Sebuah dandang berkuran besar diangkat dan diletakkan di atas meja etalase. Itu adalah dandang ketiga yang diselesaikan Luthfi (18), Kamis (11/9). Waktu kerja masih tersisa beberapa jam. Masih cukup waktu untuk menyelesaikan satu dandang lagi.
Sore itu para pekerja pembuat dandang dan oven di Jalan Dewi Sartika, Cawang terlihat sibuk. Di beberapa kios penjual dandang, oven dan berbagai barang berbahan alumunium lainnya, beberapa pembeli juga terlihat tekun memilih barang yang hendak mereka beli.
Luthfi sendiri sejak Kamis pagi sudah menyelesaikan tiga dandang ukuran besar, di kios 'Ira Kompor'. Kata dia, sehari rata-rata dia bisa menyelesaikan empat dandang.
"Awalnya kelihatannya susah. Tapi lama-lama, setelah dicoba, ternyata bikin dandang cukup mudah. Yang agk susah itu bikin oven," kata pemuda yang baru beberapa bulan bekerja di sana.
Vina (29), pemilik kios 'Ira Kompor', mengaku penjualan sejak sepekan terakhir sepi. Dalam sehari, belum tentu ada yang membeli dagangannya. Beberapa orang yang datang, hanya melihat-lihat saja, lalu pergi lagi.
Di kiosnya, Vina menjual oven, dandang dan loyang. Menurutnya, yang paling banyak diminati selama ini adalah oven. Harga oven pun berbeda-beda, tergantung ukuran. Ukuran paling kecil, 40 cm, dijual Rp400.000. Ukuran sedang, 75 cm dijual Rp1,8 juta dan oven dengan ukuran besar 1,2 meter, dibanderol Rp2,5 juta.
Adapun pelanggan kiosnya, kebanyakan adalah toko-toko kue skala kecil. "Adapula pabrik kue kelas UKM maupun ibu-ibu rumah tangga yang beli oven di sini," katanya.
Pembeli oven tidak hanya berasal dari seputaran Jakarta. Di beberapa moment, ia mendapatkan pesanan dari konsumen luar kota, misalnya Padang dan Bangkabelitung.
"Kalau dandang biasanya ramainya saat lebaran haji. Kalau hari-hari biasa sepi," ujarnya.
Kampung Cawang Kompor
Kawasan itu pada era 1990an terkenal sebagai sentra penjualan kompor besar di Jakarta. Para pelaku industri kecil sampai menengah, sukses setelah memproduksi kompor dalam jumlah besar. Bahkan, tempat yang berada di RT002/04 Kelurahan Cawang ini, sempat terkenal dengan sebutan Kampung Kompor Cawang.
Haji Munadi, pemilik UD Restika menjelaskan, terbentuknya kawasan itu sebagai sentra penjualan kompor sudah berlangsung sejak lama.
"Pada 1955, orang-orang Betawi di sini sudah memproduksi kompor. Mereka membuatnya di lapak-lapak. Kemudian beberapa orang Tionghua dan Arab menyewa tempat di sini dan membuka toko kompor. Sejak itu kawasan ini jadi berkembang dan disebut Kampung Cawang Kompor," jelasnya.
Ia ingat betul, saat dirinya meneruskan usaha pamannya pada 1990, tempat itu selalu ramai. Dalam sebulan, saat itu, ia mampu memproduksi 3000 kompor. Pelanggan terbesarnya saat itu adalah para pedagang panci dan kompor di pasar-pasar tradisional dan para tukang kredit barang-barang rumah tangga.
"Para pedagang di pasar-pasar di Jakarta ngambilnya di sini semua," katanya.
Pada puncak kejayaan para pengrajin dan pedagang kompor di sana, petaka datang. Imbauan pemerintah agar masyarakat beralih menggunakan bahan bakar gas atau kompor gas, sebuah pukulan telak yang harus dirasakan para pengrajin dan pedagang kompor.
"Saya ingat saat itu tahun 2008. Pemerintah memberikan imbauan agar masyarakat menggunakan kompor gas. Bahkan, pemerintah membagikan kompor gas dan tabung gas gratis. Ditambah lagi saat itu minyak tanah makin susah dicari. Habislah kita!"
Sejak itu tidak sedikit pedagang yang memilih menutup usaha. Tidak berimbangnya antara omset dan biasa produksi termasuk sewa bangunan, membuat sebagian pedagang
Sebagian pedagang sudah pulang ke kampung halaman. Sebagaian lagi beralih ke pekerjaan lainnya. Saat ini, tersisa sekitar 12 pedagang, di sisi kanaan dan kiri Jalan Dewi Sartika.
Beralih ke Oven
Sejak penjualan kompor sepi, Haji Munadi dan para pedagang lain yang masih bertahan, pusing. Tapi mereka tidak kehabisan cara apalagi putus asa. Sejak penjualan kompor menurun, mereka beralih membuat dan menjual barang lain seperti oven dan dandang.
"Dulu di sini ya terkenalnya cuma kompor. Tapi apa boleh buat. Usaha kami harus tetap jalan. Akhirnya saya bikin oven dan berbagai barang dari alumunium lainnya seperi dandang, tempat sampah dan lain-lain," katanya.
Haji Munadi percaya Tuhan telah mengatur rezeki setiap orang. Perlahan, terjadi pergeseran. Jika sebelumnya kawasan itu terkenal dengan kompornya, lambat laun oven-oven buatan pengrajin di sana mulai menggaung. Masyarakat menyebutnya, Oven Cawang.
"Tapi tetap saja nama Cawang Kompor masih melekat sampai sekarang," kata Haji Munadi, terkenang dengan kejayaan kawasan itu.
Penjualan oven dan dandang di kios Haji Munadi saat ini biasa-biasa saja. Jika sedang beruntung, Haji Munadi yang berasal dari Condet, Jaktim, mampu menjual 3-4 oven gas yang ia produksi sendiri.
"Pembelinya pun sekarang sudah dari mana-mana. Saya sering kirim barang ke Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan berbagai daerah lainnya. Alhamdulillah," katanya Haji Munadi yang mengaku beromset rata-rata Rp10 juta per bulan.
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
terimakasih atas atensinya...