Sentra Bunga Rawa Belong kini telah menjadi pusat perdagangan bunga potong di Jakarta, di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Di tempat ini, aktivitas perdagangan terus hidup sepanjang hari. puluhan milyar uang berputar setiap bulannya. Selain menjadi pusat perdagangan, kawasan ini juga telah menjadi destinasi wisata di DKI Jakarta.Tetapi, siapa sangka di balik gaung Sentra Bunga Rawa Belong dilingkupi sejarah yang cukup panjang.
Kepala Pusat Promosi dan Pemasaran hasil Pertanian dan Hasil Hutan Rawa Belong M. Mulyadi kepada Warta Kota menyebut, cikal bakal kawasan Rawa Belong menjadi sentra kembang terjadi sejak 1950an.Dulunya, di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat, banyak masyarakat yang memanfaatkan lahan kosong untuk bercocok tanam. Berbagai buah-buahan di tanam di pekarangan dan lahan warga yang saat itu masih lapang. Tidak sedikit dari mereka yang menanam bunga anggrek karena kondisi tanah di sana yang subur, dilalui oleh Kali Pesanggarahan. Hasil panenan bunga anggrek yang melimpah, coba dijajakan para petani di seputar Rawa Belong, di pertigaan-pertigaan menuju Palmerah, Kebonjeruk dan Kebayoran Lama.
“Makin lama, kawasan itu menjadi sebuah sentra kembang, khususnya anggrek yang memang memiliki kualitas bagus. Banyak masyarakat yang datang ke Rawa Belong untuk membeli bunga anggrek dan tanaman hias lainnya,” kata Mulyadi.Tumbuhnya tempat itu menjadi kawasan perdagangan bunga yang ramai, memicu bertambahnya jumlah pedagang.
Dari awalnya sekitar 10 pedagang, bertambah menjadi tiga sampai empat kali lipat. Perputaran uang, semakin besar memasuki 1980 hingga awal 1990. Karena mengganggu lalu lintas, Pemerintah Provinsi DKI sempat menertibkan pedagang. Tetapi, mereka tetap berdagang di jalanan. Melihat potensi besar dari kehidupan ekonomi di sana, 1990 Pemprov DKI dibawah kepemimpinan Gubernur Wiyogo Atmodarmintomerelokasi para pedagang bunga setelah membangun kios-kios diatas lahan 7.000M2. pembangunan gedung pasar dilakukan sejak 1989.
“Tujuannya supaya para pedagang lebih tertib dan tidak membuat macet lalu lintas, karena semakin lama baik pedagang maupun pengunjung semakin banyak,” kata Mulyadi.
Makin lama, bisnis kembang di sana semakin berkembang. Para pedagang tidak hanya dari penduduk sekitar, namun para pedagang dari luar Jakarta, seperti Bandung, Bogor dan Malang yang sebelumnya berdagang bunga di tempat lain di Jakarta, bergabung ke kawasan itu.Sementara, di saat sama kebutuhan bunga sudah dipasok dari beberapa daerah lain, seperti Sukabumi, Bandung, Malang, karena lahan di sekitar Rawa Belong sudah banyak yang beralih fungsi menjadi bangunan, baik pemukiman, perkantoran atau sekolah tinggi.
“Pada 2006 Pemprov DKI menambah bangunan di sisi utara jalan atau berhadapan dengan pasar kembang yang lama untuk menampung pedagang yang terus berdatangan sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat akan bunga potong,” kata Mulyadi. Hingga saat ini, tidak kurang dari 600 pedagang bunga ada di Sentra Bunga Rawa Belong.
Omzet 12 miliar sebulan
Bagaimana kawasan Sentra Bunga Rawa Belong menjadi sentra bunga yang begitu terkenal hingga ke manca negara? Kata Mulyadi, informasi dari mulut ke mulut mengenai adanya kawasan perdagangan bunga dengan kualitas bagus pada era 1990an, semakin menerbangkan nama Sentra Bunga Rawa Belong ke penjuru Nusantara.Menurutnya, terdapat 93 jenis bunga dengan jutaan tangkai dipasarkan dari kawasan ini. Mulai dari bunga mawar, sedap malam, anggrek bulan. Bahkan bunga langka, seperti bunga ronce, bunga untuk penabur, rokok lisong (cerutu), menyan, stanggi, dan lainnya dipasarkan dari kawasan itu ke seluruh Indonesia.
“Ada juga jenis bunga impor mulai dari tulip dan casablanka dari Belanda, anggrek Thailand,dan sekarang anggrek dari China,” katanya.
Pelanggan atau pembeli bunga potong atau bunga hias di Pasar Bunga Rawa Belong, dari kalangan industri usaha perhotelan, restoran atau pembeli perorangan dan keluarga di moment-moment tertentu, seperti perayaan hari Lebaran, hari Valentine, musim wisuda serta warga yang membeli bunga untuk keperluan sembahyang. Tetapi, porsi pembeli terbesar adalah dari kalangan event organizer yang kerap menggelar pesta pernikahan atau wedding.“Paling banyak untuk dekorasi pernikahan, baik yang digelar EO maupun tanpa EO. Biasanya, para pedagang sudah memiliki langganan EO sendiri-sendiri,” jelas Mulyadi.
Kini, perdagangan bunga di sana mampu mencapai omzet fantastis. Kata Mulyadi, rata-rata sebulan perputaran uang atau omzet mencapai 12 milyar.Selain itu, kawasan tersebut telah menjadi tempat tumbuhnya industri kreatif dengan bermunculannya para florist.“Dengan 600 pedagang, tentunya mampu menyerap ribuan tenaga kerja. Misalnya, jika satu pedagang saja punya empat pegawai, berarti ada 2400 tenaga kerja di sini,” katanya.
Ditambahkan Mulyadi, untuk meningkatkan dan mempromosikan bunga, setiap tahun diselenggarakan Festival Bunga dan Pemilihan Putri Bunga. Dari pelbagai penyelenggaraan itu, pasar bunga Rawa Belong memperolah penghargaan dari MURI dan memperoleh Award The Best Achievement pada 2012 untuk prestasinya dalam memajukan industri agrowisata bunga nusantara.“Diharapkan dengan adanya event-event tersebut, masyarakat semakin tertarik dengan bunga sekaligus untuk mempromosikan lebih luas kawasan Sentra Bunga Rawa Belong sebagai tempat unggulan di Jakarta,” kata Mulyadi.
Sekejap mata, bisa beli mobil
Kisah sukses para penjual bunga potong di Sentra Bunga Rawa Belong tak lepas dari ketenaran pasar kembang terbesar se Asia Tenggara itu. Sayadi Wibowo (50), salah satunya. Pria ini merupakan pedagang asal Malang pertama yang hijrah ke Sentra Bunga Rawa Belong, setelah beberapa tahun berjualan secara berpindah-pindah di beberapa tempat di Jakarta.Sebelumnya, Sayadi menjual bunga di kawasan Mangga Dua, Jakarta Utara. Usahanya tak berkembang, lalu ia pindah ke Cikini dan Barito. Baru setelah melihat potensi besar di Rawa Belong, ia memutuskan menyewa kios di Sentra Bunga Rawa Belong.
“Beliau orang Malang pertama yang dagang di sini, hingga saat ini banyak pedagang bunga asal Malang di pasar kembang sini,” kata Sugeng Widodo (28), keponakan Sayadi kepada Warta Kota. Sugeng awalnya bekerja kepada Sayadi, membantu berdagang, setelah beberapa tahun kemudian ia mencoba peruntungan dengan membuka lapak sendiri.
Dulu, ketika pedagang belum begitu banyak, omzet yang didapat setiap pedagang bunga sangat fantastis, kata Sugeng. Dari hasil berdagang mawar potong, kata Sugeng, Sayadi pun akhirnya bisa menjadi miliarder.
“Sekarang dia punya tiga kios yang dikelola keluarganya, sedangkan dia sudah pulang ke Malang untuk mengurus perkebunan bunga miliknya. Lahan seluas empat hektar di sana, juga diperoleh dari hasil menjadi pedagang bunga di sini. Sebulan omzetnya Rp50 juta. Sekarang rumahnya bagus, mobilnya banyak, ada empat,” jelas Sugeng.
Bagaimana tidak, masih menurut Sugeng, pada Februari 2003, satu potong mawar yang dibeli dari produsen Rp300, dijual di Sentra Pasar Rawa Belong Rp15.000. Padahal, permintaan mawar saat itu sangat tinggi. “Istilahnya, dalam sekejap mata, cuma di satu moment saja, hari valentine, hasilnya bisa buat beli Honda Jazz yang saat itu harganya sekitar Rp125 juta,” tukas Sugeng.
Sugeng pun tak mau kalah dengan pamannya. Menjalani usaha perdagangan bunga dengan tekun sejak 2004, ia sudah mendapatkan hasil. Di kampung, ia sudah bisa membangun rumah, membeli lahan sebagai perkebunan bunga dan memiliki tabungan.
“Saat ini, omzet saya seminggu antara Rp6-7 juta atau untuk satu dekorasi. Sekali dekorasi ini membutuhkan 4000-6000 tangkai mawar. Kebanyakan pelanggan adalah Wedding Organizer (WO),” jelasnya. Teapi, omzet akan bertambah secara drastis jika WO meminta paket dekorasi kepada Sugeng. “Untuk dekorasi di gedung pertemuan, misalnya di Balai Sudirman, biaya dekorasi termasuk bunga sekitar Rp60 juta. Sedangkan untuk nikahan di rumah, kena sekitar Rp10 juta, termasuk dekorasi kamar pengantin,” kata Sugeng sambil menambahkan bahwa ia selalu memberikan jaminan kualitas mawar kepada para pelanggannya.
Satu ikat mawar asal Malang berisi 20 tangkai, dihargai Rp25 ribu. Harga tersebut bisa saja turun atau naik. “Kalau stok lagi melimpah, harga bisa turun jadi Rp25 ribu. Tapi kalau stoknya sedikit, biasanya naik jadi Rp.35 ribu,” jelasnya.
Untuk diketahui, harga mawar asal Malang memang lebih murah ketimbang mawar dari Bandung yang dijual hingga Rp60 ribu untuk satu ikatnya. Mimpi besar Sugeng saat ini adalah bisa mengekspor mawar ke luar negeri. Sayangnya, diakuinya, keterbatasan tenaga serta tidak adanya tim marketing membuat keinginannya itu terkendala.
“Ini nanti saya akan ke Singapura untuk menawarkan mawar ke pedagang di sana. Karena saya pernah hubungi mereka, tapi cuma lewat Facebook, dan belum ada tanggapan,” ungkap Sugeng,
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
terimakasih atas atensinya...