foto: http://youkepo.com/index.php/gambar-kepo/50-cabe-cabean-yah |
"Saya Sundari (bukan
nama sebenarnya)," suara lembut itu keluar dari seorang gadis ketika saya
mencoba mengajaknya berkenalan. Dia menjulurkan tangannya untuk bersalamanan,
sebuah senyum simpul terpampang. Bersama dengan Sundari, ada seorang gadis
lagi. Namanya Henny. Usianya mungkin seumuran dengan Sundari, sekitar 15 tahun.
Ketika berbincang, Sundari mengaku datang ke jalan Puri Kembangan atau lebih dikenal sebagai 'CNI' (karena dekat dengan gedung CNI), Kembangan, Jakarta Barat, sekadar untuk nongkrong. Di tempat itu, katanya, ia bisa melepas penat. "Saya suka nongkrong di sini karena ramai," katanya.
Malam itu, suasana di Jalan Puri Kembangan memang ramai. Pantas, sebab malam itu adalah malam minggu. Mereka, yang umumnya adalah anak muda, duduk-duduk di sepanjang tanggul kali yang membelah dua jalan Puri Kembangan. Ada ribuan orang, barangkali. Belum lagi para remaja yang berkumpul di atas motor mereka yang terparkir di tepi-tepi jalan.
Sabtu malam pukul 24.00 WIB. Gelak tawa para remaja kerap terdengar di balik cahaya remang. Memang, di sepanjang tempat nongkrong itu, tidak dipasang lampu penerangan yang cukup. Tapi, keremangan cahaya justru membuat para remaja senang. Mereka menikmatinya. Terlebih, bagi mereka yang datang bersama sang kekasih. Suasana menjadi lebih romantis, pikir mereka.
Dari ujung jalan Puri Kembangan, tampak kokoh berdiri bangunan Kantor Administrasi Kota Jakarta Barat. Dari jauh, tembok bangunan bertingkat itu berwarna putih pucat, akibat ditembak oleh beberapa lampu sorot. Rombongan kendaraan masih terlihat hilir mudik. Beberapa rombongan pengamen masih terus beraksi, mencoba menjajakan kreatifitas.
Sementara itu, Sundari dan Henny masih duduk di tanggul. Sesekali mereka terlihat mengobrol, tapi di waktu lain mereka lebih banyak diam. Hanya mata mereka yang terus mengawasi keadaan sekitar, memperhatikan keramaian kawasan CNI malam itu. Entah apa yang mereka pikirkan. Tapi tampaknya mereka sangat menikmati malam itu.
Jadi apa benar Sundari dan Henny hanya sekadar nongkrong di tempat itu? Mereka tersenyum ketika mendengar pertanyaan ini. Meskipun awalnya malu untuk menceritakan, namun akhirnya mereka mengakui bahwa ada maksud lain kedatangan mereka ke kawasan CNI. "Ya siapa tahu ketemu jodoh di sini, ha-ha-ha," cetus Henny.
Dua gadis ini mengaku sebagai siswa sebuah SMA di Kebun Jeruk. Asal mereka dari Kedoya Selatan. Sudah empat kali berturut-turut di malam minggu, mereka datang ke kawasan tersebut. Untuk apa? Kata mereka, untuk mencari kenalan saja. Benar saja, saat dimintai nomor telepon, mereka pun dengan senang hati memberikannya.
Lebih intim
Memang seperti itulah keadaannya. Dari sekadar nongkrong, berkenalan, saling bertukar nomor telepon kemudian terjadi pergaulan bebas. Menurut beberapa sumber, di kawasan tempat nongkrong Jalan Puri Kembangan ini, sangat mudah mendapatkan 'teman kencan'. Parahnya, para perempuan-perempuan yang kerap nongkrong di sana mayoritas adalah pelajar atau gadis seumuran pelajar.
Dari saling bertukar itu, para ABG perempuan biasanya akan dengan mudah melayani rayuan dari si cowok. Dari komunikasi yang intens inilah kemudian para remaja membuat janji untuk bertemu. Biasanya, kata Adi (bukan nama sebenarnya), pemuda yang biasa nongkrong di tempat itu, pertemuan juga dilakukan kembali di kawasan CNI pada hari-hari berikutnya.
"Di pertemuan kedua itu, biasanya mereka sudah akrab. Seperti yang kita saksikan di sini, muda-mudi bergaul seperti tidak ada batasannya. Bahkan tidak sedikit pula yang berciuman di depan teman-teman mereka. Padahal, sebagian dari mereka bukan pasangan kekasih. Cewek-cewek remaja itu bisa disebut hanya gebetan saja," katanya.
Awal kerusakan mental para remaja dimulai dari perkenalan saat mereka nongkrong dan tujuannya memang untuk mencari kenalan baru. Dari sana lah pergaulan bebas terjadi. Yang memprihatinkan, kenakalan remaja itu sepertinya sudah begitu sulit untuk dibendung karena begitu terbukanya pergaulan antar remaja.
Jadi tempat mangkal
Terkenal sebagai tempat nongkrong favorit, Jalan Puri Kembangan belakangan menjadi lahan bagi sebagian remaja perempuan untuk menjajakan diri. Pantauan saya, malam minggu menjadi moment paling ramai. Beberapa perempuan muda tampak berkumpul di beberapa titik sepanjang jalan Puri Kembangan. Misalnya saja di samping restoran tepat saji yang berada persis di depan kantor Walikota Jakarta Barat.
Di sana, malam itu tampak empat remaja putri duduk. Sebatang rokok terselip di sela-sela sela-sela jari mereka. Meski masih muda, pakaian mereka berani; celana hotpants dengan baju kaos berdada rendah.
"Banyak kalau di sini," kata Rimmi (bukan nama sebenarnya), perempuan yang biasa menjadi perantara pria hidung belang dan gadis-gadis penjaja.
Menurut Rimmi, meskipun para ABG di sana tergolong 'genit', mereka tetap pilih-pilih. Mereka akan mengutamakan lelaki yang berpenampilan keren dan tampan. Jadi, bagi lelaki yang 'bulukan', katanya harus bekerja ekstra keras untuk bisa merayu gadis-gadis itu. "Kalau yang ngajak keren, mereka pada seneng. Kalau nggak keren, mereka pikir-pikir biasanya meskipun ditawari duit banyak," katanya.
Soal tarif, Rimmi menceritakan setiap gadis punya tarif yang berbeda-beda. Tapi, katanya, harganya berkisar antara Rp300 ribu-Rp400 ribu untuk sekali kencan. "Ya mainnya dimana saja, tergantung kesepakatan. Nggak ada aturan short time atau long time. Asal ceweknya suka, ya bisa lama," ujarnya.
Meskipun para ABG masih berusia belasan tahun, Rimmi mengungkapkan, rata-rata gadis muda itu adalah korban putus sekolah. "Usianya macam-macam, ada yang 13 tahun sampai 16 tahun. Mereka itu anak putus sekolah," katanya.
Uang yang didapat para remaja itu, biasanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sisanya buat bersenang-senang. "Ada yang niatnya buat senang-senang. Tapi banyak juga yang melakukan itu karena terdesak kebutuhan ekonomi," jelasnya. Ditambahkan Rimmi, para remaja tersebut biasanya beroperasi mulai jam sembilan malam hingga dini hari. "Jumlah mereka banyak, ada sekitar 20 orang yang tersebar di beberapa titik.
biaya pengobatan
Ketika berbincang, Sundari mengaku datang ke jalan Puri Kembangan atau lebih dikenal sebagai 'CNI' (karena dekat dengan gedung CNI), Kembangan, Jakarta Barat, sekadar untuk nongkrong. Di tempat itu, katanya, ia bisa melepas penat. "Saya suka nongkrong di sini karena ramai," katanya.
Malam itu, suasana di Jalan Puri Kembangan memang ramai. Pantas, sebab malam itu adalah malam minggu. Mereka, yang umumnya adalah anak muda, duduk-duduk di sepanjang tanggul kali yang membelah dua jalan Puri Kembangan. Ada ribuan orang, barangkali. Belum lagi para remaja yang berkumpul di atas motor mereka yang terparkir di tepi-tepi jalan.
Sabtu malam pukul 24.00 WIB. Gelak tawa para remaja kerap terdengar di balik cahaya remang. Memang, di sepanjang tempat nongkrong itu, tidak dipasang lampu penerangan yang cukup. Tapi, keremangan cahaya justru membuat para remaja senang. Mereka menikmatinya. Terlebih, bagi mereka yang datang bersama sang kekasih. Suasana menjadi lebih romantis, pikir mereka.
Dari ujung jalan Puri Kembangan, tampak kokoh berdiri bangunan Kantor Administrasi Kota Jakarta Barat. Dari jauh, tembok bangunan bertingkat itu berwarna putih pucat, akibat ditembak oleh beberapa lampu sorot. Rombongan kendaraan masih terlihat hilir mudik. Beberapa rombongan pengamen masih terus beraksi, mencoba menjajakan kreatifitas.
Sementara itu, Sundari dan Henny masih duduk di tanggul. Sesekali mereka terlihat mengobrol, tapi di waktu lain mereka lebih banyak diam. Hanya mata mereka yang terus mengawasi keadaan sekitar, memperhatikan keramaian kawasan CNI malam itu. Entah apa yang mereka pikirkan. Tapi tampaknya mereka sangat menikmati malam itu.
Jadi apa benar Sundari dan Henny hanya sekadar nongkrong di tempat itu? Mereka tersenyum ketika mendengar pertanyaan ini. Meskipun awalnya malu untuk menceritakan, namun akhirnya mereka mengakui bahwa ada maksud lain kedatangan mereka ke kawasan CNI. "Ya siapa tahu ketemu jodoh di sini, ha-ha-ha," cetus Henny.
Dua gadis ini mengaku sebagai siswa sebuah SMA di Kebun Jeruk. Asal mereka dari Kedoya Selatan. Sudah empat kali berturut-turut di malam minggu, mereka datang ke kawasan tersebut. Untuk apa? Kata mereka, untuk mencari kenalan saja. Benar saja, saat dimintai nomor telepon, mereka pun dengan senang hati memberikannya.
Lebih intim
Memang seperti itulah keadaannya. Dari sekadar nongkrong, berkenalan, saling bertukar nomor telepon kemudian terjadi pergaulan bebas. Menurut beberapa sumber, di kawasan tempat nongkrong Jalan Puri Kembangan ini, sangat mudah mendapatkan 'teman kencan'. Parahnya, para perempuan-perempuan yang kerap nongkrong di sana mayoritas adalah pelajar atau gadis seumuran pelajar.
Dari saling bertukar itu, para ABG perempuan biasanya akan dengan mudah melayani rayuan dari si cowok. Dari komunikasi yang intens inilah kemudian para remaja membuat janji untuk bertemu. Biasanya, kata Adi (bukan nama sebenarnya), pemuda yang biasa nongkrong di tempat itu, pertemuan juga dilakukan kembali di kawasan CNI pada hari-hari berikutnya.
"Di pertemuan kedua itu, biasanya mereka sudah akrab. Seperti yang kita saksikan di sini, muda-mudi bergaul seperti tidak ada batasannya. Bahkan tidak sedikit pula yang berciuman di depan teman-teman mereka. Padahal, sebagian dari mereka bukan pasangan kekasih. Cewek-cewek remaja itu bisa disebut hanya gebetan saja," katanya.
Awal kerusakan mental para remaja dimulai dari perkenalan saat mereka nongkrong dan tujuannya memang untuk mencari kenalan baru. Dari sana lah pergaulan bebas terjadi. Yang memprihatinkan, kenakalan remaja itu sepertinya sudah begitu sulit untuk dibendung karena begitu terbukanya pergaulan antar remaja.
Jadi tempat mangkal
Terkenal sebagai tempat nongkrong favorit, Jalan Puri Kembangan belakangan menjadi lahan bagi sebagian remaja perempuan untuk menjajakan diri. Pantauan saya, malam minggu menjadi moment paling ramai. Beberapa perempuan muda tampak berkumpul di beberapa titik sepanjang jalan Puri Kembangan. Misalnya saja di samping restoran tepat saji yang berada persis di depan kantor Walikota Jakarta Barat.
Di sana, malam itu tampak empat remaja putri duduk. Sebatang rokok terselip di sela-sela sela-sela jari mereka. Meski masih muda, pakaian mereka berani; celana hotpants dengan baju kaos berdada rendah.
"Banyak kalau di sini," kata Rimmi (bukan nama sebenarnya), perempuan yang biasa menjadi perantara pria hidung belang dan gadis-gadis penjaja.
Menurut Rimmi, meskipun para ABG di sana tergolong 'genit', mereka tetap pilih-pilih. Mereka akan mengutamakan lelaki yang berpenampilan keren dan tampan. Jadi, bagi lelaki yang 'bulukan', katanya harus bekerja ekstra keras untuk bisa merayu gadis-gadis itu. "Kalau yang ngajak keren, mereka pada seneng. Kalau nggak keren, mereka pikir-pikir biasanya meskipun ditawari duit banyak," katanya.
Soal tarif, Rimmi menceritakan setiap gadis punya tarif yang berbeda-beda. Tapi, katanya, harganya berkisar antara Rp300 ribu-Rp400 ribu untuk sekali kencan. "Ya mainnya dimana saja, tergantung kesepakatan. Nggak ada aturan short time atau long time. Asal ceweknya suka, ya bisa lama," ujarnya.
Meskipun para ABG masih berusia belasan tahun, Rimmi mengungkapkan, rata-rata gadis muda itu adalah korban putus sekolah. "Usianya macam-macam, ada yang 13 tahun sampai 16 tahun. Mereka itu anak putus sekolah," katanya.
Uang yang didapat para remaja itu, biasanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sisanya buat bersenang-senang. "Ada yang niatnya buat senang-senang. Tapi banyak juga yang melakukan itu karena terdesak kebutuhan ekonomi," jelasnya. Ditambahkan Rimmi, para remaja tersebut biasanya beroperasi mulai jam sembilan malam hingga dini hari. "Jumlah mereka banyak, ada sekitar 20 orang yang tersebar di beberapa titik.
biaya pengobatan
Dari penelurusan malam itu, saya berkesempatan berbincang secara langsung dengan para ABG 'cabe-cabean' yang kerap beroperasi di kawasan Kembangan. Cabe-cabean merupakan istilah yang lazim dipakai untuk menyebut 'gadis muda' yang suka menjadi primadona bagi anak nongkrong.
Salah satunya adalah Hena, gadis berusia 14 tahun. Warga Srengseng ini mengungkapkan, awalnya dia sama sekali tidak berniat menjadicabe-cabe. Berawal dari pergaualannya bersama anak motor, ia kemudian terjerembab ke kehidupan yang tidak pernah dia bayangkan. Sebutan cabe-cabe pun kemudian melekat pada dirinya.
Pola pergaulan bebas remaja, membuat pendidikannya hancur. Beberapa tahun lalu, saat ia masih duduk di kelas VII SMP, ia justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama para anak motor. Punya wajah cantik dan bentuk badan proporsional, ia pun sempat menjadi primadona. Dari pergaulan itu, kepribadian Hena berubah drastis. Ia menganggap pendidikan bukan sesuatu hal penting. Usai lulus SMP, ia memilih untuk tidak melanjutkan ke jenjang ke lebih tinggi. Dia lebih nyaman menjadi seorang Hena, cabe-cabe yang menjadi primadona anak-anak motor.
"Sekarang sudah nggak sekolah, males," kata Hena, yang malam itu mengenakan baju dengan dada terbuka. Beberapa tahun menjadi teman nongkrong anak-anak motor dan kerap berhubungan badan dengan beberapa orang, membuat dirinya merasa hanya dimanfaatkan saja. Ia berpikir, rugi kalau dia tidak mengambil selangkah lebih maju dari kondisinya saat itu. Ia pun kemudian memasang tarif; siapa saja yang ingin bercinta dengan dirinya, harus bayar!
"Awalnya saya hanya sering nemenin mereka (anak-anak motor). Tapi saya malah dimanfaatin sama mereka. Sekalian saja saya pasang tarif," ujarnya.
Dorongan menjadi cabe-cabean berbayar, diakui Hena, juga karena ia terdesak masalah finansial. Saat ini lambungnya sakit dan perlu dioperasi. "Setiap nongkrong saya selalu minum mimuman keras. Apapun jenis minumannya, mulai dari AM (Anggur Merah), tuak, arak bali sampai minuman berlabel. Itu mungkin yang menyebabkan lambung saya rusak. Kata dokter, biaya berobatnya mahal. Sementara saya nggak berani bilang sama orang tua. Terpaksa saya cari uang sendiri," terangnya.
Hena sudah berniat bekerja sebagai Sales Promotion Girl (SPG). Tapi ia mengurungkan niatnya lantaran gajinya kecil. Maka ia pun sampai saat ini masih terus berusaha mengumpulkan pundi-pundi tabungan sampai cukup untuk biaya berobat. "Katanya habisnya sekitar Rp20 juta," cetus Hena.
Hena mengaku tidak terlalu kaku mematok tarif kencan. Sebab, ia paham siapa saja yang menggunakan jasanya; remaja yang mayoritas masih berstatus pelajar. Hena pun tidak sembarangan menerima tawaran dari setiap lelaki. "Niat saya datang ke sini (Kawasan KembanganI) sebenarnya karena ingin nongkrong saja dengan teman-teman. Nggak terlalu ngejar itu juga (prostitusi). Kalau yang ngajak anaknya keren, saya mau. Tapi kalau yang ngajak mukanya jelek, pakai celana lebar kayak Rano Karno, saya nggak mau. Saya bilang sama mereka, 'kalau nggak keren mending cari yang lain saja'".
Lalu berapa pendapatan Hena tiap malam dari hasil menjadi cabe-cabean berbayar? "Ha-ha-ha, itu rahasia. Yang pasti saya nggak selalu masang tarif. Malah kalau sayanya yang suka, saya yang ngajak dia jalan," katanya.
Seks kilat di kebun kosong
Kisah tak jauh berbeda keluar dari Ning (15), remaja lainnya yang sering mencari hidung belang di kawasan itu. Dia menganggap, menjual diri menjadi pilihan terbaiknya, setidaknya untuk saat ini. Dia letih menjadi anak jalanan; mengamen dan mengharapkan bantuan dari sesama anak jalanan lainnya. Sebagai salah satu perempuan di sebuah geng anak jalanan, ia malu kalau terus-menerus menjadi benalu.
"Saya butuh makan, butuh hidup. Uang dari hasil mengamen bersama teman-teman biasanya buat mabuk. Saya capek jadi anak jalanan," katanya.
Belum lagi Ning sering mendapat tindakan asusila dari sesama anak jalanan. Ia trauma, sungguh. Pernah ia mencoba keluar dari komunitas anak jalanan, tapi ia berpikir mau ke mana dia. Sementara, dia sejak dua tahun lalu memutuskan pergi dari rumah karena berbeda pendapat dengan keluarganya.
"Ya mungkin saat ini yang terbaik ya kayak gini," katanya, pasrah. Sama dengan beberapa cabe-cabean lainnya, Ning tidak terlalu memikirkan soal tarif. Apalagi dia sadar, di antara puluhan cabe-cabean lainnya, ia kalah cantik. Ia biasanya hanya menjadi pilihan ke-sekian dari para remaja hidung belang. "Berapapun mau. Asal bisa dapat uang," katanya.
Mendengar kisah Ning selanjutnya, miris. Karena tak terlalu cantik, Ning biasanya justru menjadi sasaran remaja pria berkantong tipis. Remaja itu memilih Ning, karena mereka bisa memberi uang berapapun. "Kadang malah pada pergi begitu saja setelah kencan. Mereka itu yang pada nggak punya duit, mabuk dan pengen bercinta," katanya.
Ning menjelaskan, dirinya dan cabe-cabean lainnya sebenarnya sangat paham dengan kondisi pelanggannya. "Mereka bawa duitnya nggak banyak. Jadi kita mau meskipun bercinta di kebun atau bangunan-bangunan kosong. Jadi, sekali main, setelah itu balik lagi ke kawasan CNI," ungkapnya.
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Gua suka postingan anda
Obat Tuba Fallopi
Obat penyakit ambeien
Minggu lalu saya di ejek ejek tuh ma cabe... Kareana Penampilan saya yang cupu dekil ndeso... Cabe puri mah gak tau yang mana yg ada duit yang mana yang ga ada duit.. Makanya dia sering di tinggalin setelah kencan... Pilih cowo keren padahal duit nya zonk!!!
Obat Penggugur Kandungan ,,
SELAMAT ANDA MENDAPATKAN UNDANGAN RESMI DARI SUMOQQ.ORG Kunjungi skrg Live Chat nya u/Info lbh Lanjut,Dan Dapatkan Jutaan Rupiah Dengan Cuma-Cuma BBM : D8ACD825
Daftarkan Segera ID Hokimu Di SumoQQ.ORG ! WinRate Terbesar Untuk Semua Permainan Kartu Anda ! Min Depo Cuma 15RB !
Pin BBM : D8ACD825
AYO SEMUA BERMAIN DI TOGEL PELANGI JANGAN LEWATKAN PROMO MENARIK DARI KAMI
HUBUNGI KONTAK KAMI :
BBM : D8E23B5C
WHAT APPS : +85581569708
LINE : togelpelangi
WE CHAT : togelpelangi
LIVE CHAT 24 JAM : WWW-ANGKAPELANGI-NET
SALAM JACKPOT DARI KAMI :)