Capuchino dan seporsi singkong goreng rasanya cukup untuk tiga jam nongkrong di Warung Kriwil yang berada di bilangan Pondok Bambu Jakarta Selatan. Secangkir capuchino harganya Rp13.000 dan seporsi ketela rebus tak lebih dari Rp7000. Sangat pas dengan kantung mahasiswa.
Kedai yang didirikan awal 2014 ini memang menyasar para mahasiswa sebagai pelanggannya karena lokasinya yang berdekatan dengan beberapa kampus. Saben hari, tempat ini ramai dikunjungi para mahasiswa. Bukan hanya karena harga-harga yang ditawarkan cukup terjangkau, tetapi juga karena suasana kedai yang nyaman dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas setara kafe-kafe kelas atas seperti pendingin ruangan, Wi-Fi, sofa, televisi layar datar dan tempat ibadah.
Meskipun tidak terlalu besar, kesan kedai ini cukup modern dilihat dari penataan interior. Kombinasi warna cerah merah, hitam dan hijau memberikan nuansa tenang. Terlebih, pada beberapa bagian dindingnya diberikan sentuhan-sentuhan property unik seperti kayu-kayu bertuliskan kalimat yang menggugah soal kebiasaan minum kopi. Pada dinding lain, terpampang gambar menu-menu. Sedangkan pada dinding bagian dalam, nuansa art sangat terasa dengan adanya lukisan maupun gambar-gambar para tokoh pewayangan.
“Awalnya tempat ini warung biasa, jualan makanan seperti warteg. Tapi dengan banyaknya mahasiswa yang suka menghabiskan waktu di sini, kami ubah desainnya seperti kafe. Lihat saja, desain dan fasilitas kami lengkap. Tapi harganya masih cukup terjangkau,” kata Zainal Abidin, Manajer Warung Kriwil kepada Warta Kota, akhir pekan lalu.
Masalah penentuan harga, awalnya pengelola Warung Kriwil mengalami dilemma. Sebab, berbagai menu yang disediakan di sana harusnya dijual dengan harga lebih. Tetapi, melihat segmen mereka yakni kalangan mahasiswa, pengelola tidak berani mematok harga menu terlalu tinggi.
“Sebagai sebuah bisnis, tentu keuntungan adalah salah satu prioritas kami. Tapi kami juga melihat segmen. Kasihan para pelanggan kami yang mayoritas adalah mahasiswa jika kami mematok harga terlalu mahal,” jelasnya.
Ya, jika melihat daftar harga menu-menunya, tagline yang diusung kedai ini yakni ‘Selera Bos, Harga Anak Kos’ cukup terbukti. Misalnya saja menu Ayam Taliwang, menu favorit Warung Kriwil yang hanya berbanderol Rp15 ribu untuk satu porsi. Padahal, menu khas Nusa Tenggara Barat (NTB) ini disajikan dengan tampilan istimewa dengan rasa yang super lezat. Di restoran atau kafe lain di Jakarta, harga menu Ayam Taliwang ini bisa di atas Rp50 ribu.
ayam taliwang |
Jika datang ke tempat ini, jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan lezatnya aneka nasi goreng. Ada beberapa jenis nasi goreng yang bisa Anda pesan, namun yang paling favorit adalah Nasi Goreng Kriwil. Berisi campuran nasi, daging sapi, telur dadar, rasakanlah kelezatan nasi goreng yang dibuat menggunakan bumbu kare ini. Lagi-lagi menu istimewa ini ditawarkan dengan harga yang cukup murah, hanya Rp15 ribu untuk satu porsi. Menu-menu makanan lain juga dijual dengan harga yang hampir sama.
Di deretan menu minuman, aneka blended menjadi idola pelanggan Warung Kriwil. Minuman ini merupakan racikan dari kopi tradisional, susu, coklat, vanilla folder dan rum bakar. Juga tersedia aneka kopi Nusantara yang diracik oleh barista berpengalaman, seperti Kopi Gayo, Robusta, Kopi Toraja, Kopi Papua dan jenis kopi lain. Atau cobalah minuman teh menyehatkan yang dilabeli Thai Tea dan Green Tea. Harga minuman antara Rp3 ribu sampai Rp14 ribu.
“Biasanya para mahasiswa menghabiskan waktu hingga berjam-jam di sini, baik untuk sekadar berkumpul dengan teman-temannya atau mengerjakan tugas sambil menikmati internet gratis,” kata Zainal.
Mahasiswa Jadi Barista
Selain menawarkan tempat yang nyaman dengan harga yang murah, para pelanggan Warung Kriwil juga bisa mencoba belajar menjadi barista atau peracik kopi. Berbagai bahan dan alat meracik kopi tersedia di bar Warung Kriwil. Hal ini, kata Zainal, dilakukan agar terjadi kedekatan secara emosional antara pengelola Warung Kriwil dengan para pelanggannya.
“Pelanggan kalau di sini sudah seperti di rumah sendiri. Kami bebaskan pengunjung menjadi barista. Sebagian sudah ada yang memang bisa. Tapi banyak yang mencoba-coba meracik kopi dengan alat dan bahan yang kami sediakan,” kata Zainal.
Selain itu, imbuh Zainal, pelanggan juga bisa me-request menu yang belum tersedia di Warung Kriwil. “Kami selalu mencoba dekat dengan para pelanggan; seperti sahabat. Kadang mereka request menu yang belum ada di sini dan kami mempertimbangkannya. Beberapa menu kami saat ini juga hasil request pelanggan.”
Ardi (27), pengunjung kedai itu mengaku segera terpikat meskipun baru pertama kali mencoba merasakan sensasi berada di Warung Kriwil. “Seperti tagline kedai ini, selera bos harga mahasiswa,” katanya. Ia juga mengakui kelezatan berbagai menu yang ia pesan malam itu.
“Di Jakarta ternyata masih ada makanan enak yang dijual semurah ini. Di sini bisa makan sepuasnya tanpa menguras kantung,” ungkapnya. (fha)
Warung Kriwil
Jalan Pangkalan Jati 1 No2 Rt01/01, Pondok Labu, Jakarta Selatan atau persis di belakang Kampus UPN Veteran pondok Labu
Jam Operasi: 09.00-24.00
Fasilitas: free music, AC, Wi-Fi, Mushola
Kapasitas: 25 orang
Telepon: 02129325579
Feryanto Hadi |
Berkunjung ke museum yang menyajikan koleksi sejarah dan budaya
mungkin sudah menjadi hal biasa buat kita. Apalagi ke museum yang memamerkan kemajuan teknologi. Tapi
bagaimana jadinya jika museum yang kita kunjungi menyajikan koleksi layang-layang, sebuah
permainan yang mungkin menjadi bagian dari masa kecil kita? begitulah yang kira-kira saya rasakan ketika berkunjung ke museum ini seorang diri, belum lama ini
Jika penasaran atau
mungkin ingin bernostalgia dengan masa kecil, maka cobalah untuk berkunjung ke Museum Layang-Layang yang terletak di Jalan H. Kamang
No. 38 Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan. Di museum ini, terdapat beragam koleksi layang-layang
dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dari manca negara.
Letak museum ini yang berada di jalan kecil, menjadi salah
satu kendala bagi masyarakat yang ingin datang ke museum tersebut. Jalan H. Kamang sendiri berada di
jalan raya yang menghubungkan Pondok Labu dan Fatmawati. Jika Anda datang dari
arah Fatmawati, jalan H.Kamang ini berada di sebelah SD Pondok Labu atau
sebelum Sekolah Al Izhar Pondok Labu. Ikuti petunjuk arah di sisi kanan jalan,
500 meter kemudian Anda akan segera sampai di museum ini.
Jika ingin menikmati
koleksi layang-layang yang unik dan estetik, pengunjung di atas 3 tahun
dikenakan tiket masuk sebesar Rp. 10.000. Mungkin Anda berpikir, harga tersebut
kok lebih mahal dibandingkan jika masuk ke museum lain? Memang benar adanya. Hal ini disebabkan
karena Museum Layang-Layang merupakan museum swasta, yang tentunya tidak mendapat subsidi
dari pemerintah. Tapi jangan kuatir, dengan Rp. 10.000 kita akan mendapatkan
berbagai fasilitas seperti menonton film di ruang audiovisual, touring museum serta belajar membuat layang-layang.
Sejarah
Museum Layang-Layang tidak seperti museum lain yang berada di bawah dinas atau kementerian dan mendapat
dana pengelolaan termasuk untuk menggaji karyawan. Museum ini, murni milik swasta dan dikelola oleh
sebuah yayasan.
Museum Layang-Layang Indonesia didirikan oleh seorang pakar
kecantikan yang menekuni dunia layang-layang sejak tahun 1985 dengan membentuk
Merindo Kites & Galery yang bergerak di bidang layang-layang. Namanya
Endang W. Puspoyo. Kecintaannya yang mendalam kepada layang-layang, beliau
kemudian mendirikan Museum Layang-Layang Indonesia pada 21 Maret 2003 dengan tujuan untuk
melestarikan budaya layang-layang tradisional yang unik dari setiap wilayah
Indonesia. Sebelum menjadi museum,
bangunan yang kini dipakai untuk museum adalah sebuah home industry yang memproduksi layang-layang yang
banyak di-ekspor ke luar negeri.
Kiprahnya dalam
mendirikan Museum Layang-Layang Indonesia ini, telah mendapat pengakuan dan
penghargaan dari berbagai pihak, seperti penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk pemecahan rekor
pemrakarsa dan penyelenggara pembuatan layang-layang berbentuk diamond terbesar
pada 2011 serta penghargaan kepariwisataan Indonesia pada 2004, yang diberikan
oleh I Gede Ardika selaku Menteri Kebudayaan dan Pariwisata saat itu.
Salah satu Manajemen museum, Nai R. Aslamiah ketika saya temui di lokasi menjelaskan bahwa jumlah koleksi layang-layang dimuseum ini berjumlah 600, namun jumlah tersebut terus
bertambah seiring datangnya koleksi-koleksi baru dari para pelayang daerah dan
luar negeri maupun layang-layang yang dibuat sendiri oleh karyawan museum.
Koleksi layang-layang
di museum ini, terdiri dari koleksi dalam negeri maupun koleksi
dari manca negara, termasuk layang-layang tradisional dan modern. Mulai dari
layang-layang berukuran dua centimeter, hingga yang berukuran besar. Bahkan,
dalam museum ini terdapat beberapa koleksi layang-layang
berukuran raksasa terbesar di tanah air seperti layang-layang ‘Megaray’
berukuran 9 X 26 meter yang dapat disewakan untuk kegiatan eksibisi.
“Fasilitas lain selain
ruang pamer museum adalah ruang pemutaran audio visual, dimana di sana pengunjung
bisa menyaksikan pemutaran festival layang-layang di berbagai daerah, teknik
menerbangkan layang-layang, baik layang-layang kreasi, olahraga maupun
layang-layang tradisional,” jelas Nai
Selain itu, imbuh Nai,
di komplek museum juga terdapat ruang pamer batik, yang dimana batik-batik itu
adalah koleksi pribadi milik pendirimuseum, Endang W. Puspoyo. Juga tedapat beberapa fasilitas lain seperti mushola,
kantin serta rumah budaya yang kerap menjadi tempat pembuatan layang-layang
berbagai jenis.
Mandiri Di Tengah Tantangan Besar
Hiruk pikuk teriakan
para bocah pecah, ketika kami masuk ke lingkungan Museum Layang-Layang Indonesia, Selasa (20/11) siang.
Puluhan bocah itu ternyata adalah siswa kelas II SDK IPEKA Puri Jakarta Barat
yang sedang melakukan studi lapangan. Anak-anak itu nampaknya sedang asik
melukis layang-layang, di salah satu taman lingkungan museum. Mereka nampak riang, menikmati, dan tak
henti-hentinya ber-ekspresi menggores layang-layang dengan cat warna-warni.
“Inilah yang menjadi
salah satu kekuatan kami, pemasukan-pemasukan dari kunjungan seperti ini,” ujar
Nai R. Aslamiah salah satu
manajemen Museum Layang-Layang Indonesia ketika saya jumpai di tengah kesibukannya melayani anak-anak itu.
“Ini sudah menjadi
resiko kami sebagai museum swasta, yang tidak mendapatkan dana dari pemerintah. Kita harus
bekerja keras untuk bisa mandiri, untuk menggaji 23 karyawan serta untuk biaya
pengelolaan museum,”
imbuh dia.
Meski tiket masuk
tergolong lebih tinggi dibanding dengan museum-museum ‘negeri’,
yakni Rp. 10.000 per orang, namun diakui Nai pemasukan dari tiket saja tidak
bisa diandalkan untuk menutupi kebutuhan yang dibutuhkan museum.
“Tapi sejak tahun 2007
pengunjung mulai bertambah, seiring banyak masyarakat yang tahu museum ini. Di hari libur, sampai saat ini, jumlah pengunjung bisa mencapai
300 orang per hari. Dan kalau lagi
high session, jumlah pengunjung sebulan bisa mencapai 7000 orang. Tapi kalau di
rata-rata per-harinya 75 orang. Dan kita juga sering mengadakan
pelatihan-pelatihan di luar dan sering juga digandeng oleh perusahaan untuk
mengisi acara. Itulah yang membuat sampai saat ini kita masih eksis, kita
mencoba untuk mandiri,” terang Nai
Demikian mitos yang terdapat pada layang-layang Kaghati, hingga kemudian tersohor ke penjuru dunia.(Feryanto hadi)
Cerita dan Mitos Yang Menyertainya
Masuk ke bangunan utama Museum Layang-Layang Indonesia, kita akan segera disajikan oleh pemandangan yang menarik. Bayangkan, di ruang yang tidak terlalu besar ini, beragam layang-layang dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara, menghiasi seluruh bagian ruangan.
Dua layangan 3 Dimensi besar menjadi penyambut bagi para pengunjung. Salah satu layang-layang berukuran besar itu bernama Janggan, berasal dari Bali. Layangan ini barangkali menjadi salah satu koleksi yang paling menarik. Bayangkan, selain bentuknya yang unik, layangan ini memiliki panjang ekor lebih dari 100 meter yang membuatnya gagah saat dia menembus angkasa. Kepala naga yang menjadi bagian teratas dari layangan, jika sedang berada di angkasa, seolah hidup dan menari. Dari informasi yang kami dapat, banyak perlakuan khusus yang diperlukan untuk kepala naga pada layang-layang Janggan ini. Layang-layang ini, oleh masyarakat Bali, disimpan di dalam Pura, ketika tidak digunakan berlayang, dan baru dikeluarkan saat akan dilakukan upacara pensucian layangan akan dimulai, tepatnya dua hari menjelang pesta layang-layang Bali.
Layang-layang lain yang berada di dalam ruangan ini adalah Len Bulenan, berasal dari Madura. Len Bulenan, dalam bahasa Madura berarti bulan. Layang-layang ini, rangkanya terbuat dari bamboo dan bahan pembungkusnya terbuat dari plastik berwarna putih. Bentuk layangan ini terdiri dari bentuk purnama dan bulan sabit. Umumnya, layangan ini dipasang juga alat bunyi yang dapat mengeluarkan suara saat terbang, seperti layangan tradisional Indonesia yang lain.
Layang-layang Koangan dari Jakarta menjadi koleksi menarik lain di museum ini. Layang-layang tradisional yang rangkanya terbuat dari bambu yang diraut ini memiliki bentuk yang cukup sederhana. Badan layangan dibungkus dengan kertas minyak. Selain itu, layang-layang ini juga dilengkapi dengan bunyi-bunyian yang merdu sehingga dikenal sebagai layang-layang koang atau koangan. Sedangkan warna-warna pada layangan ini tidak mempunyai arti khusus, hanya saja biasanya banyak layang-layang ini diberi hiasan ornament jika diperlombakan pada acara-acara khusus.
Cerita lain tentang layang-layang
Layang-layang yang menjadi koleksi di Museum Layang-Layang Indonesia, tidak hanya menarik dari sisi bentuknya saja. Namun, cerita di balik layang-layang itu yang membuat layang-layang itu menjadi lebih istimewa.
Beberapa koleksi layang-layang di sini, mempunyai catatan mitos tersendiri, sesuai dari asal layangan tersebut. Bahkan, di beberapa tempat, layang-layang dianggap sebagai benda magis. Seperti layang-layang yang berasal dari Jawa, misalnya. Di Jawa, ada layang-layang yang digunakan untuk mengusir serangga dan burung liar di ladang sawah. Misalnya saja layang-layang tradisional Pepetengan yang berasal dari Jawa Barat. Layang-layang ini, oleh sebagian masyarakat Jawa Barat, difungsikan juga untuk menjaga sawah mereka. Melalui bunyi dan motif hiasan di dalamnya, Pepetengan diterbangkan berhari-hari untuk menghalau burung yang mengganggu padi.
Di Bali, cerita tentang layang-layang juga tak kalah menarik. Masyarakat Bali, masih kerap menggunakan layang-layang untuk melindungi singgasana para dewa. Dewa Layang-layang di Bali adalah Rare Angon. Dewa itu selalu diberi sesaji dan disembah sebelum layang-layang diterbangkan. Layang-layang yang telah disucikan itu merupakan benda sakral dan disyaratkan tidak boleh menyentuh tanah. Bila hal itu tidak diindahkan, konon akan terjadi kemalangan.
Cerita unik lain berasal dari daerah di Sumatera Barat, dimana sebagian masyarakat masih percaya pada layang-layang bertuah yang bisa memikat anak gadis. Layang-layang ini, bernama dangung-dangung.
Di Jawa Barat, Lampung, dan beberapa tempat di Indonesia ditemukan layang-layang yang dipakai sebagai alat bantu memancing. Layang-layang ini terbuat dari anyaman daun sejenis anggrek tertentu, dan dihubungkan dengan mata kail. Di Pangandaran dan beberapa tempat lain, layang-layang dipasangi jerat untuk menangkap kalong atau kelelawar. Sedangkan di Kalimantan Selatan, layang-layang Dandang dipercaya bisa menjadi berkah bagi masyarakat Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Di beberapa daerah lain, layang-layang dimainkan sebagai bagian dari ritual tertentu. Biasanya terkait dengan proses budidaya pertanian.
Tentunya masih banyak koleksi layang-layang lain yang ada di Museum layang-Layang Indonesia, baik layang-layang dari dalam negeri maupun dari mancanegara. Masing-masing layang-layang, memiliki cirri khas dalam bentuknya maupun cerita yang mengiringinya.
Layang-Layang Kreasi Hiasi Koleksi Museum Layang-Layang Indonesia
Bangunan Museum Layang-Layang, cukup unik. Pada bagian depan museum, sebuah bangunan joglo membuat kami merasakan sensasi berbeda, seperti tidak berada di sebuah museum, melainkan di rumah tinggal biasa. Apalagi, lingkungan di komplek museum cukup teduh, dengan banyaknya pepohonan rindang yang ada di sana.
Beberapa karyawan nampak sedang menjemur layang-layang di sebuah bagian halaman. Kata seorang pegawai, layang-layang itu adalah hasil kreasi para anak sekolah yang melakukan studi ke museum tersebut, dengan salah satu kegiatannya adalah melukis layang-layang.
Langit di atas museum yang beralamat di Jalan H. Kamang No. 38 Pondok labu, Cilandak, Jakarta Selatan, pada Rabu (21/11) siang itu, masih nampak mendung. Kami sendiri, setelah melihat layang-layang kreasi para siswa itu, segera naik di bangunan joglo, bagian depanmuseum. Di sini, ada peraturan bahwa alas kaki harus dilepas.
Di bangunan joglo itu, beberapa koleksi layang-layang unggulan Museum Layang-Layang Indonesia bisa kita saksikan. Kebanyakan, adalah layang-layang kreasi, yang pernah mengikuti festival di beberapa kota bahkan ke mancanegara.
Salah satu layang-layang yang mencolok berbentuk naga, dengan ekornya yang menjulur panjang. Kemudian ada layang-layang berbentuk serangga dengan ukuran besar pula. Selain itu, di tempat ini juga ada beberapa layangan lain yang berukuran besar seperti layang-layang 3 Dimensi berbentuk kereta kuda, layang-layang Pegasus dan yang unik adalah layang-layang 3 Dimensi yang berbentuk orang sedang bersepeda.
Menurut Nai R. Aslamiah, salah satu manajemen Museum Layang-Layang Indonesia, layang-layang kreasi ini sebagian dibeli dari para pelayang saat ada pelaksanaan festival di beberapa daerah. Harganya, ternyata cukup mahal, antara 30-50 juta.
Perjalanan kami belum selesai, di dalam bangunan utama museum, konon banyak tersimpan layang-layang unik yang lain, khususnya layang-layang yang mengandung unsur mitos, berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri
Layang-Layang Kaghati Dari Sulawesi Selatan Yang Penuh Mitos
Salah satu koleksi Museum Layang-Layang Indonesia yang cukup unik adalah layang-layang yang berasal dari Muna, Sulawesi Selatan. Namanya, Kaghati. Sampai saat ini, layang-layang tradisional ini masih begitu digemari dan dilestarikan masyarakat Muna karena di samping sebagai hiburan sebelum dan sesudah masa panen, namun layangan ini memiliki latar belakang yang cukup sacral dan keyakinan mendalam bagi masyarakat tradisional Muna jaman dulu serta mempunyai nilai ritual tersendiri berikut penjelasan dari nara sumber tentang cerita rakyat turun temurun yang tidak tertuliskan dalam catatan buku.
Sesuai cerita yang ada secara turun temurun, masyarakat, terutama yang mendiami pulau Muna ada dua kelompok. Pertama, yang tinggal di dalam gua dan kelompok kedua yang tinggal di atas pohon. Kelompok masyarakat yang tinggal di gua-gua dipimpin oleh seorang kepala kelompok yang bernama Lapasindaedaeno dengan istrinya bernama Wa Ntiwose, merasa mempunyai anak laki-laki yang bersama La Rangku.
Pada saat itu, kedua kelompok masyarakat ini hidup bersamaan dan tidak pernah terjadi pertengkaran di antara mereka. Mereka belum mengenal pakaian dan api, makanannya hanya binatang-binatang buruan seperti babi hutan, biawak, ular dan lain-lain. Mereka juga memakan makanan yang serba mentah.
Pada suatu ketika, istri ketua kelompok yang tinggal di gua-gua berkata kepada suaminya bahwa ia ingin makanan yang bukan hanya dari binatang dari hasil buruan hutan, melainkan ingin menggantinya dengan tumbuh-tumbuhan. Mendengar ucapan istrinya tersebut, Lapasindaedaeno atau kepala kelompok masyarakat gua pergi untuk bermeditasi. Beberapa hari kemudian, selesailah meditasinya dan dia mendapat petunjuk yakni harus mengorbankan jasad anak laki-laki mereka, kemudian jasadnya dibagi menjadi empat dan dikuburkan di empat penjuru di tengah hutan.
Petunjuk tersebut dilaksanakan oleh kepala kelompok masyarakat gua. Empat puluh hari kemudian, di panggillah istrinya untuk masuk ke dalam hutan dan setelah tiba di tempat di mana anak mereka dikuburkan jasadnya, mereka melihat tumbuhan menjalar berupa umbi-umbian termasuk ‘Kolope’ (gandung). Dengan melihat tumbuhan tersebut, maka gembiralah hati sang istri dan sang suami berkata bahwa sesungguhnya itulah anak laki-laki mereka.
Ingin menjangkau Matahari dengan layang-layang
Masyarakat pada waktu itu hanya bersenang-senang pada waktu siang hari karena terdapat matahari, tapi bila pada malam hari mereka sangatlah susah dan sedih, sehingga mereka berkeyakinan bahwa mataharilah yang membuat mereka bisa hidup.
Selanjutnya, kepala kelompok masyarakat gua bermeditasi lagi guna mendapatkan petunjuk untuk kelanjutan hidup masyarakat yang dipimpinnya. Dalam perjalannya dia melihat angin yang sangat kencang bertiup dan membuat daun-daun gandung beterbangan di langit. Sejak saat itu, ia merenung kemudian mendapatkan petunjuk untuk naik ke matahari, sehingga dia menggerakkan seluruh masyarakatnya untuk memetik daun gandung dan membuat tali sepanjang-panjangnya.
Daun gandung tersebut disusun di atas rangkaian bambu yang sudah diraut dan dibuatkan layang-layang seperti model segi empat, lalu diikat dengan tali dan diterbangkan secara beramai-ramai. Setelah layang-layang sudah terbang, mereka bersorak gembira dan masing-masing berpegang di tali layang-layang agar mereka dapat terbang ke langit dan sampai ke matahari.
Tetapi niat tersebut tidak mungkin tercapai hingga pada akhirnya mereka putus asa, namun mereka tetap yakin bahwa layang-layang merupakan sarana penolong mereka dan memayungi mereka agar tidak terkena sengatan matahari di hari kemudian setelah mereka meninggal dunia. Keyakinan ini masih dianut oleh masyarakat hingga sekarang ini. Sehingga, setiap petani membuat layang-layang dan layang-layang tersebut bukan hanya suatu benda untuk bermain api, ada nilai-nilai tersendiri yang sangat sacral terutama pasca upacara-upacara sesudah panen.
Layang-layang biasanya menjadi hiburan mereka yang dinaikkan sejak sore hari hingga pagi. Maka dibuatlah upacara dengan memutuskan tali layang-layang tersebut dengan niat bahwa seluruh halangan dan rintangan yang tidak baik atau kesialan segera terbawa oleh layang-layang yang telah putus itu disertai dengan sesajen berupa ketupat dan makanan-makanan lain yang digantung di tali layang-layang.
Fakta sejarah tentang keberadaan layang-layang di Muna yang telah menjadi polemik dunia yaitu dengan adanya lukisan orang bermain layang-layang yang ada di salah satu goa purbakala sesuai hasil penelitian Arkeologi Nasional tahun 1981, 1986, 1991:
Periodik: Epi – Paleotik (Mesolitik) atau zaman prasejarah peradaban manusia zaman batu. Lokasi goa ini terdapat sebuah tempat berjarak 8 km dari kota Raha, kemudian menempuh jalan raya pergeseran 5 km, selanjutnya tracking (jalan kaki) sejauh 4 km ke arah tenggar. Letak goa ini berada di atas bukit batu dengan kemiringan 90 derajat.
Layang-layang yang seidentik dengan Kaghati juga ada di Kepulauan pasifik yang dimiliki oleh suku Maori yang mereka sebut dengan Manu, sedang di Muna ada juga jenis layang-layang untuk mainan anak kecil yang disebut Kamanu-manu Kadao yang hanya terdiri dari satu helai daun ubi gandung.
Feryanto Hadi |
Perjalanan saya kali
ini, Selasa (06/11) telah sampai pada Museum Taman Prasasti yang terletak di Jalan Tanah
Abang I, Jakarta Pusat.
Museum ini,
mempunyai banyak perbedaan dengan museum-museum yang
lain di Jakarta. Pasalnya, koleksi yang Museum Taman Prasasti bukanlah benda-benda yang biasa
kita saksikan di museum,
melainkan didalamnya hanya berisi makam khususnya orang-orang Belanda dan orang
asing pada jaman pendudukan VOC dan Jepang di Indonesia.
Tapi jangan salah,
meski di dalamnya berisi ribuan kuburan kuno, namun tempat ini, sekarang, sudah
didesain menjadi sebuah taman dan setiap hari ada saja masyarakat yang
berkunjung ke sana untuk menyaksikan kuburan para pejabat maupun orang penting
Belanda yang gugur di Batavia maupun di berbagai daerah di Indonesia, saat itu.
Meski namanya tidak
begitu terkenal seperti Museum Sejarah Jakarta dan Museum Nasional, ternyata banyak juga masyarakat yang
berkunjung ke Museum Taman Prasasti. Tidak hanya masyarakat lokal yang ingin melihat
langsung pemakaman kuno yang menyimpan
banyak cerita sejarah tersebut, namun banyak wisatawan asing yang berkunjung ke Museum Taman Prasasti ini, terutama dari Belanda.
Museum ini
sangat unik, selain gedung utamanya bernuansa bangunan khas Belanda,
nisan-nisan dan prasasti di dalamnya juga mempertontonkan pemandangan yang
tidak ditemui di pemakaman lain di Jakarta, maupun di Indonesia. Terlebih
banyak makam yang dibuatkan prasasti di atasnya atau dengan bentuk nisan yang
menjulang tinggi, bahkan ada makam yang di atasnya terdapat seorang patung
wanita yang sedang tertunduk, menyembunyikan wajahnya. Menurut cerita, makam
ini kerap disebut Si Cantik Menangis, dimana patung perempuan itu digambarkan
sedang menangisi suaminya yang bunuh diri karena terkena malaria. Waktu itu,
malaria merupakan penyakit yang menakutkan dan kerap menyebabkan kematian.
Makam orang-orang
Belanda yang dulunya sekitar 4.600 nisan kini hanya tersisa 1.242 nisan. Ini
dikarenakan banyak jenazah yang sudah dipindahkan. Ada yang dikembalikan ke
negaranya Belanda dan ada sebagian yang dimakamkan di makam umum Tanah Kusir.
Tertarik berkunjung ke museum ini?
Berkunjung ke tempat
ini bias ditempuh dengan menggunakan bus Transjakarta koridor I jurusan Blom
M-Kota, turun di Halte Monas lalu ikuti jalan yang berada di samping Museum Nasiona menuju jalan Abdul Muis. Lalu
berjalanlah menuju ke arah barat, letak museum ini berada persis di samping kantor Balai Bota
Jakarta Pusat. Atau bisa juga ditempuh dengan menggunakan mikrolet M-08 jurusan
Tanah Abang-Kota.
Yang perlu diketahui, Museum Taman Prasasti sebagai bukti sisa taman
pemakanan umum dari akhir abad ke-18, dengan koleksi nisan makam abad ke-16 dan
ke-17, sangat berharga sebagai tempat yang memberi kesaksian tentang komposisi
penduduk Batavia yang berasal dari seluruh dunia, informasi tentang panjang
pendeknya usia termasuk kematian banyak anak dan beragam bahasa yang digunakan
di kota ini.
Mendobrak Mitos Museum Taman
Prasasti
Berada di area depan
bangunan Museum Taman Prasasti, segera akan muncul kesan bahwa bangunan tersebut adalah bekas
peninggalan Belanda. Bentuk bangunan di depan komplek pemakaman tua ini adalah
bangunan bergaya Doria, yang disediakan untuk menyemayamkan jenazah sebelum
melalui upacara penguburan. Terdapat dua sayap di kiri dan kanan masing-masing
untuk menempatkan jenazah pria dan wanita.
Terdapat sebuah pagar
kayu berukuran besar sebagai akses keluar-masuk pemakaman ini. Bentuk dan
gayanya pun masih khas Belanda, dengan jeruji kayu yang besar disertai dengan
gembok yang besar pula. Dekat dengan pagar besar inilah petugas museum menjual tiket masuk.
Masuk ke area museum, kita akan melihat hamparan nisan yang
berdiri tegak. Bentuknya pun macam-macam dan sudah pasti berbeda dengan nisan
yang kerapkali kita temui di pemakaman pada umumnya. Semua nisan, memiliki
keterangan yang menjelaskan mengenai nama, asal, tempat dan tanggal lahir,
tempat dan tanggal meninggal dan banyak juga kuburan yang di atasnya di bangun
sebuah prasasti yang menjelaskan sekilas mengenai orang yang dikubur di makam
tersebut.
Nisan,
pada masa itu, menjadi identitas mereka yang dikuburkan. Seperti halnya nisan
yang ada di komplek pemakaman ini, pada setiap nisan dijelaskan mengenai
identitas jenazah yang dimakamkan di bawahnya. Seperti misalnya nisan berbentuk
buku ada di makam Direktur Stovia Dr HF Roll. Roll
adalah orang yang mempertahankan Sutomo tetap bersekolah meskipun ada berbagai
tekanan dari Pemerintah Belanda untuk menghentikan gerakan Boedi Oetomo yang
digagas Sutomo.
Keberadan Museum Taman Prasasti di ruang terbuka ini memberikan
peluang penataan koleksi prasasti dan taman menyatu dalam suatu taman museum yang indah. Untuk itu, perlu penataan ulang
taman dan koleksi prasasti baik yang lama maupun yang baru, pembentukan zona,
hirarki ruang, visual, pemilihan jenis tanaman dan penambahan elemen taman
lainnya.
Di komplek museum ini, pengunjung bisa mempelajari latar
belakang orang yang disebut pada nisan dan kaitannya dengan sejarah Kota
Jakarta. Tentu saja, sebagian jenazah yang dikuburkan di sana bukanlah orang
sembarangan, karena dulunya, komplek pemakaman ini dikhususkan untuk para
pejabat atau hartawan Belanda yang ada di Batavia, sebelum akhirnya bisa
digunakan untuk pemakaman orang umum yang bisa menyewanya.
Selain itu, area
pemakaman juga ditumbuhi pepohonan yang rindang dan sejuk dan damai. Memang,
selain fungsi preservasi nilai historik dari museum ini, juga terdapat fungsi sosial dan
pelestarian alam, dimana taman yang luas ini difungsikan sebagai paru-paru kota
dan juga fungsi sosial lainnya.
Mengukir Senja Bersama Soe Hok Gie Dan
Kenangannya
Gerimis masih turun
dari langit ketika saya datang kembali
ke Museum Taman Prasasti pada keesokan harinya atau Rabu
(07/11). Pekatnya awan, membuat suasana di komplek kuburan tua ini menjadi
begitu mencekam. Apalagi sore itu suasana sangat sepi, hanya nampak beberapa
pekerja yang sedang melakukan renovasi saluran air dan memasang paving blok di
beberapa blok makam ini. Dijelaskan oleh salah satu penjaga museum, renovasi ini adalah program dari Pemerintah
Provinsi Jakarta melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Museum Sejarah Jakarta sebagai upaya untuk
mempercantik dan pelestarian koleksi.
Hamparan nisan,
patung-patung malaikat serta prasasti lain masih menemani sore kami. Mereka,
para jenazah yang dimakamkan di sini, tentu pernah menjalani kehidupan mereka
di Indonesia, khususnya di Batavia. Apalagi, dikabarkan, orang-orang yang
dikuburkan di pemakaman ini merupakan sosok-sosok penting, seperti misalnya
para pejabat VOC maupun orang-orang yang dianggap berjasa pada masa itu.
Namun, di antara
ratusan makam yang ada di Museum Taman Prasasti, terdapat salah satu nama yang cukup menarik
perhatian saya. Meski museum ini dikenal sebagai komplek pemakanan para
pejabat VOC maupun hartawan Belanda yang meninggal di Indonesia, ternyata nama
Soe Hoe Gie juga ada di sini.
Suasana kuburan masih
sepi. Kami masih tetap terpaku di depan makam Gie,
sapaan akrab Soe Hok Gie sembari mengenang tentang dia, tentang kiprahnya. Gie
, lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942 dan meninggal di Gunung Semeru pada 16
Desember 196. Ia adalah salah seorang aktivis Indonesia, penyair muda .
Gie menamatkan
pendidikan SMA di Kolese Kanisius dan selanjutnya menjadi mahasiswa Fakultas
Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969. Nama Soe Hok Gie
adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Leluhur Soe
Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Cina.
Makam Gie, terletak di
bagian tengah agak ke belakang, di bawah sebuah pohon. Pada nisannya, tertulis
'Soe Hok Gie', 17 Desember 1942 - 16 Desember 1969. Di bawahnya lagi ada sebuah
tulisan "Nobody knows the troubles. I see nobody knows my Sorrow."
Nama Gie begitu tenar
di kalangan aktivis, bahkan di masyarakat luas. Ia adalah seorang anak muda
yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya, idealismenya . Sebagai
bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf
redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh
mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. Buku
hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”
(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11
November 1969)
Perjalanan Gie
berakhir ketika pada 15 Desember 1969, ia bersama kawan-kawannya Herman
Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy
Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger.
Gie ingin bisa
merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut,
ingin menciptakan cerita yang mengesankan untuk masa depan hidupnya. Tanggal 16
Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas
permukaan laut), Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Gie dan Idhan berada
dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.
(Feryanto hadi)