Pasar Santa di Jalan Cipaku, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan kini bersolek cantik. Pasar tradisional yang sepi selama lebih dari tujuh tahun atau semenjak dibangun itu bahkan telah mengganti nama menjadi Santa Modern Market.
Hal itu dilakukan guna mengubah image pasar, utamanya keberadaan coffe shop atau mini resto yang kini menjadi tempat nongkrong dengan sensasi baru, di Jakarta Selatan.
Bambang Sugiarto, Kepala Pasar Santa yang mengotaki perubahan itu. Awalnya, ketika diberikan kepercayaan untuk memimpin pasar pada 2012, ia bingung bukan kepalang. Ia heran, pasar dengan kondisi bangunan yang bagus dan bersih, namun hanya sedikit kios yang buka.
Alasannya jelas, sejak dibangun pada 15 Mei 2007 dengan 1151 tempat usaha di dalamnya, pengunjung tak juga datang. Akibatnya, para pedagang yang sudah terlanjur membeli kios dengan status Hak Guna Pakai (HGP), terpaksa menutup kiosnya.
"Saat saya masuk pada 2012, hanya sekitar 312 kios yang terisi. Itu juga hanya di basement dan kondisinya sepi pembeli," kata Bambang kepada Warta Kota, Selasa (30/9).
Bambang memutar otak, menganalisa kenapa kondisi sepi itu bisa terjadi. Dari segi kebersihan, padahal Pasar Santa terbilang bersih.
"Saya lihat masalah utamanya adalah tempat yang nyempil (tersembuyi) dan akses yang agak susah. Saya berpikir saat itu, segala upaya akan saya lakukan untuk membuat pasar ini ramai."
"Dan saat itu saya terpikir untuk menggandeng komunitas yang sudah pasti memiliki pangsa. 2013 saya datangkan komunitas ATK, batik dan para penjahit. Alhamdulillah pedagang bertambah jadi 459 yang menempati lantai basement dan lantai dasar," imbuh Bambang.
Perlahan pasar mulai hidup dengan masuknya para komunitas. Pada 2014, Bambang terus mencoba menambahkan komunitas kreatif, yakni komunitas kopi, teh dan piringan hitam.
"Kita terus lakukan jemput bola dengan mendekati komunitas-komunitas. Mereka mau bergabung asal harganya terjangkau. Nah, kebetulan mayoritas kios sudah jadi milik orang. Tapi kami fasilitasi komunitas dan pemilik kios. Hasilnya, teman-teman komunitas menyewa kios ke pemilik dengan harga yang cukup terjangkau, Rp3-3,5 juta per tahun," terangnya.
Dengan semangat jemput bola itu, alhasil, sebanyak 350 kios di lantai satu langsung terisi penuh dalam hitungan bulan di antaranya gerai Miechino, Orkide, Kopi ABCD dan sebagainya.
Sejak pertengahan September, kata Bambang, banyak masyarakat yang sudah datang ke Pasar Modern Santa meskipun sebagian kios masih dilakukan renovasi. Mereka umumnya penasaran dengan perubahan konsep pasar itu.
"Ke depan tempat ini diharapkan jadi tempat favorit bagi anak muda di Jakarta, khususnya di Jakarta Selatan. Di sini, mereka bisa merasakan kopi-kopi premium, makanan dari berbagai negara, dengan harga yang terjangkau dan suasana berbeda," kata Bambang.
Adapun sisa 342 kios yang masih kosong di lantai dasar, Bambang saat ini masih menjajaki untuk mendatangkan komunitas mainan. "Beberapa teman dari komunitas mainan sudah bersedia bergabung," ujarnya.
Sekolah barista
A Bunch of Caffein Dealer menjadi salah satu gerai paling menonjol di lantai satu Santa Modern Market. Selain letaknya di dekat tangga, di dalam gerai tampak peralatan lengkap meracik kopi.
"Jadi kita di sini tidak jualan kopi, namun mengakomodir teman-teman yang ingin menjadi barista," kata Hendri Kurniawan owner a Bunch of Caffein Dealers kepada Warta Kota.
Meski demikian, gerai yang sudah ada sejak dua bulan lalu tersebut selalu ramai jika buka atau pada saat ada jadwal belajar barista.
"Hasil racikan para barista ini dibagi-bagikan kepada pengunjung. Untuk menikmati kopi, pengunjung tidak dituntut untuk membayar. Hanya kami sediakan kotak dan pengunjung bisa mengisinya seikhlasnya. Uang dari hasil kotak itu nantinya akan disumbangkan."
Adapun biaya pelatihan untuk tiga hingga empat kali pertemuan, kata Hendri, Rp5 juta.
Sementara itu, Alpi (31) karyawan swasta pada Rabu (1/10) siang tampak bersemangat menyusuri tangga menuju ke lantai satu Santa Modern Market. "Ini saya rasa unik. Kopi-kopi. Berkelas tersedia di sini, dijual dengan harga yang terjangkau. Tempatnya juga asyik," katanya.
Bagi pecinta kopi seperti dirinya, tempat bukan menjadi persoalan. "Saya penikmat kopi dari dulu. Bagi saya dan para penikmat kopi lain, rasa kopi menjadi yang utama ketimbang tempatnya," katanya.
Berkah pedagang
Keberadaan kedai-kedai modern yang membuat Pasar Santa menjadi ramai menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang yang sudah bertahun-tahun berdagang di pasar itu.
Jamal (48), pedagang tahu-tempe di lantai basement mengungkapkan sejak beberapa bulan lalu terjadi peningkatan pengunjung pasar, termasuk pembeli di lapak sayur dan sembako dan lantai basement.
"Ya lumayan jadi agak ramai pasarnya. Sebagian kedai di atas juga pada belanja ke sini," katanya.
Selama lima tahun berdagang di sana, penjualan tempe dan tahu milik Jamal bisa dibilang biasa-biasa saja. "Pembelinya ya itu-itu saja. Penghuni perumahan di dekat sini. Jarang ada pembeli baru."
Transportasi yang sulit serta letak pasar yang tidak strategis menjadi lantaran selama ini Pasar Santa sepi.
"Tidak ada angkot yang lewat pasar. Jalan di depan pasar juga dibuat searah. Juga semakin banyaknya supermarket dan swalayan di sekitar sini," terangnya.
Sempat Jadi Tempat Judi Koprok
Cikal bakal berdirinya Pasar Santa sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak masa penjajahan. Hasyim (62) warga RT04/04 Petogogan, Jakarta Selatan kepada Warta Kota berkisah bahwa pada era penjajahan para pedagang sudah menggelar lapak-lapak di tepian Jalan Wolter Monginsidi.
"Baru pada 1960an pedagang pindah dari jalan ke lahan kosong yang sekarang menjadi bangunan pasar," kenang Hasyim.
Bentuk pasarnya sendiri, saat itu, kata Hasyim lebih seperti pasar tumpah. "Pedagang datang dengan pikulan lalu menggelar dagangan di atas tikar. Ya mirip pasar tumpah. Mereka dagangnya dari pagi sampai malam," katanya.
Hasyim saat itu bersama ayahnya bertugas menjadi keamanan pasar. Jadi, ia ingat benar berapa jumlah pedagang yang mengelar dagangan di pasar itu.
"Ada sekitar 100 pedagang. Jualannya macem-macem, ada sayuran, sembako, pakaian bekas dan sebagainya. Pedagang umumnya berasal dari Bogor, Cirebon, Jawa dan sebagian dari Betawi."
Mengalir derasnya arus urbanisasi sekitar 1965, membuat pasar itu bertambah ramai. Tidak hanya pedagang yang bertambah, pembeli pun semakin banyak. Apalagi, kata Hasyim, di era itu pemukiman di sekitar Petogogan dan Tendean mulai tumbuh memadat.
Pasar itu semakin bergeliat juga karena adanya aktivitas judi koprok yang berlangsung selama pasar beroperasi, pagi hingga malam hari. Kata Hasyim, masyarakat dari berbagai daerah di Jakarta dan dari berbagai profesi, banyak yang sengaja datang ke sana hanya untuk berjudi.
Pada 1971, pedagang yang tadinya hanya menggelar alas di atas lahan kosong saat berjualan, mulai membangun lapak-lapak semi permanen. Hal itu, kata Hasyim, dilakukan karena semakin bertaambahnya jumlah pedagang dan mengantisipasi terjadinya keributan soal batas berjualan.
"Sampai akhirnya pasar mulai sepi di era 2000an. Enggak tahu kenapa, mungkin karena semakin banyak swalayan atau masyarakat perumahan elit ogah belanja di pasar tradisional. Pas dibangun pasar berlantai tiga di 2007 juga tetap sepi," kata Hasyim.
Hasyim saat ini menjadi pedagang rokok di depan area pasar. Ia mengharapkan langkah-langkah strategis dari pengelola Pasar Santa agar kejayaan Pasar Santa di masa lalu bisa kembali lagi.
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
terimakasih atas atensinya...