foto by Feryanto Hadi |
Pada kesempatan Jelajah Museum kali ini, saya sudah menginjakkan kaki di Museum Sejarah Jakarta. Saya sejenak memandang
bangunan tua itu dari halaman museum yang cukup lapang. Masih nampak kokoh, meskipun usianya tidak
lagi muda. Sama seperti bangunan lain yang ada di kawasan Kota Tua, arsitektur museum ini juga kental dengan nuansa eropa klasik.
Terletak di Taman
Fatahillah No 1 Jakarta Barat, membuat Museum Sejarah Jakarta lebih sering disebut dengan museum Fatahillah. Bahkan, sampai sekarang, banyak
masyarakat yang menyangka bahwa museum ini benar-benar bernama Museum Fatahillah, padahal tidak.
Untuk menuju ke tempat
ini, ada banyak pilihan transportasi yang bisa digunakan. Selain Anda bisa
menggunakan mobil pribadi maupun taksi, akses menuju kawasan wisata sejarah
Kota Kota bisa juga menggunakan angkutan umum. Paling mudah jika Anda naik
Trans Jakarta. Anda bisa menggunakan koridor I, yang menghubungkan antara Blok
M-Kota. Halte untuk Trans Jakarta sendiri, hanya beberapa puluh meter di
belakang Museum Fatahillah.
Museum Sejarah
Jakarta dibuka untuk untuk pada hari Selasa hingga Minggu, dari pukul 09.00 WIB
dan ditutup pada pukul 15.00 WIB. Untuk harga tiketnya, sangat murah.
Pengunjung dewasa dikenakan tiket masuk Rp. 2 ribu per orang. Jika datang
secara rombongan, minimal 20 orang, maka tiketnya lebih murah yakni Rp 1.500.
Bagi pengunjung mahasiswa, tiket yang dikenakan Rp. 1.000 per orang. Sedangkan
untuk rombongan mahasiswa Rp. 750. Bagi pengunjung anak-anak, harganya lebih
murah lagi. Harga tiket yang dikenakan untuk satu orang anak Rp. 600, dan jika
datang secara rombongan harga tiketnya menjadi Rp.500. Cukup murah, bukan?
Di museum ini, kita bisa banyak belajar tentang sejarah
Indonesia, khususnya sejarah Jakarta. Beragam koleksi sejarah ada di tempat
ini, dengan koleksi unggulan diantaranya Meriam SI Jagur, pemisah ruangan
bergaya Baroque dari abad 18, pedang eksekusi, lukisan Gubernur Jenderal VOC
Hindia Belanda tahun 1602-1942, peralatan masyarakat prasejarah, prasasti dan
berbagai macam senjata.
Museum yang
mempunyai sebutan lain sebagai Museum Batavia ini, dalam segi tingkat kunjungan, cukup ramai ketimbang museum-museum lain di Jakarta. Salah satu faktornya, mungkin karena museum ini terletak di Kawasan Kota Tua, dimana
banyak warga Jakarta maupun dari luar Jakarta kerap menggunakan kawasan ini
sebagai tempat bersantai. Bahkan, kawasan ini sudah menjadi salah satu tujuan
wisata unggulan di Jakarta yang banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun
manca negara.
Ruang Sidang Dewan Kotapraja, Gelar Sidang
Tiga Kali Dalam Seminggu
Memasuki Gedung Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah, kita akan menemui sebuah meja
dengan panjang kira-kira 2,5 meter. Meja ini, difungsikan sebagai tempat
penjualan tiket masuk museum.
Lokasinya, persis di belakang pintu masuk museum yang terbuat dari kayu dan berukuran besar.
Selain ada beberapa petugas museum,
di tempat ini nampak petugas keamanan berjaga-jaga.
Sebelum mengupas lebih
jauh koleksi-koleksi yang ada di lantai satu Museum Fatahillah, saya memutuskan untuk naik ke lantai
dua gedung tersebut. Diantar tangga kuno yang terletak di depan loket penjualan
karcis tadi, kami ingin melihat beragam koleksi yang berada di lantai
dua.
Sampai di lantai dua museum, seperangkat mebel tua tertata di ruangan
dekat dengan tangga. Sayangnya, sebagian barang-barang yang terdiri dari meja
dan kursi tersebut tidak ada penjelasannya. Jadi, kami beranjak menuju ke
sebuah ruangan yang berada di sisi sebelah kanan tangga.
Di ruangan ini,
terdapat satu perangkat meja dan kursi serta beberapa mebel lainnya. Sebuah
kaca besar juga nampak di dinding sebelah barat. Ruangan ini, ternyata adalah
ruang sidang Dewan Kotapraja.
Di ruangan yang
berukuran cukup besar ini, dulunya, selama tiga kali dalam seminggu, digunakan
untuk menggelar sidang oleh Dewan Kotapraja Batavia. Sebagai informasi,
sejak dibentuk pada tahun 1620, Dewan Kotapraja terdiri dari lima warga kota
yang diangkat oleh pemerintah, ditambah empat pejabat kompeni. Di zaman itu,
tidak ada yang namanya demokrasi. Dan keputusan Dewan Kotapraja, selalu bisa
dirubah oleh Gubernur Jenderal dan para penasehatnya yang berada di dalam
Benteng Batavia yang letaknya tidak jauh dari bangunan yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta ini.
Wewenang Dewan
Kotapraja sendiri, mencakup semua perkara pidana dan perdata antara warga-warga
kota, persoalan hutang, semua urusan kesejahteraan warga kota seperti surat
izin usaha dan izin bangunan, pemeliharaan jalan, jembatan serta kanal,
penarikan pajak, pengawasan lembaga umum dan standar timbangan dan takaran,
urusan pasar dan penetapan harga barang tertentu, pengesahan perjanjian dan
pinjaman untuk memberikan kebebasan kepada budak belian, dan sebagainya. Maka,
pada jaman dulu, setiap hari kantor ini selalu ramai dikunjungi masyarakat.
Dewan Pengadilan Sebagai Lembaga Pengadilan
Tertinggi Di Masa VOC
Kali ini saya sudah
masuk pada sebuah ruangan, dimana pada tengah-tengah ruangan ini terdapat satu
meja besar dan sebuah kursi pada sebuah ujung meja. Ruangan ini cukup lebar,
atau hampir sama dengan ruangan Dewan Kotapraja yang sebelumnya kami kunjungi.
Ruangan ini adalah
ruang Dewan Pengadilan. Menempati lantai dua sisi sebelah timur bangunan, atau
hanya terpisah ruang tengah dengan ruangan Dewan Kotapraja. Dari segi furniture
yang ada di sini, kami menilainya lebih baik atau terlihat sedikit lebih mewah
jika dibandingkan dengan furniture di ruang Dewan Kotapraja. Selain ada sebuah
mebel yang terlihat cukup menonjol, karena bentuk serta ukirannya, yakni lemari
sketsel dan lemari buku besar, di ruangan ini juga terdapat sebuah lukisan tua
berukuran besar. Letaknya, di apit oleh empat jendela di dinding sebelah utara
ruangan.
Berdasarkan informasi
yang dihimpun, sebagian mebel diruangan ini, berasal dari Benteng Batavia
seperti lemari-lemari besar, penyekat ruangan (1700-1720) dan meja panjang
dengan kursi-kursi tinggi. Semua mebel di ruangan ini berasal dari abad ke 18
dan kemungkinan besar dibuat tukang ahli Batavia. Selain untuk bersidang,
ruangan ini dahulunya juga digunakan untuk upacara pernikahan sipil.
Ruang ini dulunya
dipergunakan sebagai ruang sidang. Dewan Pengadilan sendiri merupakan dewan
pengadilan tertinggi di masa VOC. Dulu, konon penjara kompeni ada dekat
ruang sidang ini, di dalam ruangan yang sekarang sebagian dipakai oleh UPT Kota
Tua, gudang dan perpustakaan museum.
Ruangan penyiksaan diduga juga berada dekat ruang ini, tetapi letaknya tidak
diketahui dengan pasti.
Pada masa itu,
penyikasaan bagi tawanan lazim dilakukan di seluruh Asia dan Eropa. Maka apa
yang terjadi di Batavia tidak berbeda dengan yang dilakukan di sana, seperti
juga yang terjadi di Kartasura (Jaman Sunan Amangkurat I) maupun di Amsterdam
Belanda.
Pada tahun 1978 Dewan
Pengadilan berubah nama menjadi Hooge Raad van Justitie atau Dewan Pengadilan
Tertinggi. Pada tahun 1819 pemerintah kolonial Belanda mendirikan beberapa
Dewan Pengadilan di beberapa kota, dan di Batavia suatu Hooggeregtshof atau
semacam Pengadilan Tertinggi untuk seluruh daerah jajahannya.
Dikisahkan pula, pada
tahun 1829, Pengadilan Tertinggi ini dipindahkan dari Balaikota ke Gedung Putih
yang baru dibangun di Weltevreden, sekarang Lapangan Banteng. Pada tahun 1848,
dipindah lagi ke bekas Gedung Mahkamah Agung.
Dewan Pengadilan untuk
kota Batavia dari tahun 1870 sampai tahun 1942 memakai gedung Paleis van
Justitie yang sejak tahun 1976 menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik, sebuah bangunan yang
kini berada di timur laut Museum Sejarah Jakarta.
Ilustrasi Terpidana Mati Di Tiang Gantungan
Puas menelusuri
ruangan-ruangan yang berada di lantai dua Museum Sejarah Jakarta, saya kembali lagi ke lantai dasar untuk menelusuri
berbagai koleksi di tempat ini.
Masih nampak beberapa
petugas museum,
termasuk pihak keamanan museum berkumpul di dekat pintu masuk, tepatnya di meja penjualan
karcis. Berada dekat dengan loket karcis, terdapat beberapa lambang kota
Jakarta yang pernah digunakan dari sejak jaman dahulu hingga sekarang. Di
tempat ini, ada empat lambang Kota Jakarta yang dipajang, berdampingan dengan
peta denah museum yang terletak dekat pintu yang menghubungkan antara ruang depan
dengan halaman belakang museum.
Tak jauh dari keempat
lambang ini, atau tepatnya di dinding sebelah selatan, tedapat koleksi menarik
yang dipamerkan, yakni berupa gambaran mengenai proses hukuman gantung yang ada
pada jaman dulu.
Dalam pajangan itu,
digambarkan seorang tentara VOC yang berseragam lengkap dengan pedang di
pinggangnya, sedang menunggui dua calon terpidana mati yang akan digantung.
Terpidana tersebut, sudah ditutup wajahnya dan sebuah tali sudah mengait
lehernya.
Dikisahkan, hukuman
mati dengan cara digantung ini dilaksanakan di depan serambi yang
bertiang-tiang, pada hari tertentu, setiap bulan. Para hakim duduk dengan
pakaian kebesaran mereka di balkon lantai dua untuk menyaksikan pelaksanaan
hukuman mati. Sedangkan lonceng di menara gedung dibunyikan sebanyak tiga kali
selama proses pelaksanaan hukuman mati.
Prasasti Tugu, Prasasi Terpanjang di Masa Tarumanegara
Jika Anda berkunjung ke ruang pamer koleksi klasik (sejarah) di Museum Sejarah Jakarta, maka Anda akan menemui berbagai macam batu prasasti yang menempati dua ruangan tak terlalu besar, di museum tersebut. Ruangan ini, terletak di lantai satu, atau berdekatan dengan ruang koleksi penyimpanan benda-benda prasejarah Jakarta.
Terdapat beberapa prasasti yang dipajang pada dua ruangan yang bersebelahan itu. Diantaranya adalah Prasasti Tugu, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Munjul, Patung Wisnu Cibuaya 1 dan 2 serta Tugu Padrao. Semua koleksi ini, adalah benda-benda yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Jakarta pada masa-masa tertentu.
Dalam pandangan saya, ada satu prasasti yang begitu menarik perhatian. Selain karena bentuknya, juga terpenting adalah sejarah yang terkandung dalam prasasti yang dipahatkan pada batu utuh berbentuk bulat telur berukuran 1 meter itu.
Prasasti Tugu, dari berbagai sumber yang saya peroleh, ditemukan pada tahun 1878 di wilayah yang kini bernama Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Pada tahun 1911. Pada perkembangan selanjutnya, atas prakarsa P.de Roo de la Faille Prasasti Tugu Batu dipindahkan ke Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) hingga selanjutnya menjadi koleksi Museum Sejarah Jakarta.
Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sansekerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari lima baris melingkari mengikuti bentuk permukaan batu.
Prasasti Tugu tidak mencantumkan pertanggalan. Kronologisnya didasarkan pada analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 masehi. Prasasti Tugu dan Prasasti Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara. Atas dasar ini, sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha dan Citralekha) kedua prasasti ini adalah orang yang sama.
Dibandingkan dengan prasasti-prasasti dari masa Tarumanegara lainnya, prasasti Tugu merupakan prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan Sri Maharaja Purnawarman. Prasasti ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Purnnawarmman pada tahun ke-22 sehubungan dengan peristiwa peresmian (selesai dibangunnya) saluran Gomati dan Candrabhaga).
Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yang pada ujungnya dilengkapi dengan semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.
Adanya Prasasti Tugu ini, semakin menguatkan keyakinan bahwa pada masa dulu, Jakarta yang saat ini menjadi kota terbesar di Indonesia, merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Selain Kerajaan Tarumanegara sendiri, dijelaskan pula bahwa Kerajaan Sunda pernah berjaya di Jakarta pada masa dulu.
Pakaian Adat Betawi, Perpaduan Unsur Arab dan
China
Lazimnya suku-suku
lain di Indonesia yang mempunyai pakaian adat masing-masing, begitu pula dengan
Betawi. Beberapa busana khas Betawi bisa kita saksikan pada setiap even-even
budaya Betawi di Jakarta maupun pada saat acara pesta pernikahan adat Betawi.
Namun, jika Anda ingin
mengenal dan lebih dekat dengan pakaian adat dari Betawi ini, tanpa harus
menunggu ada even budaya Betawi atau pernikahan orang Betawi, Anda bisa bisa
berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta atau yang kerap disebut sebagai Museum Fatahillah. Di tempat ini, disajikan beberapa
contoh busana Betawi sekaligus kita bisa mendapatkan penjelasan yang jelas,
baik dari keterangan tertulis dari pengelola museum maupun dari penjelasan guide di sana.
Ketika berada di ruang
pamer etnografi Betawi, berbagai macam koleksi seni Betawi, bisa kita saksikan,
termasuk busana khas masyarakat Betawi yang nampak mentereng di dalam salah
satu lemari kaca di ruangan yang cukup gelap ini.
Pakaian adat Betawi
merupakan unsur perpaduan beragam etnik. Yang paling menonjol, adalah etnik
Arab dan China. Pakaian Betawi sendiri banyak ragamnya. Ada pakaian
sehari-hari, adapula pakaian resmi. Pakaian sehari-hari lelaki Betawi biasanya
baju koko atau Sadariah, celana batik, kain pelekat dan peci. Sementara pakaian
sehari-hari perempuan berupa baju kurung berlengan pendek, kadang-kadang
bersaku di depannya, kain batik sarung. Ada yang berkerudung dan adapula yang
tidak, terutama orang pinggiran.
Pakaian yang disebut
ujung serong biasa dipakai oleh bapak-bapak berupa jas tertutup dengan celana
pantalon. Kain batik dikenakan di sekitar pinggang dengan ujungnya serong di
atas lutut, dan selipan pisau raut. Aksesoris kuku macam dan jam saku rantai. Tutup
kepala berupa liskol atau kopiah dan alas kaki sepatu pantopel. Ini merupakan
pakaian demang di zaman dahulu yang kini menjadi pakaian resmi adat Betawi.
Pakaian ‘abang
Jakarte’ juga kurang lebih seperti itu. Sementara pakaian ‘none Jakarte’
adalah kebaya panjang berenda (kabaya encim), kain batik corak jelampang
Pekalongan, bersanggul tidak terlalu besar dan diberi hiasan tusuk konde,
melati atau cempaka putih.
Sedangkan untuk
pakaian pengantin Betawi telah mendapat pengaruh dari Arab, Cina, Eropa dan
Melayu. Pakaian pengantin laki-laki biasa disebut ‘dandanan care haji’ berupa
jubah dan tutup kepala atau sorban yang dalam bahasa lain disebut alpie.
Sementara pakaian
pengantin perempuan biasa disebut ‘rias besar dandanan care none pengantin
cine’. Pengaruh Cina sangat menonjol pada model, nama kelengkapan dan motif
hiasannya. Bajunya model blus Shanghai bahan saten atau kerap disebut dengan
lame berwarna cerah. Untuk baju bawah atau rok disebut ‘kun’ dengan bentuk
melebar ke bawah dengan motif hiasan burung dari mute atau manik dan benang
emas.
Mengenal ‘Betawi’ di Museum Fatahillah
Idris (22), seorang
pengunjung, dengan seksama tengah mengamati sebuah lemari yang menampilkan
beberapa koleksi budaya Betawi. Ia terlihat sibuk mengamati benda-benda itu,
membaca keterangan yang ada di lebel dan tak ketinggalan ia meminta kepada
teman-temannya untuk memotret dirinya dengan baground alat musik Betawi.
Koleksi etnografi
Betawi, menempati lantai satu Museum Sejarah Jakarta, merupakan salah satu unggulan yang ditawarkan
oleh MuseumSejarah Jakarta. Pada ruangan ini, dipamerkan
banyak hasil seni serta budaya asli masyarakat Betawi, dari alat musik, pakaian
adat dan sebagainya. Jika ingin lebih ringkas mengetahui serta mengenal sejarah
Betawi, warga Jakarta disarankan untuk mengunjungi tempat ini.
Betawi sendiri,
merupakan sebutan bagi penduduk pribumi yang mendiami kota Jakarta (dulunya
bernama Batavia). Kata Betawi sendiri, diyakini oleh banyak ahli berasal dari
Batavia yang diucapkan menjadi Betawi oleh penduduk lokal.
Hingga kini, masih
terjadi perdebatan tentang asal-usul suku Betawi. Ada yang menyebut suku Betawi
berasal dari para budak yang didatangkan ke Batavia oleh Belanda. Para budak
itu berasal dari beragam etnis sehingga budaya yang dihasilkan merupakan
perpaduan antaretnis. Juga ada yang bilang, suku Betawi merupakan suku asli
(berasal dari Kerajaan Sunda).
Terlepas dari
perdebatan itu, yang pasti, kota Jakarta dan sekitarnya sudah dihuni manusia
sejak ribuan tahun silam. Jejak arkeologi yang berasal dari masa prasejarah
begitu banyak ditemukan, utamanya di sekitar aliran sungai Ciliwung.
Nama Djakarta Ternyata Diberikan Oleh Jepang
Di dekat pintu masuk,
atau lebih tepatnya setelah melewati tangga menuju ke lantai dua, ada sebuah
ruangan yang menjelaskan perkembangans sejarah Jakarta dari masa ke masa. Di
ruangan ini, dipamerkan beragam foto moda transportasi dan para gubernur yang pernah
menjabat di DKI Jakarta.
Diperagakan pula becak
yang sempat menjadi sarana transportasi warga Jakarta selama puluhan tahun,
namun dihapuskan pada dekade tahun 1980an.
Yang lebih penting
dari itu, pada ruangan ini kita bisa mengerti banyak sejarah mengenai
perjalanan Kota Jakarta sendiri, khususnya dari sistem pemerintahan yang
dianut. Dulu, sebelum menjadi Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur, Jakarta
masih dipimpin oleh seorang Walikota.
Pada Januari 1926,
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaruan sistem
desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di pulau Jawa, dibentuk
pemerintahan otonom provinsi. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi pertama
yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1
Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara). Provinsi Jawa
Barat dibagi dalam lima karisedenan yakni Banten, Batavia, Buitenzong (Bogor),
Priangan dan Cirebon.
Sebelum ditetapkan
menjadi daerah tingkat satu, Jakarta merupakan Kotapraja di bawah pimpinan
Walikota. Nama Jakarta (Djakarta) sendiri resmi digunakan pada 1942 untuk
menggantikan Batavia yang sudah digunakan lebih dari 323 tahun (1619-1942).
Penggantian nama ini dilakukan oleh Jepang sebagai upaya meraih simpati penduduk.
Khusus untuk pemberian
nama Djakarta oleh Jepang, mungkin hal ini belum banyak diketahui oleh
masyarakat banyak. Dan langkah Jepang untuk menarik simpati masyarakat pun
nampaknya berhasil.Sejarah telah mencatat, sejak digulirkannya nama itu, nama
Djakarta mulai familiar di kalangan masyarakat, baik untuk penduduk Batavia
sendiri maupun penduduk dari daerah lain.
Pada tahun 1950,
status Kota Djakarta ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu yang dipimpin
oleh Gubernur. Pada 1961, status Jakarta kembali dirubah dari daerah tingkat
satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI). Nama iniah yang hingga kini masih
dipergunakan.
Sejarah perkembangan
Jakarta memang sangat panjang, lengkap dengan kisah maupun tragedi-tragedi yang
melingkupinya. Jika Anda ingin tahu lebih banyak mengenai sejarah Jakarta,
sempatkan waktu untuk datang ke Museum Sejarah Jakarta.
Napak Tilas Penjara Bawah Tanah Museum Fatahillah
Selain sebagai pusat
pemerintahan atau balaikota, gedung Museum Sejarah Jakarta dahulu juga berfungsi sebagai
penjara. Dewan Pengadilan maupun Dewan Kotapraja mempunyai penjara
sendiri-sendiri.
Penjara yang berada di
bawah wewenang Dewan Keadilan berada di bagian timur gedung (sekarang menjadi
kantor Kota Tua) dan dipakai untuk tahanan VOC. Sedangkan penjara yang berada
di bawah wewenang Kotapraja berada di bagian barat dekat dengan Jalan Pintu
Besar Utara dan dipakai untuk tahanan warga kota Batavia yang bukan pegawai
VOC. Halaman belakang dan gedung samping juga dipakai untuk penjara dan rumah
warga.
Selain ruang penjara
tersebut, ada juga ruang penjara Dewan Kotapraja yang kerap dinamakan sebagai
lubang gelap juga lima buah sel yang berada di bagian belakang bangunan atau
lebih kita kenal sebagai penjara bawah tanah.
Ketika saya mencoba
menengok penjara bawah tanah yang ada di gedung Museum Sejarah Jakarta, keadaan penjara-penjara ini
masih cukup baik dari segi bangunannya. Batu-batu bundar terlihat berserakan.
Namun, ketika masuk ke dalam sel ini, bau tak sedap begitu menyengat
hidung.
Sel-sel ini, selain
menyimpan banyak cerita sejarah, banyak diperbincangkan orang karena menyimpan
segudang cerita misteri. Dulunya, jumlah tahanan yang meringkuk di dalam
penjara kerapkali melebihi kapasitas, hingga harus berdesak-desakan.
Dikisahkan, sebanyak 300 orang lebih menghuni penjara ini. Bisa dibayangkan,
bagaimana kehidupan di dalam penjara yang sempit itu dan hanya setinggi kurang
lebih 160 cm itu, ketika diisi oleh lebih dari 300 orang.
Dalam penjelasan
sejarah yang kami dapatkan, tahanan yang meringkuk dalam sel-sel ini bukanlah
orang-orang yang sudah diadili, melainkan mereka yang menunggu proses
pengadilan. Pada abad 17 dan 18, ada beberapa bentuk hukuman, yakni hukuman
mati, hukuman siksa, dirantai, kerja paksa, hukuman denda dan hukuman
pengasingan. Tetapi, sampai abad 19 tidak ada hukuman penjara.
Yang tinggal lama di
penjara hanya dua kelompok, yakni para budak yang dikirim oleh majikan mereka
karena pelanggaran yang seringkali bersifat sepele dan orang-orang yang
disandera karena belum melunasi hutang-hutangnya dan memilih tinggal di
penjara. Dengan membayar kepada sipir, kondisi mereka di dalam penjara tidak
terlalu buruk.
Karena kondisi
kesehatan penjara ini sangat buruk, banyak tahanan yang sudah meninggal sebelum
perkara mereka diajukan ke meja hijau. Sebagian besar meninggal lantaran
menderita tifus, kolera dan desentri. Penjara ini sendiri ditutup pada tahun
1846, lalu dipindahkan ke sebelah timur, yakni di Jalan Hayam Wuruk.
Sisi lain mengenai
cerita tentang penjara bawah tanah ini, bahwa digedung yang dulunya merupakan
balaikota (Staadhuis) itu pernah ditawan beberapa pahlawan nasional, antara
lain Pangeran Diponegoro, sebelum dibuang ke Makassar dan Cut Nyak Dien
pahlawan wanita yang berasal dari Daerah Istimewa Aceh. Selain itu pula orang
Cina dan bahkan orang Belanda yang melawan pemerintah.
Pandangan Saya Tentang Museum Sejarah Jakarta
Selama hampir sepekan
saya mencoba membaca Museum Sejarah Jakarta. Dalam waktu tersebut, banyak hal yang telah saya
pelajari dan saya kupas baik dari koleksi museum, keadaan museum serta lingkungan di sekitar Museum Sejarah Jakarta.
Dari hasil pengamatan,
ada beberapa catatan yang kami peroleh pada penjelajahan kali ini. Catatan ini,
dimaksudkan sebagai saran yang membangun kepada pengelola museum serta kepada pemerintah daerah DKI Jakarta
agar keberadaan museum-museum di Jakarta pada khususnya bisa berlangsung
dengan baik.
Untuk pengelolaan
koleksi museum,
saya rasa ini menjadi hal yang paling krusial yang harus segera mendapat
perhatian dari manajemen atau pengelola. Pasalnya, banyak sekali koleksi museum yang tanpa keterangan. Selain itu,
koleksi-koleksi, baik koleksi mebel maupun koleksi yang berada di dalam lemari
etalase, keadaannya sangat memprihatinkan, berdebu, dan sebagian koleksi bahkan
terkesan hanya diletakkan begitu saja. Hal ini, tentu saja, bisa membahayakan
koleksi yang menyimpan sejarah panjang tersebut, mengingat para pengunjung bisa
dengan leluasa memegang atau berfoto-foto pada koleksi tersebut.
Pemandangan yang lebih
miris bisa kita saksikan pada koleksi meriam yang ada di luar gedung.
Benda-benda bersejarah itu, justru terkesan dibiarkan begitu saja tanpa ada
upaya untuk melindungi koleksi bersejarah itu. Dalam pengamatan kami selama
beberapa hari, banyak sekali pengunjung, khususnya para pengunjung Taman
Fatahillah menaiki meriam-meriam tersebut bak kuda lumping, hanya untuk
berfoto. Ini, jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan merusak koleksi. Sisi
negatif lain yang muncul, adalah pandangan turis mancanegara yang hadir di Museum Sejarah Jakarta. Mereka mungkin akan berpikir,
“Semurah inikah Indonesia menghargai koleksi sejarah?”
Yang tak kalah miris,
yakni adanya bau-bau tak sedap (bau pesing) pada dinding luar museum. Seolah, dinding-dinding museum yang kental dengan nuansa historis ini bak WC
umum saja. Entah siapa yang kerap buang air kecil di situ, tapi ini jelas
menggangu kenyamanan pengunjung lain. Bahkan, beberapa pengunjung yang kami
temui mengaku sangat risih dan terganggu dengan bau pesing tersebut.
Barangkali perlu dilakukan
upaya untuk konservasi kawasan ini, khususnya renovasi di beberapa ruangan
pamer Museum Sejarah Jakarta. Saat ini, setidaknya, tidak
bisa ditampik bahwa sejumlah ruangan di Museum Sejarah Jakarta terkesan kumuh dan
gelap. Penataan koleksi juga kami rasa masih perlu diperbaiki lagi, agar
menjaga sisi estetika serta membuat para pengunjung menjadi lebih nyaman.
Faktor pencahayaan juga kami nilai masih kurang.
Kebersihan lingkungan museum juga perlu diperhatikan, khususnya area yang
berada di depan museum,
dekat pintu masuk. Seperti diketahui bersama, pada jam-jam sore, area ini
menjadi lapak bagi beberapa padagang untuk berjualan, selain puluhan pedagang
yang memadati Taman Fatahillah. Juga, di jam-jam sore sampai tengah malam
bahkan menjelang pagi, tempat ini digunakan oleh kelompok pengamen sebagai
tempat berkumpul.
Tentu saja, harus
dilakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dalam hal ini, dalam
rangka mencari jalan keluar bersama agar areamuseum kebanggaan warga Jakarta khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya, benar-benar menjadi tempat wisata sejarah yang nyaman, aman dan
bersih.
Museum Sejarah
Jakarta, sebagai cermin yang mampu mengantarkan masyarakat ke masa-masa
perkembangan Jakarta dari masa ke masa, juga sepatutnya mampu menjadi tempat
yang lebih mampu memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang arti pentingnya
sebuah pelajaran sejarah maupun budaya. Menurut kami, hal ini bisa dilakukan
dengan banyak cara, seperti misalnya dengan mengemasmuseum selain menjadi tempat pendidikan sejarah dan
budaya, juga bisa menjadi tempat yang menghibur. Dalam hal ini, perlu
diperhatikan juga sisi edutainment bagi para pengunjung, khususnya para
pelajar, agar mereka tak bosan berkunjung ke museum. (Feryanto Hadi)
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
terimakasih atas atensinya...