Puluhan seniman asal Korea Selatan menggelar pameran bersama di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat. Pameran mengambil tema Empty Fullness : Materialitas dan Spiritualitas dalam seni modern Korea, diselenggarakan oleh Korean Cultural Center Indonesia dan Galeri Nasional Indonesi beserta Korea Arts Management Service, 9 Januari 2015 hingga 20 Januari 2015.
Dengan menonjolkan keindahan lukisan monokrom, yang adalah poros besar dalam seni kontemporer Korea, dan seni moderat yang berperan sebagai poros dasar dari budaya Korea, pameran ini diprogram untuk mengenalkan kebudayaan cendekiawan Korea yang bisa dinilai sederhana namun anggun, berbeda dari seni minimalis Barat. Melalui pengosongan secara material, 52 karya yang terdiri dari 47 lukisan dan 5 keramik yang berhasil menunjukkan keindahan ‘Guci Bulan’, yang memiliki dunia spiritual berlimpah.
President Korea Arts Management, Jung Jae-Wal, mengatakan pameran ini diadakan untuk memperkenalkan koleksi luas Seni Kontemporer Korea, dan memungkinkan penonton untuk menangkap intisari seni Korea pada setiap karya yang ditampilkan.
“Sebagai bagian dari ‘Program Bisnis Pusat Kebudayaan Asing’ yang ditujukan untuk menempatkan diri sebagai salah satu poros dari budaya universal, pameran ini dimulai dari Shanghai, Beijing, Jerman, Hungaria dan negara lain di Eropa dan terakhir digelar di Galeri Nasional Indonesia untuk menghiasi perjalanan 1 tahun dari pameran ini.”
Sebanyak 16 seniman turut andil dalam pameran ini, yakni Kwon Young-Woo, Yoon Hyung-Geun, Jung Sang-Hwa, Chung Chang-Sup, dan Ha Chong-Hyun. Mereka adalah para pelukis yang merupakan andalan Korea Seni Kontemporer. Kemudian ada beberapa seniman yang terkenal dengan karya keramiknya yaitu Lee Gee-Jo, Kim Yik-Yung, Kwon Dae-Sup, Lee Kang-Hyo, dan Wen Ping.
Berkarakter unik
Tidak mudah untuk menjelaskan asal mula seni rupa kontemporer Korea. Tidak seperti karakteristik dan keaslian bentuk seni rupa dari Asia, Amerika Latin, dan bagian dari Timur Tengah, yang lebih mudah untuk didefinisikan.
Menurut Chief Curator Chung Joon-Mo, menilai karakteristik seni rupa kontemporer Korea ibarat menyentuh seekor gajah dengan mata tertutup, karena keberagaman dan kompleksitas terminologinya ketika membicarakan tentang seni rupa negara-negara non-Eropa dalam memaknai ‘kontemporer’, yang mengindikasikan sebuah konsep waktu.
Hal yang sama diterapkan dalam mendefenisikan ‘Reduksionisme Korea’, ‘Dansaekhwehwa (lukisan monokrom), ‘Dansaekhwa’ dan ‘Danhwa’, yang merupakan bentuk representatif dari seni rupa kontemporer Korea.
“Dari segi style, lukisan monokrom di Korea mirip dengan lukisan minimalis di Amerika dan Eropa pada era 1960-an. Karena itu, lukisan monokrom Korea tampak mengikuti konsep minimalisme yang menjangkau realitas murni dengan meminimalkan teknik dan dramatisasi Barat serta menyatukan aktualitas dengan karya seni rupa sebagai esensi dari objek,” jelasnya.
Meskipun seni rupa Korea di tahun 1970-an dipengaruhi oleh arus globalisasi dan internalisasi, kata dia, merupakan kesalahan yang serius jika menganggap konten lukisan monokrom Korea serupa dengan minimalisme Barat jika hanya dengan melihat kemiripan gayanya.
“Selain itu, mengkategorisasikan karya monokrom Korea generasi pertama dan generasi kedua sebagai satu kecenderungan hanya karena kesamaan bentuknya juga merupakan kesalahan yang harus dihindari.”
Lukisan monokrom generasi pertama memiliki basis yang kuat pada tradisi Konfusius dan semangat Seonbi (lelaki terpelajar), sedangkan generasi kedua lebih banyak terpengaruh oleh modernisme. Bagaimana pun, karya-karya kedua generasi tersebut sama-sama berusaha untuk merestorasi seni rupa tradisional dan menyatu dengan alam, yang sulit dilakukan selama masa kolonial.
Terutama ada ciri khas yang membedakan lukisan Korea dengan minimalisme Barat seperti kerandoman dan abstraksi yang tidak terencana. Selain itu, lukisan Korea menyajikan aspek umum dari transformasi perspektif tradisional terhadap alam dan warisan tradisi serta transisi kreatifnya.
Meskipun lukisan Korea memiliki beragam aspek seperti aktivisme, strukturalisasi permukaan datar, netralisasi, hubungan, originalitas, spiritualitas, identifikasi, integrasi materialitas dan lukisan, serta berdasarkan kesederhanaan dan berpegang teguh pada tradisi Korea, kecenderungan tersebut dikelompokkan sebagai lukisan monokrom Korea terlepas dari karakteristik individunya
Menurut Chung Joon-Mo, pameran ini bertujuan menginterpretasikan kembali lukisan monokrom Korea terutama terfokus pada strukturalisasi permukaan datar, netralisasi, dan penyatuan materialitas dan lukisan. Terutama ‘Dalhangari’ (guci bulan), salah satu keramik tradisional Korea yang memberikan petunjuk untuk ‘membaca’ penyatuan karakteristik gaya dan konten atau perbedaan di antara keduanya.
Tubuh dari Dalhangari, juga seperti yang ditampilkan dalam pameran ini, tampak seksi dan bentuk bundarnya sangat halus. Karena sulitnya teknik pembentukan bagian tengah dari tubuh utama tersebut, bagian atas dan bawahnya dibuat terpisah dan kemudian disatukan.
“Dalhangari adalah salah satu dari utilitas rumah tangga yang paling jauh yang diproduksi bersama dengan hidangan pada abad ke-19. Ada setidaknya satu atau dua botol tersebut di setiap rumah tangga, terlepas dari kelas mereka dankekayaan, apakah mereka dari keluarga bangsawan, atau petani.”
Karena guci tanah liat yang masih basah tersebut dikeringkan kemudian dipanggang dalam oven, bentuknya menjadi terdistorsi (terpiuh) dan bertransformasi menjadi karakteristiknya sendiri.
“Oleh karena itu, harapan pengunjung untuk ‘membaca’ kekuatan tersembunyi atau memaknai dibalik ‘lukisan monokrom’ akan memberi makna tersendiri dari guci tersebut. Bentuk itu sendiri seringkali dimengerti sebagai aspek lain dari konten atau sebagai sebuah cara. Bagaimanapun, lukisan monokrom Korea masih eksis melampaui atau sebelum sebuah bentuk ketimbang bentuk itu sendiri sebagai sebuah konten
Seperti biasanya, suasana di Kampung Banceuy siang itu begitu tenang. Melintasi jalanan di area perkampungan, ibu-ibu dan para gadis berkumpul di depan rumah. Sementara itu, banyak pria kampung setempat berjalan kaki di sepanjang jalan dengan membawa berbagai hasil bumi mereka. Semua warga, baik laki-laki maupun perempuan, ramah kepada setiap orang yang menyambangi kampung mereka.
Kampung Banceuy telah ditetapkan sebagai situs kampung adat oleh Pemerintah Kabupaten Subang. Wilayahnya masuk Desa Sanca, Kecamatan Ciater atau berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat kota Subang dan 32 kilometer dari Bandung. Tradisi melestarikan adat dan budaya sunda di kampung ini masih dipegang teguh. Tidak heran, kampung ini hingga kini banyak dikunjungi wisatawan maupun para peneliti kebudayaan.
Odang Somyang, Tokoh Budaya kampung setempat mengatakan, tradisi budaya di Banceuy tetap bertahan hingga sekarang tak lain berkat kepedulian para warganya. Adapun sejarah kampung ini berdasarkan cerita turun temurun, seperti dijelaskan Odang, berawal ketika tujuh keluarga membangun perkampungan kecil di sana. Namanya Kampung Negla.
“Lokasinya dulu ada di timur kampung ini. Pada suatu waktu kampung itu diterpa bencana angin puting beliung yang menghancurkan rumah mereka. Ketujuh tokoh itu kemudian memanggil paranormal. Dan oleh paranormal itu, mereka diminta menggeser lokasi perkampungan sekaligus mengganti nama kampung agar terhindar dari musibah. Dari kesepakatan, akhirnya dinamakan Kampung Banceuy,” jelas Odang belum lama ini. Kata Banceuy sendiri diambil dari bahasa keseharian masyarakat Banceuy yaitu bahasa Sunda, yang artinya adalah musyawarah
Dari ketujuh keluarga itu kemudian muncul generasi-generasi baru . Pada perjalanannya, para sesepuh kampungmengajarkan kepada setiap anaknya untuk menjaga dan melestarikan tradisi setempat. “Sampai sekarang kami tetap menggelar upacara-upacara adat yang diwariskan para sesepuh,” ujar Odang.
Salah satu upacara adat yang paling terkenal di kampung itu, Ruwatan Bumi. Upacara untuk tolak bala sekaligus wujud syukur kepada Sang Pencipta atas berkah hasil bumi mereka, dilakukan di minggu terakhir sebelum memasuki tahun baru Muharam. “Upacara dilakukan selama dua hari, puncaknya kami tetapkan pada hari Rabu terakhir sebelum 1 Muharam.upacara adat ini sudah digelar sejak tahun 1800-an dan selalu dilaksanakan setiap tahun.”
Di hari pertama, segala persiapan dilakukan. Para pemuda kampung menghias desa mereka dengan janur-janur kuning. Sebagian warga menyembelih hewan kerbau sebagai wujud syukur. Para prempuan sibuk menyiapkan masakan di sebuah dapur umum. Anak-anak kecil melakukan gladi resik untuk penampilan mereka keesokan harinya. Sedangkan sesepuhkampung melakukan ritual khusus untuk kelancaran pesta.
Di hari pertama ini biasanya kampung Banceuy menjadi ramai oleh para tamu yang berdatangan. Mereka sengaja datang dari berbagai daerah termasuk Bandung dan Jakarta untuk menyaksikan berbagai kesenian seperti tarawangsa, celempung dan gembyung yang digelar hingga dini hari.
Mayoritas pengunjung menginap di rumah-rumah warga untuk menyaksikan upacara puncak yang digelar keesokan paginya.Acara puncak dari upacara adat ini adalah ngarak Dewi Sri, yang menampilkan karnaval dan kesenian kampung setempat, termasuk penampilan Penca Silat, Penari Pembawa hanjuang, penari pembawa janur, Dogdog Reog, Genjring, dan Sisingaan. Kegiatan ini pun menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Turun temurun
Sejak usia dini, anak-anak di Kampung Banceuy sudah diperkenalkan dengan kesenian dan budaya setempat. Hal ini, kata Odang, bertujuan supaya adat dan budaya melekat pada diri anak-anak kemudian terbawa sampai mereka dewasa.
“Kami saat ini juga menjadi duta budaya bagi Pemkab Subang. Setiap ada acara budaya ke luar kota, anak-anak dan remaja Kampung Banceuy selalu tampil membawakan kesenian Subang khususnya dan Sunda pada umumnya,” kata Odang.
Sepekan sekali, pemuda Kampung Banceuy melatih anak-anak di sebuah sanggar terbuka yang ada di kampung tersebut. Diana Setiawati, seorang guru sanggar mengungkapkan tantangan terberat bagi dirinya dan pengajar lain adalah sifat anak-anak yang masih labil.
“Yang kecil biasanya susah diatur. Ada yang nggak mau latihan. Tapi kami tetap ajarkan pelan-pelan. Minimal mereka suka dulu. Dari pengalaman, mayoritas anak-anak yang tumbuh dewasa sudah mencintai dan merasa memiliki adat dan budayaBanceuy. Ini berkat pendidikan yang kami berikan sejak mereka masih kecil,” jelasnya.
Tidak hanya upacara adat maupun pelestarian seni budaya. Sampai sekarang, masyarakat Banceuy masih memegang tradisi leluhur seperti selalu menjalani ritual atau mendatangi sesepuh jika hendak punya hajat. “Misalnya untuk menentukan hari baik tanam padi, hari panen, hari pernikahan dan sebagainya. Masyarakat di sini selalu meminta saran dari sesepuhkampung,” terang Odang.
“Juga soal rumah. Meskipun bentuknya boleh didesain modern, namun ada satu hal yang tidak boleh ditinggalkan, yakni rumah harus memiliki pintu di sisi utara dan selatan,” imbuhnya.
Selain itu, di Kampung Banceuy juga masih menerapkan aturan tidak tertulis seperti larangan masuk ke hutan tertentu setiap hari Selasa dan Jumat atau larangan beraktifitas di lapangan sepakbola pada hari Sabtu. Bagi yang melanggar biasanya akan terkena musibah, misalnya dia tiba-tiba sakit.
“Juga ada larangan perempuan di Banceuy dilarang untuk keluar malam kecuali untuk ke masjid, sebab ditakutkan diculik dan dihamili oleh kelong (laki-laki),” kata Odang.
Desa Wisata
Kampung Banceuy terdiri dari 300 kepala keluarga dan 900 jiwa. Pada umumnya warga Banceuy bekerja sebagai petani. Tapi selain petani, ada juga yang menjadi peternak (sapi). Tanaman yang ditanam diantaranya padi, timun, tomat, kacang, dan sayuran. Kampung ini berada di lembah Gunung Cangga, dikelilingi oleh persawahan dan ladang-ladang milik warga, dan memiliki pemandangan yang asri.
Dari Jalan Raya Ciater, kampung ini harus ditempuh melalui jalan yang tidak cukup lebar, sejauh sekitar delapan kilo meter. Sebagian akses jalan, rusak.
Kampung Banceuy adalah satu dari empat lokasi yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Subang sebagai Desa Wisata Wangun Harja sejak tahun 1999. Empat desa yang berada pada ketinggian 800-1.100 meter di atas permukaan laut itu meliputi Desa Sanca, Cibitung, Cibadak, dan Cibeusi. Semuanya di wilayah Kecamatan Ciater.
Di kawasan Wangun Harja ini, terdapat sejumlah tempat wisata seperti Bukit Wangun Harja, Curug Bentang (di perbatasan Desa Sanca dan Cibitung), Curug Cibareubeuy (Desa Cibeusi), dan Situs Cibadak (Desa Cibadak). Di desa tersebut terdapat sebuah sungai besar yang menjadi sumber air bagi pertanian penduduk. Pada aliran sungai inilah terdapat curug bentang saat ini pernah menjadi idola bagi wisatawan, sebelum sejak beberapa tahun lalu curug eksotis ini kurang mendapat pengelolaan yang baik.
Ada pula beberapa makam keramat yang diyakini sebagai pendiri Kampung Banceuy seperti makam Aki Leutik (Raden Ismail Saleh), makam Prabu Jaya Tumenggung, dan makam Eyang Haji Pungkur (Haji Singadiraksa). Keberadaannya dilindungi dan telah ditetapkan sebagai Situ Kampung Adat Banceuy oleh Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional.
“Semua tokoh itu dikenal sakti pada masanya. Misalnya Aki Leutik, salah satu pendiri Kampung Banceuy yang merupakan keturunan dari Sumedang. Beliau konon mempunyai kesaktian luar bisa yakni bisa duduk di atas daun pisang dan bisa masuk ke lubang yang sangat kecil. Itu kenapa beliau dijuluki Aki Leutik,” jelas Odang.
Cara Tempuh
Kampung Rambutan-Subang: Bus PO Kramat Jati, PO Warga Baru: tarif Rp28.000
Elf Subang-Ledeng turun di Jalan Cagak, Ciater: Rp 15 ribu
Ojek Dari Jalan Cagak ke Banceuy: Rp30-50 ribu.