Kawasan Ciater, Subang, menawarkan pesona pariwisata yang luar biasa. Selain karena memiliki hawa sejuk, di beberapa lokasi terdapat sumber air panas yang bisa digunakan sebagai pengobatan. Ciater Spa Resort adalah salah satu destinasi yang wajib Anda kunjungi.
Terletak di lembah Gunung Tangkubanparahu di ketinggian 1.050m di atas permukaan laut dengan keunggulan sumber air panas alam dan dikelilingi hijaunya perkebunan teh, menjadikan Ciater Spa Resort sebagai pilihan ideal untuk berlibur bersama keluarga dan kerabat maupun sebagai tempat untuk gathering, meeting maupun outing.
Apalagi, tempat ini menyediakan berbagai pilihan rekreasi menarik seperti mandi air panas, berkuda, flying fox, rafting, camping ground, cafe serta bungalow-bungalow yang menawarkan sensasi menginap mengesankan.
Kiara Hot Spring Pool atau pemandian air panas menjadi salah satu spot wisata menarik di area Ciater Spa Resort. Tempat itu bahkan tidak pernah sepi. Para pengunjung setiap hari berdatangan, terutama pada akhir pekan. Dengan membayar tiket Rp35 ribu, pengunjung bisa sepuasnya menikmati air hangat di beberapa kolam yang tersedia.
Tapi sebelum berendam di kolam tersebut, sebaiknya perhatikan beberapa peraturan yang sudah dipajang di sekitar kolam. Kolam yang memiliki air panas 42 derajat celcius dan tingkat keasaman pada ph 2.45 tersebut tidak dianjurkan bagi pengunjung lanjut usia atau mereka yang memiliki penyakit seperti diabetes, asma dan darah tinggi. Bagi mereka, dianjurkan hanya bersiram dengan air gayung dengan didampingi petugas medis.
Rismayanti (38), pengunjung asal Jakarta yang ditemui Warta Kota minggu lalu mengaku mendapatkan sensasi lain berwisata ketika berkunjung ke tempat itu. Ia datang bersama enam anggota keluarganya dan mengatakan tidak lengkap rasanya berwisata ke Bandung tanpa mampir ke kawasan Ciater.
‘Sensasi yang paling didapat ya kita bisa berendam di air panas di tengah suasana yang dingin. Suasana di sini juga asri, jarang ditemui di Jakarta,” katanya.
Pengunjung juga bisa menikmati sensasi berkuda di tengah hamparan perkebunan teh yang asri, tentu saja dengan dipandu oleh pawangnya. Atau, cobalah permainan menantang flying fox dan arung jeram yang akan membawa keceriaan berlibur bersama keluarga dan kerabat. Ada empat paket outing yang disediakan, dengan tarif antara Rp175 ribu sampai Rp325 ribu. Harga tersebut sudah termasuk tiket masuk, konsumsi serta berendam di kolam aiar panas.
Dan setelah lelah menikmati wahana-wahana itu, pengunjung bisa bersantap di restoran Kunang-kunang Café dan Kupu-kupu Café. Jika ingin melengkapi liburan seru bersama dinginnya malam di kawasan Ciater, pengunjung bisa menginap di bungalow-bungalow yang disewakan pengelola. Tarif untuk satu bungalow, rata-rata Rp1 juta.
Meski sudah memiliki banyak wahana, namun pihak pengelola dalam waktu dekat akan menambahnya. Kata Cucu Sutisna, Duty Manager Ciater Spa Resort, hal ini demi mengatasi persaingan antara pengelola wisata di sana yang semakin ketat dan terpenting untuk memberikan kepuasan kepada pengunjung.
"Lahan kami masih cukup luas, totalnya 36 hektar dan masih banyak yang belum terpakai. Dalam waktu dekat kami akan bangun Pujasera yang mengelilingi danau buatan milik kami. Ini agar wisatawan semakin mendapatkan pelayanan lengkap ketika datang ke sini,” jelasnya.
Terapi kesehatan
Ciater Spa Resort hanya salah satu tempat rekreasi di kawasan Ciater. Tetapi, kata Cucu Sutisna, tempat itu punya kelebihan dibandingan pengelola wisata lain yang menjadi kompetitornya di kawasan berhawa dingin itu.
“Ciater Spa Resort mempunyai fasilitas unggulan wellness spa yang merupakan perpaduan teknologi modern dengan sumber air panas yang berkhasiat bagi kesehatan tubuh. Ini yang membedakan kami dengan pengelola wisata lain di kawasanCiater,” katanya kepada Warta Kota.
Jadi, tegas Cucu, pengunjung Ciater Spa Resort tidak hanya mereka yang ingin berekreasi saja. Banyak orang yang ingin menjalani terapi kesehatan yang disediakan di sana. Pengunjungnya pun kata Cucu datang dari berbagai kota, paling banyak Bandung dan Jakarta.
“Di sini para pasien ditangani oleh tenaga ahli medis dan physiotherapy, sehingga para tamu yang datang bisa berlibur sambil memulihkan kesehatan dan kebugaran. Ada yang sekadar rawat jalan, namun banyak yang sekaligus menikmati liburan dengan menginap di bungalow-bungalow kami,” jelasnya. Menurut Cucu, pihaknya memberikan beberapa layanan dalam wellness spa ini.
Pertama adalah Medical Center & Wellness Spa, yang menangani penyakit yang berkaitan dengan gangguan fungsi gerak dengan modalitas elektro terapi, hydro terapi, kinesi terapi dan magneto terapi. Dalam memberikan pelayanan, para tenaga ahli yang terdiri dari tim kesehatan dokter spesialis, dokter rehabilitasi medik, fisioterapi dan perawat akan melakukan tindakan promotif, preventif dan rehabilitatif dikerjakan oleh.
Pengobatan sendiri dilakukan menggunakan peralatan medis modern di dalam sebuah gedung seluas +7000 m yang dilengkapi dengan kolam air panas alami di mana penanganan pria dan wanita dilakukan secara terpisah. “Beda dengan kolam rendam yang memiliki tingkat panas mencapai 42 derajat celcius, khusus untuk pengobatan tingkat panasnya hanya 26 derajat celcius. Ini sudah berdasarkan penelitian para ahli,” katanya.
Kemudian ada pula layanan Medical Treatment atau Rehabilitasi Medik. “Layanan ini adalah upaya pemulihan dari kondisi traumatik yang menyebabkan keadaan cacat atau ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik layaknya orang normal. Penanganannya dilakukan melalui pendekatan elektro terapi, hydro terapi, kinesi terapi yakni pelatihan anggota gerak secara medik dan magneto terapi.” Adapun jenis penyakit yang biasa ditangani adalah stroke, rematik, linu pada tulang, sendi dan otot, gangguan otot, kasus bedah dan sebagainya.
Selain itu, untuk melengkapi wisata para pengunjung, di Ciater Spa Resort juga tersedia layanan untuk spa dengan nama Beauty Spa Treatment.
Ciater Spa Resort
Jl. Raya Ciater-Subang 41281 Jawa-Barat
Phone: +62 260 470351-55
Tiket Masuk: Rp 11.000/orang
Kebakaran hebat melanda sebuah perkampungan padat penduduk di daerah Tambora, Jakarta Barat 28 Juli 2012 silam. Saat itu api benar-benar mengamuk di sana. Sebanyak 197 rumah menjadi belantara puing. Dua balita berusia 3,5 dan 6 tahun meninggal. 1.114 jiwa kehilangan tempat tinggal.
Namanya Kampung Janis. Sebuah perkampungan yang terdiri dari 20 RT, berada di wilayah RW 08 dan RW 09 Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Semenjak kebakaran besar itu, kini kehidupan di Kampung Janis sudah kembali normal.
Kampung ini seperti memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan perkampungan lain di Jakarta. Sebagian besar warga di sana merupakan kaum urban dari berbagai daerah. Mereka hidup berdampingan, membentuk komunitas kecil para perantau.
Samuti (43), tokoh masyarakat di RW 08 mengatakan, keberadaan berbagai etnis di sana tidak lepas dari jarak kampung yang dekat dengan pusat perdagangan, misalnya Pasar Angke dan Pasar Pagi. “Para kaum pendatang sudah mulai menempati kampung ini sejak masa kolonial,” kata Samuti belum lama ini.
Dia kemudian berkisah, almarhum ayahnya, sudah bertempat tinggal di kampung itu sejak 1940. Saat itu, di kawasan Tambora dan Tamansari, geliat ekonomi sudah ramai. “Ayah saya datang ke sini bersama para tetangganya dari sebuah desa di Serang. Dulu mereka rata-rata bekerja sebagai kuli di perusahaan ekspedisi maupun toko-toko milik warga keturunan di daerah Jayakarta,” kisah Samuti.
Berdasarkan cerita dari sang ayah, Samuti menjelaskan bahwa pada tahun 1940an Kampung Janis masih berupa rawa dan semak belukar. Ayah Sumuti beserta rombongan urban dari Banten kemudian membangun gubug di sekitar rawa itu. “Namanya juga orang dulu, datang, asal main patok tanah saja. Sejak ada beberapa rumah berdiri, orang-orang semakin banyak yang datang dan membangun rumah di sini,” katanya.
Pasca-kemerdekaan, semakin banyak urban yang datang ke Kampung Janis. Mereka memanfaatkan tanah-tanah yang masih kosong di sana untuk membangun tempat tinggal. Pada tahun 1950an, dijelaskan Armi (73) salah satu sesepuh Kampung Janis, saat itu arus kedatangan orang dari berbagai daerah mulai banyak. “Entah darimana datangnya mereka, tapi banyak yang membangun gubug-gubug kecil sebagai tempat tinggal di tepi-tepi rawa atau empang. Karena kami juga merasa tidak memiliki tanah ini, dulu kami biarkan saja. Justru mereka kami jadikan tetangga,” kisah wanita asal Balaraja, Tangerang.
Armi sendiri mengaku datang pertama kali ke Kampung Janis sejak sebelum masa kemerdekaan. Ia diajak sang suami untuk bekerja di Jakarta dengan karena sulitnya mencari uang di desa asalnya. “Suami saya dulu dagang di Gang Kancil, dekat dengan Jembatan Lima. Dagangnya apa saja, dari kelapa, sayur, daun pisang,” jelasnya.
Puncak arus kedatangan pendatang dari luar ke Kampung Janis terjadi di awal 1980. Keramaian di Pasar dan Stasiun Angke menjadi penyebabnya. Saat itu semakin banyak pedagang dari luar daerah, khususnya Banten dan Jawa yang kemudian menetap di Kampung Janis. Semenjak itu pula tanah-tanah yang masih tersisa berubah menjadi deretan rumah. “Bahkan rawa dan empang diuruk, dibangun rumah,” imbuh Armi.
Seiring bertumbuhnya kehidupan sektor ekonomi di kawasan Tambora dan sekitarnya, kampung tersebut menjadi semakin padat seperti yang dijumpai saat ini. Hampir tidak ada lahan kosong. Rumah-rumah rapat. Tersisa gang-gang kecil sebagai ‘ruang publik’ dan akses para warganya.
Menurut pengurus RW, tiga etnis terbesar di sana adalah Jawa-Madura (30%), Sunda-Banten (30%), dan Cina (20%). Sisanya, warga dari beragam etnis seperti Bugis (5%), Betawi (10%), dan etnis lainnya.
Sektor Informal
Masuk ke kampung ini dari arah timur atau fly over Jalan Tubagus Angke, segera terlihat betapa kampung ini menjadi denyut nadinya kaum urban di Jakarta. Jalan selebar enam meter di tepian rel kereta api itu kini diberi nama Jalan Pekojan III. Deretan lapak pedagang seolah menjadi 'penyambut' orang yang datang ke Kampung Janis. Barang-barang seperti VCD/DVD, aksesoris sepeda motor, warung kopi, penjual mainan bahkan sampai barang bekas mewarnai lapak-lapak itu.
Melintasi jalan itu, selalu ditemukan kumpulan orang di beberapa titik. Pagi, siang atau malam, di beberapa lokasi seperti gardu, depan toko kelontong, warung kopi atau depan rumah warga lelaki berkumpul.
Ada yang bermain catur, saling bekelakar di warung kopi atau sekadar duduk-duduk di sekitar lapak penjual barang bekas. Pemuda-pemuda bertato juga kerap berseliweran di jalanan itu. Kadang mereka menenteng barang-barang bekas, baik elektronik maupun perkakas rumah.
Kondisi tidak jauh berbeda jika menelusuri gang-gang kecil di kampung itu, khususnya di kawasan RW 08. Hampir di setiap sisi kanan-kiri gang selebar satu hingga satu setengah meter itu banyak warga berkumpul.
Entah apa yang mereka perbincangkan, tapi seperti itulah pemandangan sehari-hari di Kampung Janis.Sementara para orang tua berkumpul, anak-anak bermain dan berlarian. Beberapa perempuan juga terlihat mencuci baju atau perabotan di depan rumah. Pengendara sepeda motor harus ekstra hati-hati melewati gang kecil yang ramai ini.
Di gang-gang tersebut juga banyak didapati toko kelontong maupun penjual makanan yang menggelar dagangannya di meja kecil.
Bahkan, di jarak sekitar lima meter, beberapa warga berjualan jenis makanan yang sama. Tidak sedikit pula rumah-rumah warga yang digunakan sebagai tempat usaha lainnya, seperti membuka jasa cukur rambut dan kios jual-beli barang bekas. Menyusuri gang-gang di sana, layaknya berjalan di sebuah pasar.
Umumnya, warga Kampung Janis berprofesi sebagai pekerja informal. Para warganya bergelut dalam berbagai pekerjaan seperti pedagang kelontong,tukang cukur, buruh konveksi, penyablon, serta pedagang mainan anak-anak, makanan, sate dan alat-alat rumah tangga.
Sebagian adalah pedagang keliling yang menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki, naik sepeda, atau mendorong gerobak berisi dagangan mereka.
Ada juga pedagang yang memilih mangkal di beberapa lokasi di sekitar Pasar Pagi, pasar buah di sekitar Stasiun Kereta Api Angke, atau di tepian rel kereta api.
Beberapa warga lain membuka usaha jual-beli dan memperbaiki barang bekas atau memulung. Ada pula yang menjadi kuli panggul di pasar buah atau di pasar tak jauh dari lokasi itu.
“Memang saat ini tidak ada pilihan lain. Warga sini, kalau nggak jadi buruh ya dagang,” kata Rodiyah (53) seorang pedagang kue yang lahir di Kampung Janis pada 1963. Menggeluti pekerjaan di sektor informal, bagi masyarakat Kampung Janis, seolah menjadi tradisi secara turun-temurun.
Seperti yang diceritakan Rodiyah, latar belakang para orang tua pendahulu di Kampung Janis yang merupakan kaum urban dari pedesaan, menjadi sebab ‘tidak disiapkannya’ generasi penerus yang lebih baik.
“Punya anak, yang penting dibesarkan saja. Kalau sudah besar, biar mereka cari pekerjaan sendiri,” kata Rodiyah yang telah menjanda sejak 20 tahun silam. Penghasilan Rodiyah dari berjualan kue rata-rata Rp350.000 per bulan. “Buat jajanin empat cucu saya saja,” katanya.
Sementara itu, Tatang (58) yang tinggal di lokasi itu sejak 1954 membuka usaha jual-beli dan memperbaiki barang bekas mengaku penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Beruntung Istri Tatang, Nunung Hartati (54), ikut bekerja dengan berdagang kebutuhan pokok di rumah warungnya. Satu anak dan tiga cucunya masih tinggal bersama mereka. Dari pekerjaan itu, penghasilanTatang rata-rata sebulan Rp 1,5 juta dan pendapatan istrinya sehari Rp 50.000 sampai Rp 70.000.
Rendahnya pendidikan warga Kampung Janis dibenarkan oleh Samuti. Di RW 08 saja, kata dia, warga dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) mencapai 50 persen. Mereka umumnya adalah kaum-kaum tua yang lahir dalam rentang 1960-1990an. Para pemuda di sana juga relatif berpendidikan rendah, dengan rincian 25 persen lulusan SMP, 20 persen lulusan SMA dan lulusan perguruan tinggi hanya 5 persen.
Tingkat pendidikan yang rendah, menjadi fenomena sosial perkotaan yang ironis. Hal itu pula yang menyebabkan tingkat pengangguran di sana tinggi, mencapai 30 persen dari jumlah penduduk usia produktif.
“Masalah Jakarta tidak hanya soal banjir dan macet. Tetapi fenomena sosial seperti masyarakat miskin kota ini harusnya menjadi prioritas juga,” kata Samuti.
Bahkan Sumuti tidak menampik adanya persepsi di masyarakat luas bahwa Kampung Janis merupakan ‘kandang preman’. Dia menyebut itu sebagai salah satu protret dari kemiskinan masyarakat perkotaan. “Dari tahun 1985 sampai sekarang orang-orang pada segan kalau nyebut kampung ini. Memang benar, dulu ada beberapa preman dari sini yang disegani. Sampai sekarang pun masih ada generasinya. Hanya saja tidak separah dulu. Asal tamu yang ke sini sopan, mereka pasti segan.”
Dua Cerita
Nama sebuah kampung umumnya memiliki sejarah atau mitos. Jika tidak ada sejarah tertulis, cerita mengenai pembentukan maupun penamaan kampung biasanya diceritakan dari mulut ke mulut antar generasi.
Tetapi tidak demikian dengan Kampung Janis. Beberapa warga yang ditemui, mereka mengaku tidak mengerti dari mana asal-muasal penamaan Kampung Janis. Ada beberapa orang yang mencoba menjelaskan, tapi mereka juga tidak yakin dan urung melanjutkan cerita soal sejarah Kampung Janis.
Samuti menjelaskan, pada umumnya masyarakat Kampung Janis saat ini memang tidak tahu persis kenapa kampung itu kemudian disebut sebagai Kampung Janis. Tetapi, saat ini ada dua kepercayaan masyarakat setempat meskipun kebenarannya belum bisa dibuktikan secara pasti.
Pertama, kepercayaan mengenai keberadaan perempuan bernama Janis yang dulunya menempati daerah itu. Kepercayaan ini berkembang di masyarakat Janis setelah banyak warga sering menjumpai sosok itu kerap muncul di malam hari.
Beberapa warga yang pernah melihatnya, memberi kesaksian bahwa perempuan bernama Janis itu berwajah cantik, selalu mengendari pedati dan mengenakan pakaian kebesaran. “Sesepuh bilang Ibu Janis ini berasal dari Bugis,” katanya.
Tidak adanya catatan sejarah yang menjelaskan asal-muasal penamaan Kampung Janis mendorong beberapa orang untuk mencari jejak kampung itu melalui cara lain, yakni dengan cara penerawangan batin.
Menurut Sumuti, dari keterangan beberapa orang yang memiliki ‘ilmu’ itu, muncullah kepercayaan kedua bahwa Kampung Janis dulunya didirikan oleh seorang pangeran bernama Adnin Anin Janis.
“Jadi mereka melihat dulu di sini adalah sebuah kerajaan. Di tempat sekarang dibangun kantor Kelurahan Pekojan, menurut mereka merupakan pintu gerbang menuju kerajaan,” terang Samuti.
Dalam penerawangan itu pula, para pelaku ilmu batin itu mendapatkan petunjuk bahwa di sekitar Kampung Janis terdapat makam pangeran Adnin Anin Janis. Hanya saja, kata Sumuti, keberadaan makam tersebut sampai sekarang belum ditemukan.
“Jarak waktunya sudah ratusan tahun. Di dekat makam pangeran itu, katanya terdapat semacam prasasti sebagai pertanda di sana adalah makam Pangeran Janis. Tapi untuk lokasi persisnya sampai sekarang belum ketemu,” katanya