Aku pernah berharap agar aku bisa menjadi sehelai daun hijau yang utuh; ketika aku mulai bisa membaca sajak dalam jiwamu, dan dalam sajak itu kau selalu mengeluh bahwa para embun kerap merayumu. Pernah pula aku berharap aku berubah menjadi selembar perban, ketika kau merasa galau dan mengandai bahwa sebatang paku seolah sedang menancap di hatimu, melukaimu.
Tapi yang aku jumpai justru setiap engkau bernafas, maka aku hanya bisa melihat punggungmu. Sungguh, ini keherananku. Kenapa juga setiap kau menangis justru kamu menganggap bahwa cinta adalah sebuah ilusi yang menjemukkan? Atau memang kamu benar-benar tidak sudi walau sebentar melihatku? Apa mungkin salah jika aku hanya ingin membantu mencabut paku yang selalu menyakitimu itu?
Canggunggku mengendap di dasar kesabaran, melumat sebentuk asa yang sejak lama telah bergumpal atau bahkan telah membentuk abjad keyakinan pada jiwaku. Segala yang terjadi dulu dan sekarang, itu adalah petunjuk yang seharusnya bisa menyadarkan bahwa keinginanku untuk merangkulmu adalah harapan yang terseok di dalam lumpur misteri. Seharusnya memang begitu. Tapi mungkin benar apa yang telah dikatakan ibuku; kamu adalah perisai bagi dirimu sendiri. Kesulitan yang kelak akan kau jumpai, dalam hal apapun, jangan pernah kau jadikan sebagai harapan yang terbuang.
Detik ini dan detik nanti, terus berjalan, terpatah-patah, bagai kepakan merpati di angkasa. Dan kamu masih gemar mewarnai malam sendirian, menari dengan iringan nada resah, menyayat jiwamu dengan sebilah airmata, terbatuk ketika angin menabur, sedangkan aku yang melihatmu merasakan lara.
Berada pada keadaan ini, aku merasa berada pada sebuah fase yang tuli dan menakutkan. Atau mungkin ini serupa saat sebuah mimpi merangkulku dengan kasar; seorang bocah kecil dituntun gerimis menuju sumur tua, dan seekor kucing berkata kepadanya bahwa di dalam sumur gelap itu ia akan menemukan segala harapannya menjadi hal yang melarakan.
Memikirkanmu, seolah waktu tak memberiku kesempatan untuk hidup berdampingan dengan kicau burung yang indah. Dimensi itu tentu saja berisi, bukan kosong. Namun yang terjadi padaku, aku merasa bahwa malam tak menepati janjinya; ia pernah berkata bercerita kepadaku tentang perempuan bermata purnama yang akan segera kutemui dan dari sosok itulah kelak hatiku akan menyala terang.
Percayalah kepadaku dan lihatlah aku sebentar!
Aku datang kepadamu hanya ingin memberi sedikit senyum yang telah kusulam dengan susah payah. Aku tahu kau sedang membutuhkannya. Aku tahu telaga hatimu sedang kering. Namun kebisuanmu kepadaku menyerupai kebisuan karang yang sedang tertidur cemas. Kamu endap sendiri laramu, kamu rasakan sepenuhnya luka yang pedih itu, padahal ada aku yang terlalu sudi untuk menanggung rasa sakit itu, aku yang sudi untuk menebus kepedihanmu kepada ombak, walau dengan harga yang mahal sekalipun.
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
terimakasih atas atensinya...