Malam Minggu Terakhir Kalijodo

suasana malam minggu terakhir di Kalijodo


Biasanya, kawasan Kalijodo tiap malam selalu ramai, apalagi malam minggu. Dentuman musik dari kafe-kafe, aktifitas para perempuan pekerja seks komersial dan hilir-mudik para pendatang lokasi hiburan itu menjadi pemandangan lumrah.
Suasana berubah drastis semenjak isu penggusuran tempat itu, beberapa pekan silam. Sejak itu, jumlah pengunjung turun drastis. Wanita penghibur dan para pemilik kafe sempat geram. Beberapa dari mereka bahkan memastikan akan melakukan perlawanan jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membongkar kawasan itu.
"Di sini premannya banyak. Ahok tidak akan bisa membongkar kecuali dia bawa tank," kata seorang PSK kepada Warta Kota saat isu penggusuran tengah panas.
Tapi ancaman perlawanan tampaknya tidak akan terwujud. Sejak terbit Surat Peringatan (SP) 1, Kamis (18/2) lalu, sebagian besar warga memang masih membandel. Baru setelah keluarnya SP 2 seminggu sesudahnya, warga dengan sukarela membongkar rumahnya sendiri dan pindah ke tempat relokasi yang sudah disediakan yakni di sejumlah rumah susun di Jakarta. SP3 sendiri dikeluarkan pada Minggu (28/2) dan hanya berumur sehari sebelum pembongkaran.
Sepengamatan Warta Kota Sabtu (27/2) malam, kawasan Kalijodo tak ubahnya seperti kota mati. Sepanjang Jalan Kepanduan II gelap gulita. Bangunan-bangunan bekas cafe, rumah bordir dan tempat usaha sudah dikosongkan pemiliknya. Sebagian bangunan masih berdiri utuh. Tetapi jika diamati lebih detil, bagian dalam bangunan itu sudah dibongkar pemiliknya.
Di mulut gang, beberapa eskavator sudah disiapkan untuk meratakan bangunan. Tenda-tenda sebagai posko pengamanan juga sudah disiapkan sejak beberapa hari lalu.
Selain ratusan aparat kepolisian yang berjaga di kawasan Kalijodo, malam itu hanya tampak beberapa orang sipil.
Sekelompok orang yang mengaku hanya pekerja bongkar, tak begitu menggubris ketika aktivitasnya mengumpulkan kayu dan besi diganggu. "Saya hanya pekerja dari luar, bukan warga sini," kata lelaki berusia sekitar 30 tahun.
Di sebuah warung rokok, seorang lelaki tua termenung. Pandangannya nanar, menghadap sebuah bangunan bekas cafe di depannya yang kini gelap gulita.
Surahman, nama lelaki berusia 62 itu. Meski semua barangnya sudah dibawa ke Rusunawa Pulogebang sebagai tempat relokasi, Pak Rahman, begitu sapaannya, mengaku masih berat pindah dari kawasan Kalijodo. Itu kenapa meskipun orang-orang sudah menempati tempat tinggal barunya, sejak beberapa malam lalu Pak Rahman memilih masih di sana untuk menikmati hari-hari terakhir di Kalijodo.
"Bukan masalah tidak mau pindah, tapi berat karena sudah puluhan tahun saya tinggal di sini," kata Pak Rahman memulai perbincangan dengan Warta Kota.
Pak Rahman bersyukur pemerintah menyediakan tempat relokasi. Meski demikian, ada hal-hal yang masih mengganjal di hatinya. Misalnya, tempat kerja yang jauh dari tempat relokasi. Pun dengan kedua anaknya yang masih sekolah di sekitar Kalijodo.
"Saya kerjanya di sini. Dua anak saya masih sekolah di sini juga, satunya SMP satunya lagi kelas 6 SD. Ngurus pindahan juga nggak mudah, apalagi yang SD sudah mau ujian. Saya juga kalau tinggal di sana nggak ada kendaraan," jelasnya.
Dengan segala pertimbangan, Pak Rahman akhirnya menyewa sebuah kontrakan di sekitar Kalijodo. "Yang di rusun biar ditempati anak saya yang lain dulu. Kalau saya sementara mau ngontrak saja dekat sini, sambil nunggu anak bungsu lulus SD."
Tempat hiburan
Beberapa warga malam itu masih ada yang mondar-mandir ke rumahnya untuk berbenah atau mengambil barang. Juga ada beberapa orang yang malam itu masih memutuskan berada di Kalijodo meskipun mereka sudah mendapatkan kunci rumah susun.
Tapi, orang-orang itu sensitif ketika hendak diwawancarai. Nada bicaranya ketus dan mereka tak bersedia menjawab satu pun pertanyaan yang diajukan. Hanya Pak Rahman saja yang menyambut hangat.
"Mohon maaf kalau teman-teman (berperilaku) begitu. Maklumlah, suasana memang sedang panas," kata Pak Rahman memberi pengertian kepada Warta Kota.
Kawasan Kalijodo menurut Pak Rahman telah mengalami perubahan dari masa ke masa.
"Dulunya di sini cuma tempat nongkrong saja. Baru ramai jadi tempat perjudian sejak awal 1970an. Tempat ini semakin jadi favorit setelah judi dilegalkan oleh Gubernur Ali Sadikin. Tapi lokasi awalnya di seberang kali sana, bukan di daerah Kalijodo yang dikenal sekarang," terangnya.
Di era 1990an, kata Pak Rahman, lokasi perjudian baru pindah ke sisi timur Banjir Kanal Barat (BKB) atau di Jalan Kepanduan II. Di saat bersamaan, muncul kafe-kafe yang lebih modern setelah pada 1980an hanya ada empat bangunan kafe di sana. Makin berkembang sebagai tempat hiburan, para perempuan penghibur juga mulai banyak berdatangan.
"Di jaman perjudian, sebenarnya jumlah cewek (PSK) terbilang sedikit. Tidak mencapai seratus. Tapi setelah perjudian ditutup di era 2000an, makin banyak cewek yang datang ke sini," jelasnya.
Pak Rahman bersama warga Kalijodo lain mengaku ikut menikmati keuntungan pada masa perjudian. Ia bertindak sebagai 'calo gadai' yang menghubungkan antara penjudi dengan pemodal yang sering menerima gadaian barang.
"Kalau dibilang di sini ya dulu pabriknya uang. Jadi saya ya nongkrongin orang judi aja. Kalau yang kalah biasanya mereka gadaikan apa saja. Nah, saya lalu membantu menggadaikan barang mereka ke tukang gadai. Nanti saya dikasih upah," kata Pak Rahman sambil tertawa.
"Setelah perjudian tutup saya bekerja di sektor lain. Kalau sekarang kerjanya bersihin kali, jadi PHL (Pekerja Harian Lepas)."
Kenangan
Pak Rahman tinggal di Kalijodo sejak 1970an, jadi ia mengaku tahu banyak hal yang terjadi di sana. Termasuk soal kelompok-kelompok yang menguasai kawasan Kalijodo. Menurutnya, kelompok-kelompok yang dikomandoi para tokoh yang disegani itu muncul sejak perjudian makin ramai.
"Di sini kalau perang-perang begitu sudah biasa. Dulu pertama Banten sama Mandar, kemudian damai. Lalu Mandar sama Makassar yang di tahun 2002 itu. Dulu dari Mandar ada Haji Usman, orangnya sangat baik. Tapi sejak bertikai dengan kelompok Makassar, dia sudah tidak mau pusing lagi ngurusin beginian. Sejak itu muncul Daeng Aziz yang dihormati di sini," terangnya.
Semakin kondangnya Kalijodo sebagai tempat lokasisasi, membuat kawasan itu semakin ramai dari waktu ke waktu. Tarif kencan yang murah, menjadi salah satu penyebabnya. Pak Rahman menyebut, sejak beberapa tahun belakang telah ada regenerasi baru, dimana PSK berusia tua mulai tidak laku dan digantikan dengan wanita penghibur yang lebih muda.
"Kalau dulu di sini kan terkenal ceweknya tua-tua Sekarang tidak ada lagi yang begitu. Sudah regenerasi jadi muda-muda, cantik-cantik. Ceweknya kebanyakan dari Sunda sama Lampung. Pengunjung yang datang juga bukan cuma buruh, tapi banyak juga yang bermobil bagus," terangnya.
Pak Rahman tidak tahu persis ke mana perginya para wanita penghibur itu saat ini. "Sejak mulai ramai di berita beberapa minggu lalu itu di sini mulai  sepi karena yang datang juga nggak ada. Ceweknya juga pada pergi. Saya tidak tahu mereka pada ke mana."
Bagi Pak Rahman, Kalijodo akan selalu menjadi kenangan dalam hidupnya. Nyatanya, Kalijodo menjadi tempat baginya melewati pahit-getirnya hidup sejak pertama merantau ke Jakarta pada 1970. Pada saat pembongkaran yang dilakukan Senin (29/2), Pak Rahman berniat melihatnya.
"Ya sedih sebenarnya karena sudah sekitar 45 tahun saya tinggal di sini. Bagaimanapun orang menilai, ya Kalijodo pernah menjadi kampung saya." (fha).

Label:
0 Responses

Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini