Kearifan Masyarakat Kampung Banceuy





Seperti biasanya, suasana di Kampung Banceuy siang itu begitu tenang.  Melintasi jalanan di area perkampungan, ibu-ibu dan para gadis berkumpul di depan rumah. Sementara itu, banyak pria kampung setempat berjalan kaki di sepanjang jalan dengan membawa berbagai hasil bumi mereka. Semua warga, baik laki-laki maupun perempuan, ramah kepada setiap orang yang menyambangi kampung mereka.

Kampung Banceuy telah ditetapkan sebagai situs kampung adat oleh Pemerintah Kabupaten Subang. Wilayahnya masuk Desa Sanca, Kecamatan Ciater atau berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat kota Subang dan 32 kilometer dari Bandung. Tradisi melestarikan adat dan budaya sunda di kampung ini masih dipegang teguh. Tidak heran, kampung ini hingga kini banyak dikunjungi wisatawan maupun para peneliti kebudayaan.

Odang Somyang, Tokoh Budaya kampung setempat mengatakan, tradisi budaya di Banceuy tetap bertahan hingga sekarang tak lain berkat kepedulian para warganya. Adapun sejarah kampung ini berdasarkan cerita turun temurun, seperti dijelaskan Odang, berawal ketika tujuh keluarga membangun perkampungan kecil di sana. Namanya Kampung Negla.

“Lokasinya dulu ada di timur kampung ini. Pada suatu waktu kampung itu diterpa bencana angin puting beliung yang menghancurkan rumah mereka. Ketujuh tokoh itu kemudian memanggil paranormal. Dan oleh paranormal itu, mereka diminta menggeser lokasi perkampungan sekaligus mengganti nama kampung agar terhindar dari musibah. Dari kesepakatan, akhirnya dinamakan Kampung Banceuy,” jelas Odang belum lama ini. Kata Banceuy sendiri diambil dari bahasa keseharian masyarakat Banceuy yaitu bahasa Sunda, yang artinya adalah musyawarah 

Dari ketujuh keluarga itu kemudian muncul generasi-generasi baru . Pada perjalanannya, para sesepuh kampungmengajarkan kepada setiap anaknya untuk menjaga dan melestarikan tradisi setempat. “Sampai sekarang kami tetap menggelar upacara-upacara adat yang diwariskan para sesepuh,” ujar Odang.

Salah satu upacara adat yang paling terkenal di kampung itu, Ruwatan Bumi. Upacara untuk tolak bala sekaligus wujud syukur kepada Sang Pencipta atas berkah hasil bumi mereka, dilakukan di minggu terakhir sebelum memasuki tahun baru Muharam. “Upacara dilakukan selama dua hari, puncaknya kami tetapkan pada hari Rabu terakhir sebelum 1 Muharam.upacara adat ini sudah digelar sejak tahun 1800-an dan selalu dilaksanakan setiap tahun.

Di hari pertama, segala persiapan dilakukan. Para pemuda kampung menghias desa mereka dengan janur-janur kuning. Sebagian warga menyembelih hewan kerbau sebagai wujud syukur. Para prempuan sibuk menyiapkan masakan di sebuah dapur umum. Anak-anak kecil melakukan gladi resik untuk penampilan mereka keesokan harinya. Sedangkan sesepuhkampung melakukan ritual khusus untuk kelancaran pesta.

Di hari pertama ini biasanya kampung Banceuy menjadi ramai oleh para tamu yang berdatangan. Mereka sengaja datang dari berbagai daerah termasuk Bandung dan Jakarta untuk menyaksikan berbagai kesenian seperti tarawangsa, celempung dan gembyung yang digelar hingga dini hari.

Mayoritas pengunjung menginap di rumah-rumah warga untuk menyaksikan upacara puncak yang digelar keesokan paginya.Acara puncak dari upacara adat ini adalah ngarak Dewi Sri, yang menampilkan karnaval dan kesenian kampung setempat, termasuk penampilan Penca Silat, Penari Pembawa hanjuang, penari pembawa janur, Dogdog Reog, Genjring, dan Sisingaan. Kegiatan ini pun menjadi daya tarik bagi wisatawan.


Turun temurun

Sejak usia dini, anak-anak di Kampung Banceuy sudah diperkenalkan dengan kesenian dan budaya setempat.  Hal ini, kata Odang, bertujuan supaya adat dan budaya melekat pada diri anak-anak kemudian terbawa sampai mereka dewasa.

“Kami saat ini juga menjadi duta budaya bagi Pemkab Subang. Setiap ada acara budaya ke luar kota, anak-anak dan remaja Kampung Banceuy selalu tampil membawakan kesenian Subang khususnya dan Sunda pada umumnya,” kata Odang.

Sepekan sekali, pemuda Kampung Banceuy melatih anak-anak di sebuah sanggar terbuka yang ada di kampung tersebut. Diana Setiawati, seorang guru sanggar mengungkapkan tantangan terberat bagi dirinya dan pengajar lain adalah sifat anak-anak yang masih labil.

“Yang kecil biasanya susah diatur. Ada yang nggak mau latihan. Tapi kami tetap ajarkan pelan-pelan. Minimal mereka suka dulu. Dari pengalaman, mayoritas anak-anak yang tumbuh dewasa sudah mencintai dan merasa memiliki adat dan budayaBanceuy. Ini berkat pendidikan yang kami berikan sejak mereka masih kecil,” jelasnya.

Tidak hanya upacara adat maupun pelestarian seni budaya. Sampai sekarang, masyarakat Banceuy masih memegang tradisi leluhur seperti selalu menjalani ritual atau mendatangi sesepuh jika hendak punya hajat. “Misalnya untuk menentukan hari baik tanam padi, hari panen, hari pernikahan dan sebagainya. Masyarakat di sini selalu meminta saran dari sesepuhkampung,” terang Odang.

“Juga soal rumah. Meskipun bentuknya boleh didesain modern, namun ada satu hal yang tidak boleh ditinggalkan, yakni rumah harus memiliki pintu di sisi utara dan selatan,” imbuhnya.

Selain itu, di Kampung Banceuy juga masih menerapkan aturan tidak tertulis seperti larangan masuk ke hutan tertentu setiap hari Selasa dan Jumat atau larangan beraktifitas di lapangan sepakbola pada hari Sabtu. Bagi yang melanggar biasanya akan terkena musibah, misalnya dia tiba-tiba sakit. 

“Juga ada larangan perempuan di Banceuy dilarang untuk keluar malam kecuali untuk ke masjid, sebab ditakutkan diculik dan dihamili oleh kelong (laki-laki),” kata Odang.


Desa Wisata

Kampung Banceuy terdiri dari 300 kepala keluarga dan 900 jiwa. Pada umumnya warga Banceuy bekerja sebagai petani. Tapi selain petani, ada juga yang menjadi peternak (sapi). Tanaman yang ditanam diantaranya padi, timun, tomat, kacang, dan sayuran. Kampung ini berada di lembah Gunung Cangga, dikelilingi oleh persawahan dan ladang-ladang milik warga, dan memiliki pemandangan yang asri.

Dari Jalan Raya Ciater, kampung ini harus ditempuh melalui jalan yang tidak cukup lebar, sejauh sekitar delapan kilo meter. Sebagian akses jalan, rusak.

Kampung Banceuy adalah satu dari empat lokasi yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Subang sebagai Desa Wisata Wangun Harja sejak tahun 1999. Empat desa yang berada pada ketinggian 800-1.100 meter di atas permukaan laut itu meliputi Desa Sanca, Cibitung, Cibadak, dan Cibeusi. Semuanya di wilayah Kecamatan Ciater.

Di kawasan Wangun Harja ini, terdapat sejumlah tempat wisata seperti Bukit Wangun Harja, Curug Bentang (di perbatasan Desa Sanca dan Cibitung), Curug Cibareubeuy (Desa Cibeusi), dan Situs Cibadak (Desa Cibadak). Di desa tersebut terdapat sebuah sungai besar yang menjadi sumber air bagi pertanian penduduk. Pada aliran sungai inilah terdapat curug bentang saat ini pernah menjadi idola bagi wisatawan, sebelum sejak beberapa tahun lalu curug eksotis ini kurang mendapat pengelolaan yang baik.

Ada pula beberapa makam keramat yang diyakini sebagai pendiri Kampung Banceuy seperti makam Aki Leutik (Raden Ismail Saleh), makam Prabu Jaya Tumenggung, dan makam Eyang Haji Pungkur (Haji Singadiraksa). Keberadaannya dilindungi dan telah ditetapkan sebagai Situ Kampung Adat Banceuy oleh Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional.

“Semua tokoh itu dikenal sakti pada masanya. Misalnya Aki Leutik, salah satu pendiri Kampung Banceuy yang merupakan keturunan dari Sumedang. Beliau konon mempunyai kesaktian luar bisa yakni bisa duduk di atas daun pisang dan bisa masuk ke lubang yang sangat kecil. Itu kenapa beliau dijuluki Aki Leutik,” jelas Odang.

Cara Tempuh
Kampung Rambutan-Subang: Bus PO Kramat Jati, PO Warga Baru: tarif Rp28.000
Elf Subang-Ledeng turun di Jalan Cagak, Ciater: Rp 15 ribu
Ojek Dari Jalan Cagak ke Banceuy: Rp30-50 ribu.

Label:
0 Responses

Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini