tak perlu di ragukan lagi. Di usianya yang masih enam belas tahun ini, ia sudah terpanggil untuk berjihad dan tergabung dalam Brigade izzudin al qassam, salah satu sayap bersenjata gerakan Hammas.

”Mana mungkin seorang ibu melarang anaknya untuk meminang bidadari syurga.” kata Aminah kemudian. ”Kau hanya amanat yang di titipkan Allah kepadaku. Dan aku akan merasa durhaka kepada Allah apabila aku menahanmu disini, sementara para mujahid yang lain masih terus membelalakkan mata, bersiap menghadapi peluru musuh maupun bom yang di jatuhkan oleh jet tempur musuh. Sesungguhnya kau adalah salah satu lelaki terbaik di Gaza. Lawanlah mereka dengan segenap kekuatan serta keberanianmu. Jangan gentar untuk berjuang di jalan jihad.”

Hisyam tak mampu berkata apa-apa lagi, setelah penjelasan Aminah terurai pada hatinya. Di satu sisi ia tak gentar untuk berjuang di jalan jihad. Akan tetapi, suatu pilihan yang berat jika meninggalkan uminya sendirian di dunia ini, jika takdir syahid benar-benar memeluknya.

Tak beberapa lama kemudian, karena badai gurun sepertinya akan datang, Hisyam meminta uminya untuk masuk ke dalam tenda, bergabung bersama beberapa kerabat lain yang rumahnya juga hancur. Sementara itu, Hisyam merebahkan diri di dekat perapian.

* * * *
Ketika membuka mata, Hisyam tidak tahu saat itu sudah jam berapa. Namun firasatnya mengatakan kalau sebentar lagi waktu subuh akan tiba. Ia berbegas mengumpulkan kesadarannya, lantas ia berdiri. Sekejap ia memandang ke arah kebun kurma yang masih terlilit gelap. Ia rentangkan dua tangan, menggerakkan kepala ke kanan-kiri, lantas ia berjalan tiga langkah ke depan untuk bertayamum. Ia hendak menunaikan shalat tahajjud.

Ketika ia hendak menyudahi dzikir dan doanya, suara azan subuh dari speaker-speaker masjid sudah menggema di langit Gaza. Suara takbir yang menggemuruh keras itu, seakan menjadi suplai kekuatan bagi para mujahidin yang hingga ahad pagi itu, tanggal delapan Muharram, masih bersiap memasang dada untuk menghadapi para musuh yang kini sudah ada di perbatasan. Setelah iqamat selesai terdengar, Hisyam kemudian melanjutkan dzikirnya dengan shalat subuh.

Bertepatan dengan ia selesai berdoa, ia segera berdiri dan berjalan mendekat ke arah tenda. Ia melongok uminya dan beberapa orang di dalam belum terbangun. Sebenarnya ia ingin berpamitan untuk bergabung kembali dengan para mujahidin al qassam. Namun ia tak kuasa untuk membangunkan Uminya yang kelihatannya masih terlelap.

Ia pun pelan-pelan mendekat ke arah uminya. Saat sudah sampai di depan tubuh uminya, ia berlutut dan memandang uminya dengan perasaan cinta yang begitu dalam.

”Umi, doakan agar hari ini aku masih bisa bernafas hidup, agar aku bisa lebih lama lagi ikut membela rakyat Gaza. Namun apabila Allah memanggilku hari ini, maka hal itu adalah berita gembira bagimu. Lengkap sudah kau mempunyai orang-orang yang syahid di jalan Allah...”

Setelah membisikkan kalimat itu, Hisyam mencium kening uminya dengan lembut. Sebenarnya pun Aminah tahu, kalau anaknya barusaja berkata kepadanya dan mencium keningnya. Ia hanya berpura-pura tidur saja, agar anaknya tidak berat meninggalkannya. Ia pikir, jika ia bangun dan Hisyam berpamitan kepadanya, maka Hisyam tentu akan sedih. Dan menurutnya, kesedihan tersebut akan menganggu konsentrasinya ketika menghadapi penjajah.

Hisyam berjalan dalam samar kegelapan, untuk menuju ke rumah Khalid, salah seorang sahabat mujahidin. Disanalah ia akan berkumpul dengan para mujahidin yang lain. Ketika ia melewati jalan kota, para penduduk gaza msaih banyak yang berkumpul di beberapa tempat. Mereka semua takut masuk ke dalam rumah, di karenakan kapan saja jet-jet tempur zionis bisa membising di atas Gaza lalu menjatuhkan bom-bom ke rumah penduduk.

Bebrapa saat kemudian, Hisyam sudah sampai di rumah Khalid. Di tempat itu ia sudah menemukan puluhan mujahidin yang berkumpul untuk mengatur strategi.

”Inilah moment yang paling tepat untuk memberi pelajaran kepada para zionis biadab itu. Hari ini, sudah pasti mereka akan lebih gencar melancarkan agresinya. Bagaimanapun, kita adalah para pejuang Allah. Kita adalah perpanjangan tangan Allah untuk melindungi para penduduk Gaza dari ancaman orang-orang yahudi itu. Janganlah pernah kita berjiwa seperti tentara Fatah di bawah kendali Mahmoud Abbas, yang hanya berpangku tangan ketika melihat saudara-saudaranya di bantai.”

Ahmad el-Gandur, komandan senior brigade al qassam barusaja memberikan semangat kepada para mujahidin. Ketika kalimat terakhir dari el-Gandur sudah terucap, para mujahidin serentak memekikkan asma Allah, sebagai lambang kebesaran kecintaan mereka kepada-Nya.

Para mujahidin sudah mulai bersiap. Satu senapan terkalung di setiap tubuh mereka. Cadar-cadar serempak di tutupkan ke wajah mereka. Namun kali ini ada yang nampak berbeda. Ada satu di antara mujahidin yang memanggul senjata baru, yakni RPG 29, sebuah rudal anti Tank. Mereka akan memberikan kejutan kepada para tentara zionis yang selalu berlindung di balik kendaraan Tank mereka.
Mereka mulai bergerak ke arah timur, karena di kabarkan kemarin disana para zionis sudah sangat dekat dengan perbatasan. Hampir selama tiga jam mereka berkumpul di sebuah bangunan yang dekat dengan garis perbatasan, di gaza timur. Sebenarnya mereka sudah melihat beberapa kali konvoi pasukan zionis, tapi mereka ingin menunggu saat yang tepat.

”Bersiaplah. Kita akan segera menyerang.” aba-aba itu berasal dari mulut sang komandan pasukan ketika beberapa Tank musuh sudah terlihat di jarak beberapa ratus meter sana.

”Hisyam, kau sudah sudah siap, Nak?” tanya Ramzi kepada Hisyam. Ramzi ini adalah seorang sahabat dekat ayahnya, kawan seperjuangan ketika ayahnya Hisyam masih hidup.

Hisyam tersenyum kemudian mengangguk.

”Insya Allah. Jihad telah mengajarkan saya untuk tidak takut dengan musuh Allah... Allahhu Akbar!” jawab Hisyam lirih tapi di ucapkan dengan nada semangat.

Seperti mendapat kekuatan baru, dadanya bergetar dalam keyakinan. Jari tangannya bergegas bersiaga di ujung pelatuk, menunggu aba-aba dari sang komandan. Sudah hampir tiga minggu ini ia bergabung dalam pasukan ini. Kemampuan perangnya memang masih sangat jauh bila di bandingkan dengan para mujahidin yang lain. Ia bahkan belum pernah mendapatkan pendidikan militer, selain ia di latih untuk menembak. Ia baru masuk melamar menjadi salah satu pasukan al qassam ketika jiwanya merasa terpanggil untuk mempertahankan tanah Gaza. Hingga kemudian ia memutuskan bergabung dengan ayahnya, yang lebih dulu menjadi militan al qassam.

Letusan senjata, ledakan rudal, asap-asap bom, cipratan anyir darah dan aroma kematian, sudah tak lagi asing bagi dirinya. Sejak kesyahidan ayahnya serta para sahabatnya beberapa hari lalu, hatinya mulai terlatih untuk memaknai arti kematian yang sesungguhnya.

Bagi dirinya sekarang ini, tak ada istilah mati dalam memperjuangkan harga diri agama, dalam jihad fiisabilillah. Karena kematian adalah lorong untuk mencapai kehidupan yang sebenarnya. Tiap manusia pasti akan menjumpai lorong tersebut. Hanya masalah waktu dan pilihan jalan yang akhirnya membedakan tempat setiap ruh untuk mendapatkan kedudukan mulia di firdaus-Nya atau justru akan terbenam di neraka. Berbanggalah bagi mereka yang beriman, karena kematian mereka adalah lorong indah untuk mengantar mereka pada kedudukan yang mulia. Dan jalan jihad hanya menjanjikan satu tempat, yaitu Surga! Para bidadari pun tengah merindukan orang-orang yang berjuang di jalan ini.
”La haula wala quwwata Illa billah ... marilah kita tumpas para kafirun yang hendak merampas tanah kita, yang hendak memusnahkan para kaum muslimin.” komandan pasukan sudah memberikan aba-aba untuk menyerang. Para mujadihin serempak meneriakkan asma Allah.
"Allahu Akbar"
"Allahu Akbar"
Pekikan asma Allah menjadi kekuatan besar yang menambah semangat dalam jiwa, menjadikan dada tak gentar menghadapi musuh yang bersenjata lebih kuat.
Pertama-tama seorang mujahid melepaskan tembakan senjata baru RPG 29 kearah sebuah Tank. Ya, setelah terkena ciuman rudal tersebut, serta merta Tank zionis itu terbalik dan hancur. Para pasukan zionis yang lain segera mengambil posisi untuk menghadapi para mujahidin. Darisitulah akhirnya terjadi tembak-menembak yang cukup sengit.

”Ahhhh..... Allahu Akbar Allahu Akbar.....” sebuah teriakan keluar dari mulut seorang mujahidin yang berada persis di samping Hisyam. Hisyam pun segera menoleh dan melihat Halim yang barusaja terpental ke belakang. Rupanya ia barusaja tersengat salah satu peluru zionis.
Ia menghentikan tembakannya dan segera mendekat ke arah Halim. Awalnya ia benar-benar bingung apa yang harus ia lakukan. Untuk kenyataan yang ia hadapi sekarang adalah, ia telah melihat tubuh besar Halim tersimpuh penuh bercak darah. Matanya beberapa kali mengerjap dan berair. Akan tetapi wajahnya nampak berseri dan sesekali bibirnya masih berusaha untuk tersenyum.
Laki-laki yang berwatak sangat keras ini memang beberapa kali mencibir dan meremehkan kemampuan Hisyam dalam peperangan. Ia menganggap kalau keikutsertaan remaja seperti Hisyam terlalu berisiko dan hanya akan membuang-buang amunisi saja.

Tapi sesungguhnya jihad juga menuntun manusia untuk mengenal keikhlasan. Dalam hal ini adalah keikhlasan untuk membuka hati untuk memaafkan dan menerima keterbatasan sahabat sebagai makhluk ciptaan Allah yang dhoif. Pemahaman itulah yang membuat Hisyam kemudian memeluk tubuh sahabatnya tersebut serta membalas senyum yang Halim berikan kepadanya. Ia pula yang menuntun bibir Halim untuk bersyahadat, sebelum akhirnya mata Halim semakin melemah dan terpejam dalam kesyahidannya.

”Innalillahi wa inna ilahi raji’un . satu lagi mujahid yang terbang menuju kepada Engkau ya Allah.” bisiknya sembari mengusap wajah Halim lantas ia mencium keningnya.

Setelah meletakkan kembali tubuh Halim di tanah, ia segera mengambil senjatanya lagi dan berkonsentrasi membidik musuh yang berlindung di antara puing-puing Tank yang sudah terbalik. Di saat bersamaan ia melihat pula beberapa Tank sudah hancur, akibat elusan senjata anti Tank yang mereka baru gunakan hari itu. Ya, setelah memastikan bahwa mereka telah menang, komandan pasukan meminta pasukan untuk mundur, sebelum bantuan zionis berdatangan.

* * *
Sore itu langit cukup cerah, dengan kilauan keemasan matahari masih terserak indah di arah barat sana. Akan tetapi, keindahan langit sedang terusik oleh adanya jet-jet tempur para zionis yang sudah sejak puluhan menit yang lalu terus berkeliling di langit Gaza serta menjatuhkan bom-bom di berbagai tempat. Sekolah, kantor pemerintahan, rumah-rumah penduduk bahkan rumah sakitpun tak lepas dari incaran mereka.

Keganasan zionis itulah yang kini membuat Aminah dan ratusan orang lain sedang bertiarap di depan rumah sakit Syifa, di jalur Gaza. Beberapa saat tadi sebuah bom jatuh di bagian lobi rumah sakit Syifa, dan melukai banyak orang yang berada disana, termasuk Aminah sendiri, yang di beberapa bagian tubuhnya terkena percikap bom.

Beberapa menit berselang, suara jet-jet tempur sudah terdengar menjauh. Aminah masih tertelungkup diam. Airmata ketakutannya telah habis terperas sejak tadi. Drama pembasmian manusia yang terpampang di hadapan telah menyisakan perih menganga.

Aminah mencoba untuk bangkit. Entah berapa banyak luka yang telah menoreh tubuh. Ia terus berusaha untuk berdiri, tanpa ada orang yang membantunya. Semua orang disana sedang terkonsentrasi kepada para korban yang terluka parah. Aminah pun tak mempersoalkan hal itu.

Pada senja itu, angin bertiup tenang sekali dan bulatnya matahari jingga masih terus menatap, menjadi saksi keganasan para zionis. Akan tetapi kepanikan sedang melingkupi sisi kota. Rupanya serangan tadi menimbulkan korban yang sangat banyak. Rumah sakitpun sibuk menerima para korban, hingga mereka kekurangan tempat dan kekurangan darah.

Walau kondisinya terluka, Aminah tetap berusaha menolong korban-korban yang barusaja datang dan tidak mendapatkan tempat di rumah sakit. Korban yang paling banyak adalah para anak-anak dan kaum wanita. Ia memasangkan oksigen buatan, memasang infus dan mengobati luka bakar, dengan penuh keikhlasan. Padahal, luka yang ada pada dirinya sendiri terus menganga perih. Ia sungguh tak memperdulikan keadaan dirinya sendiri. Baginya, keselamatan oranglain jauh lebih penting ketimbang rasa sakit yang di alaminya tersebut.

Ketika ia baru selesai memberikan pengobatan kepada seorang anak kecil, tiba-tiba sebuah mobil datang. Orang-orang yang turut di mobil itu, buru-buru mengeluarkan beberapa sosok yang sudah terkulai lemas. Para medis pun bergegas menyambutnya. Mengingat semua ruangan sudah begitu jejal oleh para korban yang sebelumnya datang, dua sosok itu hanya di baringkan di atas lantai dengan perawatan seadanya.

Aminah tergerak untuk mendekat ke arah korban yang sudah di kelilingi banyak orang tersebut. Namun, ketika langkahnya sudah hampir sampai, orang-orang serempak berucap innalillahi wa inna ilahi raji’un. Ya, sepertinya korban tersebut barusaja menghembuskan nafas terakhirnya.

Aminah pun berkeinginan untuk melihat bagaimana korban telah tiada itu. Ia meminta jalan kepada para lelaki yang sedang berkumpul mengitari korban.

Ketika ia sudah berada di posisi terdepan dan berhadap dengan korban, perasaannya benar-benar menjadi ngilu. Jenazah yang wajahnya di tutup dengan kertas koran tersebut raganya sudah tak utuh lagi. Tangan kanannya sudah terkulai, tulang-tulangnya sepertinya remuk. Di bagian perutnya terdapat luka yang menganga lebar dan masih terus mengucurkan darah.

”Innalillahi wa Inna ilaihi raji’un. Ya Allah, ampunilah segala dosa orang ini dan jadikanlah ia sebagai salah satu penghuni rumah surga-Mu.” bisik Aminah dalam hati dengan terus memberikan pandangan nanarnya ke arah jenazah yang kondisinya benar-benar sudah memprihatinkan. Beberapa detik kemudian, ia menitikkan airmatanya, tak kuat melihat kondisi manusia yang sedang ada di hadapannya tersebut.

Ketika hendak membalik badannya untuk meninggalkan tempat tersebut, sekilas ia melihat sesuatu di bagian kaki orang tersebut — semacam tanda lahir. Dengan cepat ia mengembalikan tatapannya, untuk melihat dengan seksama tanda lahir yang ada di samping mata kaki orang yang tergeletak tanpa nyawa tersebut.

”Ya Allah, apakah orang ini adalah........”

Ia tak segera menyelesaikan bisikannya dan ia pun segera mendekat ke arah jenazah tersebut. Ia sudah berlutut di dekat kepala jenazah. Pelan-pelan tangannya ia gerakkan untuk menyibak koran yang menutupi kepala sampai bagian leher jenazah tersebut.

Benar saja jika kemudian batinnya menjadi terkulai, ketika melihat wajah jenzah itu. Ya, dialah akan semata wayangnya, Hisyam. Dengan respon kecintaannya, ia segera memeluk tubuh Hisyam. Beberapa air sedih menyeru dari dalam hati dan dinding mata sudah tak lagi bisa menahannya. Jiwanya bergemuruh setelah kehilangan satu-satunya keluarga yang masih tersisa.

Beberapa wanita yang ada disana berusaha menenangkan Aminah. Tapi bagaimanapun Aminah adalah seorang ibu. Ya, kesedihan yang terjadi adalah karena terputusnya janji batin yang sudah terlaksana ketika Hisyam di amanatkan Allah dalam bentuk gumpalan janin di rahimnya.

Jihad memang mengajarkan muslim untuk bisa tegar dalam menghadapi kematian. Tapi Aminah merasa tak salah jika tangisan itu tercurah sebagai ucapan selamat tinggal. Berkali-kali Aminah beristighfar untuk sekedar menenangkan diri. Ia memang sedih, tapi ia juga mencoba untuk tegar. Ia memang berduka, namun disisi hatinya ada rasa bangga melihat kesyahidan anaknya.

Di saat-saat kemudian, bibir Aminah mengulum senyum, menggantikan kesedihan yang beberapa saat lalu mendera batinnya. Dengan suara parau ia pun berkata;

”Selamat, Nak, kau sudah berhasil meminang salah satu bidadari surga. Terbanglah kau dalam pelukan malaikat-Nya, meraih ketenangan dan kebahagiaan yang di janjikan Illahi. Gapailah pintu Firdaus yang telah menjadi hakmu.”

@Sahabat, demikianlah kekejaman zionis yang tak berhati. selamanya mereka akan tetap menjadi musuh kaum muslimin. Sepenggal cerpen saya di atas mudah2an menjadi sebuah pematik serta menggugah kita semua agar senantiasa mendoakan saudara-saudara kita di gaza yang sudah semakin teriris oleh ulah zionis terkutuk.. mudah2an mereka selalu diberikan ketegaran dan keselamatan dari Allah Swt.
Jika sahabat ada rejeki, mari sedikit berbagi dengan menyumbangkan dana untuk saudara-saudara kita di Palestina

Rekening Mer-C untuk Palestina :
BCA cab. Kwitang No. Rek. 686.0153678
BSM cab. Kramat No. Rek. 009.0121.773
a.n. Medical Emergency Rescue Committee

Rekening KISPA untuk Palestina :
Bank Muamalat Indonesia cab.Slipi
No. 311.01856.22 an.Nurdin QQ Kispa

Baca selanjutnya ..
Sekiranya ratapan itu bisa menjadi angin

SEANDAINYA suasana hati semisal batu kali yang keras, mungkin saat ini aku tak manja seperti manjanya para udara yang bergerak di sekitarku. seandainya perasaan adalah sesuatu yg mudah di liarkan, barangkali aku tak senaif seperti kenaifan domba jantan yang di tinggal mati para selirnya. Aku pun lantas berfikir; kenapa banyak orang yang bisa membeli ketenangan hati dengan bertumpuk materi, berjubal jabatan dan tetek bengek yang lain. padahal, yang dinamakan ketenangan adalah tercumbuinya bibir jiwa dengan hal yg sifatnya serupa dengan keadaan daun kelapa yang teriramakan oleh angin pantai. itu hanya menurutku.

detik ini aku merenungi segenap keterbatasan serta kelemahanku untuk menjadi orang yg seharusnya SELALU memahami perasaan orang yang tertakdir tak serupa denganku. detik ini pula aku berpijak pada tumpuan tak teguh dan meretas sendu dalam beberapa kepingan daun hati yang tercecer. Sungguh, sebenarnya Aku sudah mencoba menyadarkan diri pada kesadaran dan kenyataan. tapi pada kenyataannya Irama hati memang sudah tak lagi merdu seperti hari-hari yang lalu. Berkali-kali pula aku mencoba bertanya pada ingatanku yang kurasakan kurang lengkap tanpa adanya kritikan dari pemahaman. Dan jawabanya masih sama; selalu klise.

Kemarin-kemarin, aku masih merasa seperti seorang penguasa kerajaan yang bahagia melihat rakyatnya panen raya; hingga lumbung kerajaan menjadi menumpuk karena terpenuhinya upeti-upeti dari rakyat. Tetapi, yang terjadi sekarang, rata sudah gelimang tangisan mendomisili ruang hati. Menjadi santapan para hantu yang selalu mengusikku; seperti rupa iblis sakti yang sering ku saksikan dalam cerita mitos-mitos kebudayaan jawa. Dan jika semakin kurasakan, maka yang ku temukan adalah gumpalan mirip diamond yang retak disana-sini.

Salahkah jika hati menjadi demikian lemahnya? Walaupun sadar itu sudah melingkupi; bahwa tak boleh manusia menjadi lemah oleh cinta. Allah tak mengajarkan manusia menjadi terkukung, mati rasa, lemah batin, hanya gara-gara masalah kecintaan kepada makhluk. Sebaliknya, anugerah cinta itu diadakan untuk berikan warna, tebarkan cita-cita serta berikan tenteram pada suasananya hati.

Sudahlah, bagaimanapun juga setiap hal pasti menyimpan resiko-resiko. Dan kuanggap inilah resikonya manusia yang sejak awal kehidupannya sudah terbekali oleh rasa, rasa cinta. Dan ada pemikiran yang mahfum jika sedih itu benar-benar ada.

Aku menjamah sedih dalam ilustrasi diriku yang tak juga kurasakan bagai sebuah dewasa yang menampar pelan pada keterasingan. Hidupku masih ragu dalam beberapa dimensi yang ruangnya hanya bersebelahan. Terpojok dan terkurung pada lapangnya dataran ketetapan

Apabila sekarang aku boleh menjadi orang yg bijaksana, maka aku akan berkata kepada diriku sendiri,

“Wahai anak muda, pikirkanlah! Apa pantas seorang manusia ber-Tuhan melumpuhkan diri seperti ini hanya gara-gara masalah sepele, masalah cinta muda yang sesungguhnya belum layak di kategorikan sebagai cinta sejati. Sadarilah, kehidupan dunia hanya sebentar waktu. Perjalanan dunia adalah lintasan sekejap yang harusnya kita jadikan sebagai ajang merengkuh segenap kebajikan-kebajikan. Maka tak perlu kita sibukkan diri dengan berbagai macam kepentingan tak bermanfaat. Tak perlu kita memakai topeng samaran untuk mengelabuhi malaikat Tuhan dalam mencatat segala tindakan.



Ini bukan tentang siapa2; hanya sebuah tembang diri penghibur hati; ketika wajah hati kembali diludahi dan kenyataan telah di putar sedemikian rupa hingga tak bisa di bedakan lagi antara kepala dan kaki, air dan api, hitam dan putih, rusa dan domba.

Sebenarnya tidak ada yg melukai hati ini, hanya saja diriku sedang merasa terlukai. barangkalipun tidak ada orang yg meludah tepat di wajah hatiku, hanya saja kurasakan pipi hati ini basah dan berbau. Akupun sadar, semua jalan manusia adalah pilihan, semua pemikiran adalah kekayaan diri dari manusia tersebut. akan tetapi entah kenapa terkadang aku merasa perlu untuk sekedar membagi sesuap rasa diri, sedikit pemikiranku, terhadap orang yg ku anggap perlu untuk mendapatkannya. apa memang aku sudah merasa sok pintar dan justru kepintaran itu menjadi racun pembunuh bagi hatiku sendiri?

aku memang lebih suka hidup dalam sepi dan menyendiri. aku tak suka ketika banyak suara yg hilir mudik pada pendengaranku. aku tak suka jika harus berada dalam riuh tawa orang bergurau. dan aku lebih suka pada hening. itulah pilihan hidupku saat ini yang tak harus sesiapapun menyalahkannya atau bahkan menjadikan pilihanku ini sebagai alasan dri segenap timbulnya masalah bagi orang lain, bagi dirimu. dan kurasa itu tidak masuk akal. Ingatlah bahwa aku juga tak menyalahkan pilihan hidupmu, cara berfikirmu, kebebasan bersikapmu dan semacamnya. itu adalah pilihan hidupmu. satu point penting disini bahwa setiap manusia memiliki cara sendiri2 dalam mencapai kebahagiaannya..

malam ini pun dengan beringasnya aku mengambil sebuah kertas yg seingatku sudah sejak lama ku simpan diantara berjubalnya buku2 di rak.. dan aku masih tak tahu apa yg harus ku lakukan dengan secarik kertas itu. hanya berkali-kali ku baca ukiran tinta biru yg menyatu dengan kertas itu,,

Bahan lamunanku.....

Perjalanan masih panjang dan di dalamnya tentu saja ada banyak ujian serta kesulitan-kesulitan. Mari bersama-sama kita kokohkan pondasi ini; jalinan cinta yang telah rata, tumbuh subur, dan akan senantiasa menjadikan bunga-bunga hidupku mekar di segala musim. Karena, cinta adalah seperti tumbuhan yang tak tergantung pada musim. Cinta itu akan selalu mewangi saat kau taburi dengan suplemen kasih sayang itu.

Jarak boleh saja membentang jauh, memisahkan penglihatan dan menunda pertemuan kita. Akan tetapi, sesungguhnya pada saat ku tuliskan kata-kata ini, aku merasa sedang duduk di hadapanmu, tersipu malu ketika kau menatapku, dan menguraikan cinta yang tersebar dari hatimu. Itu yang ku rasakan, kekasih.

Mari kekasih, jadikan akhir ini indah. Mari kita berlayar bersama mengarungi samudra untuk sampai pada dermaga-Nya. Tapi, jika salah satu di antara kita ada yang terjatuh ke dasar laut di karenakan terhempas gelombang badai, maka janganlah kita saling menyalahkan. Itu adalah takdir Tuhan, ketetapan Allah, kekasih.

Baca selanjutnya ..
Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini