Feryanto Hadi |
Sore itu Matahari masih menyisakan sepenggal cahaya kekuningan di ufuk barat. Sebuah pemandangan langit yang bersahaja, sama seperti ketenangan yang ada di sebuah gang bernama Al-Anwar, di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Rt. 001 Rw. 05, Kelurahan Angke, Tambora, Jakarta Barat.
Di gang yang kini hanya berukuran sekitar 1,75 meter tersebut berdiri Masjid Angke Al Anwar, sebuah bangunan bersejarah terkait perjuangan para pahlawan dalam usaha membantu Fatahillah menghadapi VOC, beberapa abad silam. Di tempat inilah banyak tersimpan cerita sejarah, khususnya salah seorang yang tidak bisa lepas dari peristiwa itu, Tubagus Angke, seorang bangsawan Banten bergelar pangeran.
Perasaan nyaman segera terasa ketika memasuki masjid ini. Tak ayal di tempat ini orang ingin berlama-lama ibadah di dalam masjid. Sore itu, saat magrib telah tiba, beberapa orang terlihat salat dengan khusuknya. Di sudut-sudut, tiga pemuda sedang mengaji. Masjid Angke, memang dikenal orang sebagai masjid keramat, selain dari sisi sejarahnya. Ada sesuatu yang dapat menjadi magnet bagi orang untuk beribadah di tempat ini.
"Yang jelas, dulu, tempat ini menjadi basis pertahanan dan tempat berkumpulnya tempat berjuang," kata Muhammad Habib (60), keturunan ke-11 Tubagus Angke saat mengawali perbincangan dengan saya, Minggu (15/10).
Dulunya, kawasan itu merupakan daerah perbukitan dengan sekitarnya adalah hutan belantara. Tempat ini pula menjadi lokasi persembunyian para pejuang yang datang dari berbagai wilayah, seperti Banten, Demak, Mataram dan sebagainya. Mereka bersatu, dalam rangka menghadapi kekuasaan VOC di Batavia.
"Sebelum para pejuang datang ke mari, di sini memang sudah ada perkampungan kecil, perkampungan Bali. Mereka adalah pasukan bertombak yang diutus dari kerajaan di Bali, dengan tokoh terkenalnya Gusti Ketut Badodo. Makanya di sini juga disebut Kampung Gusti," terangnya.
Semakin banyak para pejuang yang berkumpul di wilayah itu pada saat era putra-putri Tubagus Angke, yakni pada abad ke-17. Terlebih, saat meletusnya pemberontakan etnis Cina pada 1740, dimana terjadi pembantaian etnis Cina oleh VOC, yang dikenal sebagai peristiwa penjagalan orang-orang cina oleh VOC dibawah pimpinan Gubernur General Andrian Valckenier. Kala itu, banyak mayat-mayat orang Cina bergelimpangan dan mengapung di sekitar sungai Angke. Sejak itu banyak orang Cina yang turut bergabung dengan para pejuang di tempat itu. Bahkan, tidak sedikit etnis Cina yang kemudian memeluk Islam.
"Setelah berkumpul itu, para pejuang kemudian bermusyawarah kemudian dibangunlah masjid ini. Selain menjadi tempat peribadatan, masjid ini pun dijadikan sebagai basis perjuangan," kata Habib.
*Gabungan empat unsur budaya
Muhammad Habib menuturkan, proses pembangunan masjid tersebut dilatari oleh semangat kebersamaan dengan cita-cita yang sama pula, melawan kolonialisasi di Batavia saat itu. Maka tidak heran terjadi akulturasi kebudayaan, yang tercermin dalam arsitektur masjid tersebut. "Para pejuang mempercayakan kepada orang Cina beragama muslim bernama Syeh Liong Tan sebagai arsitektur pembangunan masjid ini. Sedangkan donaturnya adalah seorang wanita Cina dari suku Tartar bernama Tan Nio yang bersuamikan bangsawan dari Banten," katanya.
Setidaknya ada empat ornamen budaya berbeda dalam pembangunan masjid ini. Bagian karpusan atau di tiap sisi genteng, mengusung gaya lengkungan khas Cina. Hal ini tak terlepas dari adanya pejuang-pejuang etnis Cina yang bergabung di sana.
Sementara, ornamen bergaya eropa tampak dari bentuk uliran jeruji di masing-masing jendela. Kemudian adanya empat soko guru menandakan nuansa Jawa yang kental. Sedangkan nuansa Bali bisa dilihat dari bentuk mimbar (tempat imam) yang mirip dengan tempat penyembahan di agama Hindu. "Yang perlu diketahui, masjid ini dibuat pada 1751, bukan 1761 yang saat ini tersebar di internet. Ini yang harus diluruskan," imbuh Habib.
Dijelaskan Habib, dalam pembangunan masjid ini, para pejuang telah memperhitungkan banyak hal. Pertama, sesuai fungsinya sebagai tempat pengintaian, masjid ini awalnya dibangun dengan dua lantai dengan lantai atasnya digunakan untuk mengintai musuh yang sering berpatroli di kawasan itu. "Dulu, sebelum adanya bangunan-bangunan di Jakarta, dari atas masjid ini bisa melihat ke jarak jauh. Jadi pernah VOC mencium masjid ini, tapi saat mereka ke sini, para pejuang menyamar sebagai penduduk biasa dan melaksanakan shalat di masjid. Itu karena sebelumnya ada pejuang di lantai dua masjid yang mengintai kedatangan mereka. Jadi mereka tidak menaruh curiga bahwa di tempat inilah sebenarnya tempat berkumpulnya pejuang dari berbagai daerah," katanya.
Meskipun digunakan sebagai tempat persembunyian, namun pembangunan masjid Angke juga tidak dilakukan secara sembarangan. Hal ini terlihat dari banyaknya bagian bangunan yang merupakan simbol-simbol ke-Islaman.
Bentuk pintu masuk, serta tiang-tiang agungnya berjumlah 4 buah. Ini mengingatkan orang pada bentuk arsitektur Belanda dan model masjid tua yang ada di Mataram dan Demak. Tunggakan masuk masjid yang berjumlah lima melambangkan rukun Islam. Kemudian, pintunya ada tiga pintu tapi daun pintunya ada enam itu melambangkan rukun imam. Jeruji jendela sebalah barat, jumlahnya ada 20, itu merupakan sifat Allah, sedangkan jeruji selatan dan utara, jumlahnya sembilan melambangkan Wali Songo, sebelah timur jumlahnya sepuluh jeruji artinya jumlah malaikat yang diketahui.
Masjid Angke memang memiliki ciri khas sendiri, berbeda dengan masjid-masjid tua lainnya. Bangunan itu berdiri di atas tanah seluas 200 m2. Ukurannya lebih kurang 15 X 15 meter. Wujud fisik bangunan tersebut masih asli sejak pertama dibangun. Belum pernah tersentuh perubahan sedikitpun. Renovasi terakhir dilakukan pada 1995, itupun hanya mengganti beton penyangga tiang dan pembuatan tenda permanen di depan masjid.
Kata Habib, kini beton penyangga tiang-tiang masjid sudah rapuh. Di sisi lain, pembuatan tenda permanen di depan bangunan masjid justru menjadikan pemandangan di sana tidak nyaman dan kumuh. Habib bilang, ia sudah pernah diperingatkan oleh Dinas Pariwisata terkait adanya bangunan tambahan itu.
"Masjid ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Makanya kami diperingatkan. Tapi kami ini lagi cari dana, baik untuk membongkar maupun memperbaiki beton penyangga tiang-tiang masjid," katanya.
*Keberadaan makam bersejarah
Keberadaan masjid tua ini tak luput dari peran penting para pejuang dalam melakukan perlawanan terhadap VOC. Maka tak heran jika di sekitar masjid Angke, terdapat makam sejumlah tokoh-tokoh penting. Menurut Habib, di pemakaman tersebut terdapat empat susunan makam ke bawah. "Abad-abadnya berbeda. Susunan pertama, pembuka alas dulu sini, kemudian era Tubagus Angke dan para pejuang sekitar abad ke 16, yang ketiga adalah para prajurit di era putra-putri Tubagus Angke di abad 17 kemudian era selanjutnya pada abad ke-18," jelasnya.
Beberapa nama besar yang ada di pemakaman tersebut, diantaranya Habib Pangerah Syarif Hamid bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri, Eyang Tubagus Angke, Ratu Pembayun Fatimah Binti Sultan Hasanudin Banten, Syeh Jafar Asnan, Raden Bambang Surya Kencana, Syarifah Aminah binti Pangerah Sayid Husein bin Umar Al-Habsi (Ratu Sabrang Lor), Eyang Pupu Dinegoro, Raden Wijaya Kusuma Dirja, Habib Soleh Bin Muhammad Al-Habsi, Hanis Soleh Bin Umar Al-Habsi, Pangeran Panembahan Agung, Syeh Khalilullah Akbar, Kumpi Najihun bin Syeh Ahmad (imam pertama masjid Angke), Pangeran Anom Dwiriyo dan tokoh-tokoh yang lain.
Salah satu nama tokoh besar di sana adalah Sultan Syeh Syarief Hamid Alqadri. Letak makamnya, berada di depan masjid. Pangeran asal Kesultanan Pontianak ini meninggal dalam usia 64 tahun 35 hari pada tahun 1274 Hijriah atau 1854 masehi. Ia dikenal sebagai penentang Belanda yang paling berani. Karena itulah, tahun 1800-an, Belanda menangkap dan membuangnya ke Batavia, tepatnya di daerah Mangga Dua atau Pasar Pagi saat ini.
"Beliau cukup dihormati karena putra raja, keilmuan dan ketegasan. Waktu dimakamkan diatas tandunya ada 15 orang yang membacakan Yassin, diarak dari daerah Mangga Besar ke sini. Di sini, dia dulu memberikan arahan-arahan kepada para prajurit. Memberikan strategi-strategi kepada pejuang. Sebelum dia wafat ada wasiat, lanjutkan perjuangan ini, pantang menyerah. Kedua, apabila saya tidak ada umur tolong dimakamkan di depan Masjid Angke."
Di makam inilah para peziarah kerap bertawasul. Tapi, kata Habib, tidak sedikit pula orang datang ke sana dengan tujuan tidak baik. "Kalau orang ke sini tujuannya minta-minta sama syeh, pasti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," katanya.
Pernah, kata Habib, pada tahun 1968 pernah ada peziarah yang terlempar dari dekat makam Syeh Hamid. "Ternyata dia mau minta nomor togel ke makam syeh. Dia terlempar. Seminggu kemudian meninggal. Pernah juga, di tahun sama, ada orang yang nyuri kain sutra di makam ini, seminggu kemudian juga meninggal," katanya. (Feryanto Hadi)