Aku pernah mencintai orang yang tidak sedikitpun mencintaiku. Aku pernah mengucap kalimat-kalimat sayang dan dia menjawab dengan kebisuan punggungnya. Aku pernah mendayung perahu ke samudra jauh, berharap aku bisa menemukan hatimu yang sedang membaur dengan para mutiara, namun usahaku sia-sia dan aku kembali dengan hati yang sesak.
Apa yang dikejar menjadi sebuah penyatuan, justru berlari menjauh menyisakan jarak yang tiada terukur. Ketika cintaku tak lagi menganak dan berhenti pada persimpangan arus sungai, aku merasa menjadi manusia yang terbuang pada sebuah tanah asing; aku tidak berhak menghirup sedikitpun mawar yang tumbuh di hatimu. Kau telah menyumbat penciumanku dan melarangku untuk sekedar melihat jiwamu dari jarak dekat. Kau telah membentukku menjadi patung hidup dan menghadapkanku pada sebuah cermin yang retak.
Penyatuan cinta adalah kesepakatan antara dua hati, kebersatuan yang terikrar oleh sikap saling percaya, saling meyakini dan saling membutuhkan. Namun apa jadinya jika hanya hatiku saja yang bersedia menari sementara hatimu masih duduk diam dan hanya memandangiku dengan tatapan tanpa isyarat? Kau tidak pernah sedikitpun mau menyambut gejolak ini, justru di hadapanku kau menutup wajahmu dengan selembar kertas putih dan kau tuliskan di sana ’Tidak ada ruang untukmu’.
Apa yang harus aku lakukan, sementara di hatiku hanya kamu, di mataku adalah urat-urat lembut yang bernaung pada pipimu, dan harapan terbesarku adalah memiliki keindahan jiwamu; walau itu bagian jiwa yang terkecil darimu. Namun egois jika aku terus memaksamu, mendesakmu untuk hidup dalam ruang tanpa cinta. Bodoh juga bila aku segera mencari dambaan lain agar segenap rasa tersakiti labuh pada diri dambaan itu. Amat sulit, sesulit berjalan pada seutas benang yang membentang dari tebing ke tebing dan di bawahnya ada sebuah jurang.
Memendam rasa kecewa terlalu lama, hanya membuat jiwaku kian melemah. Mencari tambatan lain dengan segera, sama saja aku menancapkan sebilah pisau di dadaku sendiri. Dan aku hanya bisa tertawa, menertawakan rasaku. Telah banyak kulangkahkan tapak cinta menujumu, telah banyak kurangkai sajak untuk memujimu, namun kau tetap pada pendirianmu, tetap bersikap dingin dan tidak ingin sama sekali memberikan kesempatan kepadaku untuk sebentar saja menikmati cintamu.
Tapi inilah cinta, cinta yang kurasakan, cinta yang hadir tanpa sketsa atau rancangan-rancangan. Jikalaupun kau bertanya, kenapa kau mencintaiku? Cintailah orang yang mencintaimu, maka terang saja aku akan menjadi orang yang terlihat gugup di hadapanmu. Atau boleh jadi aku akan terlihat seperti anak taman kanak-kanak yang menahan malu ketika seorang guru memangilnya untuk bernyanyi. Aku yakin bahwa aku tidak akan bisa memberikan banyak alasan tentang cintaku yang telah memilihmu. Karena cinta yang datang dariku untukmu bersifat sangat pribadi, menyusup melalui bisikan-bisikan rahasia, hingga akupun tak banyak mengerti atau sekedar bisa menjelaskan maksud cinta itu.
Karena cinta adalah sebuah keutuhan, rasa yang selalu menekan, hasrat yang begitu alami, maka akupun mencoba mengungkapkannya tanpa pernah berpikir tentang apapun. Aku menginginkan cinta itu terpendam abadi dalam hatiku, tentunya jika saat itu engkau juga bersepakat menjalin ikrar cinta bersamaku.
Dan cinta juga tak bisa memberikan apa-apa, kecuali keseluruhan diriku, kejujuran yang kuberikan kepadamu. Maka aku hanya ingin mencoba berkata jujur tentang perasaan dan membicarakan hal-hal menarik yang ada dalam pandangan jiwaku. Namun nampaknya, cintaku kini telah menjelma menjadi sebuah bayangan yang sulit untuk dirangkul, cintaku adalah cinta yang tabu, cintaku hanya serupa padang tandus yang berharap agar gerimis datang setiap hari. Sepertinya engkau begitu enggan untuk menyambut rasaku, sepertinya engkau begitu sulit untuk menangkap ketulusan yang telah kuberikan kepadamu.