Jumat lalu, saya berkesempatan
mengunjungi sebuah museum yang menyimpan catatan penting bagi sejarah dan kiprah
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tempat ini bernama Museum Polri. Letak museum ini berada
di Jalan Jl.
Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan atau bersebelahan dengan Markas
Bekas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dilihat dari luar, museum ini sudah
nampak modern, meski bentuk bangunan mengadopsi gaya klasik. Beberapa ornament
yang menghiasi bagian depan bangunan museum, serta desain jendela yang sudah bergaya masa kini,
membuat museum ini nampak berbeda dibandingkan dengan museum lain.
Di bagian depan bangunan museum, terdapat sebuah kendaraan panser serta sebuah
helicopter. Kedua kendaraan ini, kerap digunakan untuk berfoto-foto oleh para
pengunjung museum.
Jangan kaget ketika Anda masuk ke dalam museum. Pasalnya, Anda akan mendapatkan sambutan berupa
senyuman manis dari para petugas museum, yang terdiri dari para polwan cantik dan polisi yang
ramah. Kami juga mengalami ini.
Dari jarak beberapa meter, sudah bersiap-siap untuk melayani
kami. Mereka berdiri di balik meja informasi. Di meja informasi ini, pengunjung
diminta untuk meninggalkan identitas, serta menitipkan tas di loker yang sudah
disediakan. Hanya kamera serta handphone yang boleh dibawa menjelajah ruang museum. Para
petugas melayani dengan begitu sopan, murah senyum dan menjawab berbagai
pertanyaan pengunjung dengan ramah. Jika Anda membutuhkan pemandu, para petugas museum juga dengan senang hati akan menemani
Anda berkeliling melihat koleksi-koleksi, dari lantai satu hingga lantai tiga.
Di ruang utama ini, Anda akan menyaksikan sebuah mobil patroli
yang digunakan oleh Samapta berpatroli di dalam kota. Menurut seorang petugas museum, kondisi
mobil jenis Ford Focus 2.0 ini masih baru, khusus dipajang untuk mewarnai
koleksi Museum Polri. Mobil ini, dilengkapi dengan
perangkat mutakhir berupa teknologi Global Positioning System (GPS) sebagai
bagian dari progam Quick Wins untuk meningkatkan kualitas pelayanan polisi
kepada masyarakat. beberapa pengunjung juga bisa masuk dan berfoto dengan mobil
ini.
Masih di ruangan ini, kita bisa menyaksikan deretan nama pejuang
kepolisian yang gugur dalam beberapa operasi, seperti yang gugur dalam operasi
di Irian Barat, pejuang yang gugur di Malaysia, pejuang yang gugur dalam
operasi militer di Aceh dan sebagainya. Dekat dari situ, terdapat sebuah layar
sentuh berukuran besar. Dari layar tersebut, kita bisa melihat denah gedung museum, dari
lantai satu hingga lantai tiga.
Bhayangkara, Polisi di Jaman Majapahit
Museum Kepolisian Negara Republik Indonesia memang
menawarkan penelusuran sejarah kepolisian Negara Republik Indonesia melalui
sentuhan galeri sehingga tanpa terasa membawa para pengunjung pada alam
kepolisian masa lalu hingga masa kini. salah satunya, bisa kita saksikan di
Ruang Sejarah, yang berada di lantai satu bangunan museum.
Di Ruang Sejarah Museum Polri,
terdapat beberapa diorama penting menggambarkan peristiwa-peristiwa penting
dalam perjalanan dan kiprah institusi Polri. Diorama pertama, berada di sudut
paling kanan ruangan, berjudul Diorama Bhayangkara. Pada jaman kuno, sebelum
kedatangan bangsa-bangsa barat, kerajaan di nusantara sudah mempunyai lembaga
yang menjalankan fungsi kepolisian, walaupun belum merupakan kepolisian modern.
Salah satunya adalah pasukan Bhayangkara di
bawah pimpinan Mahapatih Gadjah Mada dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan
Majapahit mempunyai beberapa lembaga pemerintahan sebagai kelengkapan untuk
membantu Raja dalam melaksanakan pemerintahan. Adapun lembaga-lembaga tersebut
antara lain Sapta Dharma Putra, Bhayangkara, Ratu Agabaya dan Jalanid.
Pasukan Bhayangkara sendiri adalah pasukan
yang terdiri dari prajurit-prajurit pilihan. Pada awal pembentukannya, hanya
terdiri dari 15 orang yang dikepalai oleh Patih Gadjah Mada. Adapun tugas utama
pasukan Bhayangkara dalah menjaga ketentraman, ketertiban, penegakan peraturan
sekaligus sebagai pengawal pribadi raja dan Kerajaan Majapahit.
Kemudian dalam perkembangannya, pasukan
Bhayangkara juga mengemban tugas menegakkan peraturan perundang-undangan
kerajaan serta pengawasan perdagangan. Inilah cikal bakal fungsi kepolisian dan
ekamanan di Indonesia yang lahir sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno.
Perangkat Kepolisian di Era Prakolonial dan Kolonial
Di Ruang Sejarah Museum Polri,
kita dapat menyaksikan bagaimana perjalanan sistem pengamanan, dari semenjak
jaman kerajaan hingga masa kini. Dari keterangan berbagai sumber sejarah,
diketahui bahwa konsep lembaga kepolisian dalam tatanan kenegaraan telah ada
sejak masa lampau. Dalam perkembangannya, Kepolisian Negara Republik Indonesia
mengalami perubahan seiring dengan perjalanan bangsa dan negara Indonesia.
Perangkat kepolisian di era sebelum kolonial, pada era abad 7-16 masehi, misalnya. Pada masa ini,
ternyata bentuk kepolisian sudah ada. Jauh sebelum bangsa barat datang ke
Indonesia, masyarakat Nusantara telah mengenal tugas kepolisian berupa
pengamanan dan pembinaan stabilitas negara. Pada masa itu, organisasi dan sifat
tugas kepolisian masih bersifat tradisional yang dilaksanakan oleh pasukan
keamanan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Sriwijaya, yang kala itu merupakan kerajaan maritime terbesar di
Nusantara, memiliki pasukan keamanan laut yang direkrut dari bajak laut Selat
Malaka untuk menjaga aktifitas perniagaan. Di kerajaan Majapahit, pelaksana
tugas kepolisian dilakukan pengawal pribadi raja bernama Bhayangkara yang
dipimpin oleh Majapahit Gadjah Mada. Bhayangkara yang juga berarti antibahaya
terdiri atas dua kesatuan, yakni Bhayangkara Andhika untuk menjaga keamanan
kota dan Bhayangkara Lelana untuk menjaga keamanan daerah. Setiap kesatuan
Bhayangkara beranggotakan 15 orang.
Masa Kolonial dan Pendudukan Jepang
Di era VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), J.P Coen
membentuk kesatuan polisi kota di wilayah Jakarta yang saat itu bernama
Batavia. Di dalam kesatuan itu, terdapat jabatan-jabatan seperti kaffers
(penjaga penjahat), ratelwatcht (penjaga malam) dan landdrost (petugas yang
mengamankan daerah di luar Batavia).
Ketika peran VOC berganti menjadi Pemerintahan Hindia Belanda,
organisasi dan struktur kepolisian pun berubah. Pemerintah Hindia Belanda
membentuk berbagai kesatuan polisi, misalnya polisi perkebunan, polisi pangreh
praja dan polisi lapangan atas nama menegakkan keamanan dan ketertiban termasuk
mencegah dan mengatasi perjuangan politik kaum pribumi. Untuk mengamankan
kepentingan politiknya, Pemerintah Hindia Belanda membentuk badan intelegen
polisi yang disebut P.I.D pada 1916.
Pada 1942, Pemerintah Hindia Belanda kalah dalam perang melawan
Jepang dan dimulailah era Pendudukan Jepang (1942-1945). Di masa pendudukan
ini, bidang kepolisian disesuaikan dengan kepentingan pendudukan militer
Jepang. Semua pegawai polisi
Belanda ditawan dan diganti dengan pegawai polisi bangsa Indonesia.
Seluruh kesatuan polisi dari masa Pemerintah Hindia Belanda
disatukan dalam satu badan kepolisian bernama Keisat-sutai. Pemerintah
pendudukan Jepang kemudian juga membentuk satuan polisi istimewa bernama
Tokubetsu Keisatsutai yang menjadi cikal bakal Brigade Mobil.
Melihat Barang Bukti
Peristiwa Bom Bali di Museum Polri
Benda-benda terkait
peristiwa pemboman Bali dan pemboman di beberapa wilayah lain yang dilakukan
oleh jaringan teroris, nampaknya menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat
berkunjung ke Museum Polri. Pasalnya, di lantai tiga bangunan museum ini, pengunjung bisa menyaksikan langsung
benda-benda hasil sumbangan dari Densus 88 tersebut serta bisa mengetahui bagaimana
kronologi peledakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok di beberapa tempat,
baik di Jakarta maupun di Bali.
Sebuah maket bangunan
bom Bali memperlihatkan bagaimana hancurnya bangunan tersebut pasca terjadinya
pemboman. Serpihan bom Bali I akan membuat kita membayangkan betapa dahsyatnya
ledakan yang terjadi saat itu. Serpihan bom yang meledak di Sari Club Kuta Bali
tanggal 12 Oktober 2002 ini, menyebabkan 202 orang meninggal dunia dan
mencederai 209 orang lainnya yang kebanyakan adalah wisatawan asing.
Juga terdapat serpihan
bom bali II yang meledak di restoran Raja's Kuta, Bali, pada tanggal 1 Oktober
2005. Serangan bom kedua ini menyebabkan 23 orang meninggal dunia dan 196
lainnya mengalami luka-luka. Korban sendiri mayoritas adalah warga Indonesia. Barang
bukti lain terkait bom Bali yang dipajang di sini adalah telpon genggam Nokkia
3350 yang digunakan sebagai pemicu bom Bali tahun 2002 oleh Amrozi dan
kawan-kawan.
Tidak hanya itu,
serpihan bom Malang juga dipamerkan di sini. Serpihan ini merupakan sisa bom
rakitan Dr. Azhari yang gagal meledak saat rumah persembunyiannya di Batu,
Malang, ketika disergap oleh detasemen 88 anti teror pada tanggal 9 november
2005. Pada penyergapan yang disertai tembak menembak tersebut, Dr. Azhari dan
tersangka lainnya tewas karena meledakkan diri. Di sebuah kaca etalase, nampak
sisa bom rakitan dan sebuah kacamata milik Dr. Azhari.
Koleksi lain yang tak
kalah menarik, yakni sisa rangka mobil yang digunakan meledakkan bom bali.
Temuan terhadap sisa rangka inilah yang menjadi kunci terungkapnya kasus
pemboman yang menewaskan ratusan orang tersebut. Diceritakan, dari mobil yang
meledak di Sari Club, Bali, didapatkan sebuah rangka bernomor KA611286 keluaran
tahun 1981-1983. Akan tetapi, setelah melakukan penelurusan diketahui bahwa
mobil tersebut menggunakan nomor chasis palsu. Tim forensik AFP (Ausralia)
bahkan menggunakan scanner, bahan kimiia dan berbagai cara untuk mrnimbulkan
nomor chasis asli yang sudah digerinda dan ditimpa nomor baru.
Petugas kemudian menemukan lempengan logam semacam seng yang ditutupi bahan jeniis blue jeans. Dilempengan itu, tertulis nomor KIR kendaraan, yaitu DPR15463. Berdasarkan catatan DLLAJ, didapat bahwa mobil tersebut dari jenis Mitsubishi Station Wagon L-300, mesin 1400 cc buatan tahun 1983, warna putih dengan nomor chasis KA0011230. Pemilik terakhir mobil tersebut adalah M. Rozi alias Khairul Anam alias Amrozi. Berkat chasis ini, para pelaku peledakan bom Bali 2002 dapat ditangkap oleh Kepolisian RIM
Serpihan bom JW Marriot 5 Agustus 2003 juga turut mewarnai koleksi hasil sumbangan Densus 88 ini. Dalam serangan tersebut, sedikitnya 12 orang meningal dunia dan 150 luka-luka.
Petugas kemudian menemukan lempengan logam semacam seng yang ditutupi bahan jeniis blue jeans. Dilempengan itu, tertulis nomor KIR kendaraan, yaitu DPR15463. Berdasarkan catatan DLLAJ, didapat bahwa mobil tersebut dari jenis Mitsubishi Station Wagon L-300, mesin 1400 cc buatan tahun 1983, warna putih dengan nomor chasis KA0011230. Pemilik terakhir mobil tersebut adalah M. Rozi alias Khairul Anam alias Amrozi. Berkat chasis ini, para pelaku peledakan bom Bali 2002 dapat ditangkap oleh Kepolisian RIM
Serpihan bom JW Marriot 5 Agustus 2003 juga turut mewarnai koleksi hasil sumbangan Densus 88 ini. Dalam serangan tersebut, sedikitnya 12 orang meningal dunia dan 150 luka-luka.
Penuh makna
Museum Polri, diirikan atas semangat untuk mengenang
sejarah dan mendalami tentang kepolisian Indonesia. Awalnya, gagasan
pembentukan museum ini muncul dari Kapolri yang saat itu
memimpin, Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri. Dulu, dalam berbagai lawatan
ke luar negeri, Pak Bambang selaku Kapolri saat itu, selalu diajak oleh
kepolisian setempat ke museum kepolisian
yang ada di sana. Kemudian muncullah ide untuk membuat museum ini, mengingat pentingnya sejarah
kepolisian Indonesia serta panjangnya sejarah yang menyertainya. Tujuan
pendirian museum ini sendiri, tidak lain adalah untuk
melestarikan nilai-nilai kesejarahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
pewarisannya kepada generasi mendatang.
Polri sangat berperan dalam menciptakan keamanan, baik di masa
sebelum kemerdekaan hingga sekarang. Melihat sejarah terbentuknya, Polri
memiliki perjalanan yang begitu panjang
dari masa penjajahan kolonial dan masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di
awal kelahirannya, Polri tidak saja harus menjalankan tugas pemolisian sebagai
pelindung dan penjaga ketertiban masyarakat tetapi juga mendapat tugas sebagai
kekuatan perang dalam perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
Polisi Indonesia, bisa disebut juga sebagai polisi pejuang sejak
dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan RI. Deklarasi Polisi Istimewa di Surabaya
tak lama setelah proklamasi kemerdekaan dilanjutkan dengan konsolidasi
organisasi kepolisian yang bersifat nasional pada 1 Juli 1946 oleh Kepala
Kepolisian Negara Jenderal Polisi R.S. Soekanto, menjadi dasar keunikan sejarah
Kepolisian Negara Republik Indonesia dibanding institusi kepolisian
negara-negara lain.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Polri turut berperan menumpas berbagai pemberontakan kelompok separatis dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, Polri terlibat dalam operasi tempur seperti operasi Trikora dan Dwikora. Di masa kepemimpinan Presiden Soeharto (1967–1998), Polri menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan terlibat dalam berbagai operasi militer seperti di Timor Leste, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Papua.
Sejak 1998, pergantian kekuasaan dan perubahan politik Indonesia memberikan dampak pada organisasi Polri. Sebagai institusi kepolisian, Polri berupaya mewujudkan diri sebagai lembaga yang profesional dalam menjalankan fungsi perlindungan dan pelayanan masyarakat.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Polri turut berperan menumpas berbagai pemberontakan kelompok separatis dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, Polri terlibat dalam operasi tempur seperti operasi Trikora dan Dwikora. Di masa kepemimpinan Presiden Soeharto (1967–1998), Polri menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan terlibat dalam berbagai operasi militer seperti di Timor Leste, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Papua.
Sejak 1998, pergantian kekuasaan dan perubahan politik Indonesia memberikan dampak pada organisasi Polri. Sebagai institusi kepolisian, Polri berupaya mewujudkan diri sebagai lembaga yang profesional dalam menjalankan fungsi perlindungan dan pelayanan masyarakat.
Bagaimanapun, tema kesejarahan tersebut disusun dalam sebuah sudut pandang yang menyajikan tema besar tentang upaya POLRI dalam menyelenggarakan keamanan dan ketertiban serta dinamika internal-eksternal yang mempengaruhi sosok lembaga kepolisian RI. MelaluiMuseum Polri, diharapkan muncul gambaran tentang watak kelembagaan POLRI yang semakin modern, profesional, dan mandiri sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Landasan pemikiran inilah yang menjadikan inisiatif pembangunan Museum Polri memiliki nilai strategis. Pertama, Museum Polri menjadi instrumen yang menunjukkan posisi dan peran Polri dalam perkembangan sejarah masyarakat Indonesia. Ekspresi kesejarahan tersebut menjadi dasar pembentukan ligitimasi Polri sebagai lembaga yang dibentuk untuk melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat Indonesia.
Tidak dapat disangkal Kepolisian Negara Republik Indonesia lahir
seiring dengan dinamika perjuangan membangun negara, menjaga keutuhan wilayah
RI dari perpecahan dan sisa-sisa pemberontakan separatisme dekade 1950an, dan
di samping perannya sebagai pejuang (kombatan) dalam proses kelahiran negara
baru, tetap memiliki peran utaman dalam menjaga dan melindungi masyarakat dari
berbagai bentuk kejahatan yang muncul sesuai permasalahan zamannya.
Kedua, Museum Polri menjadi lukisan yang menggambarkan kiprah para anggota kepolisian RI, mulai dari tingkat paling bawah sampai pimpinan tertinggi, mulai dari ibukota sampai ke pelosok-pelosok terpencil, dan mulai dari mereka yang bekerja di jalan raya sampai mereka yang memanfaatkan teknologi mutakhir dalam melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, penipuan, narkotika, kekerasan, dan teror.Museum Polri memiliki arti strategis membangun kesadaran korps (esprit de corps) dan solidaritas kolektif anggota kepolisian RI tentang peran masing-masing jajaran kepolisian dan arti penting mereka dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Ketiga, Museum Polri pada akhirnya memiliki peran vital sebagai alat pembelajaran bagi seluruh jajaran anggota kepolisian RI tentang peran dan fungsi mereka di tengah masyarakat Indonesia. Informasi yang ditampilkan dalam Museum Polri menunjukkan kepada setiap anggota tentang bagaimana profesi mereka sebagai anggota kepolisian seharusnya dilakukan. Juga dituangkan bagaimana tradisi kepemimpinan secara spesifik lahir di dalam lembaga kepolisian seperti dicontohkan oleh mereka yang telah menjalankan tugas memimpin lembaga kepolisian RI. Dalam kaitan ini, terdapat ruang bersama untuk saling belajar bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap rekan-rekan kolega mereka yang menjalankan tugas di dalam situasi dan konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang beragam di dalam masyarakat Indonesia yang plural.
Keempat, pembangunan Museum Polri diletakkan di atas dasar acuan kekayaan sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang beragam dari segi geografi dan pengalaman kesejarahan masing-masing wilayah. Di samping karakternya yang bersifat nasional, museumini dirancang untuk menampung informasi 'lokal' dari masing-masing daerah yang berkait dengan sejarah kepolisian. Dengan demikian,Museum Polri menyajikan keunikan pengalaman sejarah masing-masing wilayah Kepolisian Negara Republik Indonesia lengkap dengan simbol-simbol kelembagaan, monumen dan situs-situs sejarah, serta cerita mengenai tokoh penting kepolisian di masing-masing wilayah sebagai gambaran masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika.
Kelima, Museum Polri pada akhirnya adalah sebuah karya dan sumbangan institusi kepolisian RI kepada masyarakat umum dengan menjadikannya sebagai ruang publik baru yang memperkaya pengalaman sehari-hari masyarakat Indonesia (khususnya yang tinggal di Jakarta atau berkesempatan mengunjungi ibukota).
Kedua, Museum Polri menjadi lukisan yang menggambarkan kiprah para anggota kepolisian RI, mulai dari tingkat paling bawah sampai pimpinan tertinggi, mulai dari ibukota sampai ke pelosok-pelosok terpencil, dan mulai dari mereka yang bekerja di jalan raya sampai mereka yang memanfaatkan teknologi mutakhir dalam melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, penipuan, narkotika, kekerasan, dan teror.Museum Polri memiliki arti strategis membangun kesadaran korps (esprit de corps) dan solidaritas kolektif anggota kepolisian RI tentang peran masing-masing jajaran kepolisian dan arti penting mereka dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Ketiga, Museum Polri pada akhirnya memiliki peran vital sebagai alat pembelajaran bagi seluruh jajaran anggota kepolisian RI tentang peran dan fungsi mereka di tengah masyarakat Indonesia. Informasi yang ditampilkan dalam Museum Polri menunjukkan kepada setiap anggota tentang bagaimana profesi mereka sebagai anggota kepolisian seharusnya dilakukan. Juga dituangkan bagaimana tradisi kepemimpinan secara spesifik lahir di dalam lembaga kepolisian seperti dicontohkan oleh mereka yang telah menjalankan tugas memimpin lembaga kepolisian RI. Dalam kaitan ini, terdapat ruang bersama untuk saling belajar bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap rekan-rekan kolega mereka yang menjalankan tugas di dalam situasi dan konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang beragam di dalam masyarakat Indonesia yang plural.
Keempat, pembangunan Museum Polri diletakkan di atas dasar acuan kekayaan sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang beragam dari segi geografi dan pengalaman kesejarahan masing-masing wilayah. Di samping karakternya yang bersifat nasional, museumini dirancang untuk menampung informasi 'lokal' dari masing-masing daerah yang berkait dengan sejarah kepolisian. Dengan demikian,Museum Polri menyajikan keunikan pengalaman sejarah masing-masing wilayah Kepolisian Negara Republik Indonesia lengkap dengan simbol-simbol kelembagaan, monumen dan situs-situs sejarah, serta cerita mengenai tokoh penting kepolisian di masing-masing wilayah sebagai gambaran masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika.
Kelima, Museum Polri pada akhirnya adalah sebuah karya dan sumbangan institusi kepolisian RI kepada masyarakat umum dengan menjadikannya sebagai ruang publik baru yang memperkaya pengalaman sehari-hari masyarakat Indonesia (khususnya yang tinggal di Jakarta atau berkesempatan mengunjungi ibukota).
Museum Polri
dirancang untuk menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari masyarakat,
berbaur dengan kesibukan perkantoran, perdagangan, dan hal-hal yang terjadi
dalam kehidupan manusia di sekitar lingkungan museum. Melalui Museum Polri,
setiap anggota masyarakat dapat belajar tentang sejarah masa lalu mereka, dan
pada saat yang sama dapat menikmati karya seni yang ditampilkan diMuseum Polri,
menghadiri acara-acara pameran, atau bahkan sekadar menjadi tempat singgah di
waktu luang mereka dan berdiskusi tentang tema-tema aktual dalam masyarakat.
Dengan demikian, Museum Polri akan menjadi salah satu pusat
kebudayaan yang memperkaya kehidupan masyarakat.
Dengan memperhatikan lima faktor di atas, pada akhirnya Museum Polri adalah perwujudan salah satu strategi baru Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menempatkan sosok institusi kepolisian dalam masyarakat Indonesia, sosok yang mampu berubah namun pada saat yang sama juga memiliki sejarah yang panjang.
Dengan memperhatikan lima faktor di atas, pada akhirnya Museum Polri adalah perwujudan salah satu strategi baru Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menempatkan sosok institusi kepolisian dalam masyarakat Indonesia, sosok yang mampu berubah namun pada saat yang sama juga memiliki sejarah yang panjang.
Museum Polri
sendiri, diresmikan oleh Presiden SBY pada 1 Juli 2009, bertepatan dengan HUT
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan hari
Bhayangkara.
Di museum ini, ditampilkan beragam koleksi
menarik, seperti kendaraan patrol yang pernah digunakan para polisi dari masa
ke masa, koleksi senjata, ribuan
foto dan berbagai benda bersejarah, replika pesawat dan kapal, dan sebagainya.
Selain itu, museum ini juga sudah mengusung konsep
modern, dengan dilengkapi beberapa media interaktif, salah satunya ruang audio
visual yang berada di lantai tiga bangunan museum. Selain itu, di lantai dua bangunan museum terdapat kids corner, di mana lokasi
ini menjadi tempat favorit bagi pengunjung anak-anak. (Feryanto Hadi)
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
terimakasih atas atensinya...