Geng motor marak beberapa tahun terakhir. Lalu lintas dilanggar, ugal-ugalan. Aksi kejahatan dilakukan. Mereka bahkan tak segan melukai korban dengan senjata tajam yang selalu mereka bawa. Biasanya, samurai atau parang. Imbasnya, masyarakat menilai komunitas motor sebagai kelompok yang menakutkan.
Ingin mengubah stigma itu, Pegoh Community muncul. Komunitas pesepeda motor sport 150 cc ingin menjadi penyeimbang atau bahkan mengubah paradigma masyarakat yang memandang komunitas motor sebagai keangkeran. Bahkan, mereka bekerjasama dengan kepolisian berkomitmen mengurangi angka kejahatan jalanan yang dilakukan geng-geng motor yang tidak bertanggungjawab.
"Sejak marak kejahatan yang dilakukan geng motor, otomatis para komunitas motor ikut dipandang negatif oleh sebagian masyarakat. Padahal, banyak komunitas motor yang kegiatannya positif, seperti komunitas kami yang selalu melakukan kegiatan sosial," kata Jeffy, Ketua Umum komunitas.
Bahkan, dalam waktu dekat, komunitas ini berkomitmen akan menjadi penyambung lidah kepolisian lalu lintas, untuk mengkampanyekan disiplin berlalulintas kepada masyaralat luas dan khususnya kepada para pelajar.
"Untuk para anggota komunitas kami sudah tentu selalu kami edukasi untuk taat berlalulintas. Karena itu menjadi salah satu program pembinaan kami kepada anggota. Apalagi ada beberapa pembina kami yang juga anggota kepolisian," kata Jeffy.
Beberapa materi yang kerap diajarkan bagi anggota dan rencananya kepada para pelajar di wilayah tempat berkumpul mereka, Tangerang Selatan misalnya tata tertib lalulintas di jalan raya.
"Sebenarnya para pelajar itu tahu aturan lalu lintas, namun mereka kerap melanggarnya. Itulah tugas kami ke depan, mengedukasi para pelajar agar bisa tertib lalulintas, termasuk menjelaskan resiko yang bakal terjadi jika melanggar lalulintas."
Kegiatan positif yang telah dilakukan lainnya, yakni kegiatan bersih kampung, bantuan sosial dan pengadaan buku di perpustakaan-perpustakaan desa. Dana untuk kegiatan-kegiatan itu diperoleh dari hasil iuran para anggota Rp10.000 perbulan.
Dari sekadar nongkrong
Saat ini Komunitas Pegoh memiliki 70 anggota aktif. Setiap malam minggu, para anggota berkumpul di seputaran Jalan Cirendeu Raya, tepatnya di depan TK Al-Fath, Pondok Cabe, Tangerang Selatan.
Komunitas ini terbuka bagi masyarakat yang menggunakan sepeda motor 140-160 cc, seperti Kawasaki Ninja, Honda Mega Pro, Yamaha Vixion, Yamaha Byson, Honda CBR150 dan sebagainya.
"Dari pabrikan manapun boleh bergabung. Asal kapasitas mesin 140-160 cc," kata Muchtar, juru bicara komunitas.
Muchtar menjelaskan, awalnya komunitas ini terbentuk dari sekadar tongkrongan beberapa pemuda. Lambat laun, banyak yang bergabung hingga pada 13 Desember 2013 terbentuk Komunitas Pegoh.
Dikatakan Muchtar, seringnya komunitas ini menggelar kegiatan positif, baik mengadakan bersih kampung ke tujuan touring maupun kampanye-kampanye tertib lalulintas yang disebarkan lewat mulut ke mulut atau melalui jejaring sosial, membuat banyak penunggang motor sport 140-160 cc yang bergabung. Anggota komunitas terdiri dari berbagai macam profesi, seperti mahasiswa, karyawan, polisi sampai security perusahaan.
"Buktinya pada setiap tur yang kami gelar, banyak yang ikut. Tidak terbatas pada member saja," imbuh Muchlas.
Sebelum menjalani touring, anggota lebih dulu diberikan imbauan agar dalam perjalanan tetap menghormati hak pengguna jalan lainnya.
"Ada beberapa anggota yang secara khusus telah diberikan pembekalan soal membuka jalan atau memimpin konvoi. Jadi, kita ingin benar-benar menghilangkan image bahwa komunitas motor suka sok-sokan ketika di jalan raya. Kami paham bahwa orang lain juga punya hak menggunakan jalan raya," kata Muchtar.
Dalam hal perekrutan member baru, komunitas ini juga memberlakukan aturan yang cukup ketat. Hal itu bukan tanpa alasan. Kata Muchtar, ketatnya recruitmen anggota baru dimaksudkan agar calon member benar-benar berkomitmen untuk melakukan hal-hal positif ketika berada di dalam komunitas.
"Kita lihat KTP-nya. Kemudian kita survey ke alamat rumahnya. Bukan apa-apa, kami hanya ingin memastikan dia benar-benar ingin berbuat positif di dalam komunitas. Tidak sekadar ingin nongkrong. Adapun tradisi datang ke rumah calon anggota juga untuk silaturahim serta menunjukkan kepada oraangtuanya kalau kami ini komunitas baik-baik. Kami ingin tunjukkan sisi tanggungjawab," kata Muchtar.
"Intinya, bagi siapapun yang memutuskan masuk ke komunitas ini tahu apa yang harus mereka lakukan. Di sini tidak sekadar nongkrong atau touring, tapi harus punya rasa tanggungjawab dan kesadaran untuk berkendara dengan baik dan mengkampanyekannya kepada masyarakat luas," imbuh Muchtar. (Fha)
Pegoh Community (PGC 150)
Sekretariat: Jalan WR Supratman No54 RT 001/001, Kampung Utan, Ciputat, Tangerang Selatan.
Terbentuk: 13 Desember 2013
Anggota: 70 member
Kopdar: Malam minggu
Facebook: Pegoeh Community
Twitter: @Pegeoh150
Email: pegoehcommunity@yahoo.com
CP: 087871052363 (Jeffy)
Di Sentra Lukisan di Pasar Baru, Lukisan Jokowi Jadi Wayang Golek Dibanderol Rp1 Miliar
Feryantohadi
Seniman, bisa berkreasi di mana saja. Hanya butuh sedikit inspirasi dan konsentrasi, tertuanglah ke dalam sebuah karya yang indah. Itu yang terjadi pada puluhan seniman lukis di sekitar Jalan Pos, atau tepatnya di sebrang Pasar Baru, Jakarta Pusat. Jika melintasi jalan itu, bisa disaksikan deretan kios yang memampang berbagai jenis lukisan.
Mereka menamakan dirinya 'Kelompok Pelukis Indah'. Meski menempati sebagian trotoar, keberadaan mereka di sana legal, bahkan berada di bawah binaan Suku Dinas Koperasi dan UMKM Jakarta Pusat sebagai sebuah komunitas yang perlu diberdayakan.
Keberadaan mereka di sana, telah melalui lika-liku yang panjang, demikian dikatakan ketua komunitas S. Wito. Dahulunya, para seniman lukis itu menempati lapak di bantaran Kali Sodetan Ciliwung, atau di depan bangunan Pasar Baru. Wito mengatakan, keberadaan mereka sudah sejak 1984.
"Tetapi dulu kami tidak melukis di kanvas seperti ini, melainkan khusus melukis dan membuat kartu ucapan. Saat itu di sini jadi pusatnya. Tiap orang mau bikin kartu ucapan, datang ke sini semua, dari masyarakat biasa sampai menteri," terang Wito, belum lama ini.
Dikisahkan Wito, kejayaan para pembuat kartu ucapan berlangsung hampir satu dasawarsa. Setiap orang mendapatkan pesanan kartu ucapan dalam jumlah besar, khususnya pada hari besar, idul fitri, natal dan tahun baru. "Apalagi kalau yang pesen pejabat. Bisa sangat banyak. Mbak Tutut, Pak Harmoko, dulu mereka langganan saya."
Kata Wito dulu mereka juga sempat kucing-kucingan dengan petugas Pemda, karena mereka menempati lapak-lapak liar. Apalagi, kenang Wito, ketika Presiden Suharto hendak melintas kawasan itu dipastikan para petugas kamtib (keamanan dan ketertiban) membersihkan kawasan itu dari para Pedagang Kaki Lima (PKL), termasuk para pembuat kartu ucapan.
Beberapa seniman kemudian membuka usaha di seberang jalan Pasar Baru, di lokasi yang mereka tempati sekarang pada 1995. Awalnya hanya bertiga, termasuk Wito, kemudian puluhan pembuat kartu ucapan ikut membuka lapak di sana. Sama halnya ketika membuka usaha di lokasi lama, di lokasi baru mereka juga kucing-kucingan dengan petugas.
"Kebetulan sekali, beberapa tahun kemudian Pemda DKI Jakarta di bawah kepemimpin Gubernur Sutiyoso membuat program Kebangkitan Citra Pariwisata DKI. Itu terjadi 1999 yang pusatnya di Pasar Baru. Tema dari program itu "Bangkitkan Kembali Industri Pariwisata Untuk DKI. Kami para pelukis dilibatkan menjadi bgian dari program wisata."
Sejak itu, para seniman yang tercecer direlokasi ke tempat tersebut karena sudah mendapat persetujuan dari gubernur. Bahkan, pemda saat itu menyediakan payung tenda sebagai tempat usaha para seniman.
Alih profesi
Masa kejayaan sebagai pembuat kartu ucapan mulai meredup sekitar 1995, ketika alat komunikasi pager mulai muncul. Pesanan kartu ucapan menurun drastis. Puncaknya, pada 1998, ketika handphone sudah banyak beredar, termasuk para pelaku usaha yang telah memiliki mesin cetak.
"Habis sudah kami saat itu," kata Wito. Beruntungnya, para seniman sudah memiliki bekal melukis. Pada 1999, jasa mereka beralih ke pemesanan lukisan.
Para seniman di sana mulai bekerja keras memperkenalkan kawasan itu sebagai sentra pemesanan lukisan. Berbagai cara dilakukan, yang paling ampuh adalah memajang lukisan-lukisan di depan kios mereka. Usaha mereka pun membuahkan hasil. Satu persatu pelanggan datang. Hingga beberapa tahun sesudahnya tempat itu jadi terkenal.
"Sekarang masing-masing pelukis di sini sudah punya langganan sendiri-sendiri," kata Yudi Sugianto (40), seorang pelukis. Yudi sendiri kini memiliki pelanggan hingga mancanegara.
Lukisan Rp1 Miliar
Para seniman kebanyakan di sana menerima pemesanan potrait atau sosok sebagai kado atau souvenir.
Pria asal Subang, Jawa Barat itu mengaku omset yang ia kantongi sebagai pelukis tidak menentu. Lukisan berukuran 40x50 cm, dijual Rp1,5-3 juta. Sedangkan ukuraan 50x70 cm, harganya Rp2-5 juta.
"Seminggu dapat dua pemesanan saja sudah bersyukur," katanya. Satu lukisan foto, bisa Yudi selesaikan dalam waktu seminggu sampai dua minggu. Sedangkan lukisan karikatur, bisa 3 harian. "Karikatur lebih mudah. Kalau potrait agak susah," katanya.
Tetapi Yudi mengatakan, pada masa peralihan kabinet ini para pelukis mendapatkan peningkatan pemesanan. "Biasannya menteri-menteri atau pejabat. Seminggu bisa ngerjain sampai dua lukisan," kata Yudi. Padahal, di luar itu ia harus menyelesaikan pemesanan lukisan dari pelanggan lain.
Sementara, Wito, mengaku dalam sebulan rata-rata mendapatkan pemesanan hingga 5 lukisan. Harga satu lukisan, ditawarkan Rp3 juta. Tetapi diakui Wito, terkadang ada pelanggan yang menawar dengan harga rendah, hingga Rp500 ribu.
Jika sedang tidak ada pemesanan lukisan, para pelukis di sana membuat lukisan tema bebas yang akan ia pajang di kiosnya atau dititipkan ke galeri seni untuk dijual. Beberapa pelukis juga membuat karya pribadi untuk keperluan pameran.
Wito, sebagai pelukis senior, telah mengikuti berbagai pameran, skala nasional dan internasional. Ia pun yang memotivasi para pelukis lain untuk menembus inndustri lukis yang lebih besar.
Di kios atau galerinya di Sentra Lukisan Pasar Baru tersebut, Wito memajang beberapa karya pribadinya. Tentunya agar masyarakat bisa melihat dan membelinya. Beberapa lukisan pun ditawarkan dengan harga fantastis. Salah satunya lukisan yang menggambarkan Joko Widodo sebagai wayang golek, dengan Megawati Soekarno Putri sebagai dalangnya. Lukisan berukuran 70x80 cm dengan cat minyak itu bahkan ia banderol Rp1 miliar.
"Dalam lukisan ini saya hanya menterjemaahkan apa yang ada di benak kebanyakan masyarakat saat ini. Bahwa Jokowi, meskipun jadi presiden, tetap kader PDI Perjuangan. Bahkan, dia mencalonkan diri sebagai presiden saja atas desakan Megawati. Sebelumnya ia mengaku tidak akan mencalonkan dan tetap mengurus Jakarta. Bagi yang mau beli lukisan ini, silahkan. Harganya Rp1 miliar," ungkapnya.(Fha)
SCOOWATT atau scooter wanita tangguh dibentuk dari kesamaan hobi para wanita terhadap kendaraaan vespa. Sebelum 2011, wanita pecinta vespa yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya ini masih terpencar dan belum terorganisir dengan baik. Padahal, jumlah wanita pecinta vespa cukup banyak. Sebagian masih bergabung dengan komunitas vespa umum, sebagian lagi malah tak masuk dalam perkumpulan.
Digelarnya event gathering vespa bertajuk AMPROX3 yang di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) awal 2011 menjadi semangat dan tonggak baru terbentuknya komunitas scooter khusus wanita. Dari ajang tersebut, beberapa wanita penggemar vespa bertemu kemudian mulai menggagas untuk membentuk sebuah perkumpulan pecinta vespa khusus untuk kaum hawa. Tak lama kemudian, tepatnya 12 Maret 2011, SCOOWATT resmi berdiri dengan anggota sekitar 13 orang.
“Wanita pecinta vespa di Jakarta ini cukup banyak, hanya saja mereka menyebar di Jakarta, Bekasi, Tangerang sampai Bogor. Saat ketemu di event AMPROX3, kami berpikir kenapa tidak membuat wadah khusus untuk pehobi vespa wanita supaya bisa lebih mudah menjalin silaturahmi,” kata Bunda Nganis, Pembina SCOOWATT, belum lama ini.
Jenis scooter yang digunakan anggota SCOOWATT di antaranya Bajaj Super, Bajaj Deluxe, Sprint, Vespa PX, Exclusive, Exel, Spartan dan jenis lainnnya yang mayoritas sudah berusia tua atau buatan tahun 1970-1980an. Selain karena kesamaan hobi, para anggota SCOOWATT ingin menghapus stigma bahwa pecinta vespa adalah orang-orang yang urakan, dengan gaya berbusana kumal dan tidak perduli dengan penampilan vespanya. Selain itu, SCOOWATT ingin memperlihatkan bahwa wanita, dalam sebuah komunitas sepeda motor, tidak hanya bisa menjadi boncenger saja, namun menjadi rider.
“Memang kenyataannya banyak pecinta Vespa yang penampilannya asal-asalan, celana robek atau vespa mereka yang terlihat tidak terawat. Nah, SCOOWATT ini ingin menunjukkan bahwa penggemar vespa itu sangat luas, termasuk para wanita seperti kami. Jadi kami ingin menjadi citra baik bikers di mata masyarakat dengan cara melakukan hal-hal yang positif.”
Setelah tiga tahun berdiri, SCOOWATT sudah dikenal luas di kalangan pecinta Vespa. Anggotanya kini mencapai 50 orang, berasal dari berbagai daerah di Jabodetabek. Komunitas ini menggelar kopi darat rutin setiap bulan sekali, di Seven Eleven Cilandak, Jakarta Selatan. Di sela kegiatan kopi darat itu, para anggota juga menggelar arisan.
"Arisan merupakan salah satu bentuk kegiatan positif kami sekaligus untuk penyemangat agar anggota bisa berkumpul. Karena banyak anggota yang rumahnya jauh, ada yang dari Bogor, Bekasi, Tangerang," kata Bunda Nganis.
Kata Dewi Depe, Wakil Ketua SCOOWATT, komunitasnya sangat terbuka bagi ladies pengguna vespa di Jabodetabek yang ingin bergabung. Syaratnya pun mudah, “Pastinya harus punya motor vespa. Jenis apapun boleh, baik yang pakai kopling maupun yang matic. Kemudian tujuan mereka bergabung untuk hal yang positif,”jelasnya.
Tangguh
Seperti komunitas motor pada umumnya, para anggota SCOOWATT juga sering mengadakan touring ke berbagai kota, misalnya Garut, Bandung, Anyer dan Lampung. Kata beberapa anggota komunitas, touring ke luar kota menggunakan vespa membuat mereka merasa menjadi wanita yang tangguh yang mampu melibas kota demi kota untuk mendapatkan kebanggan bagi mereka.
“Bayangkan saja para wanita touring menggunakan Vespa tua. Dan kami melakukan itu tanpa rasa takut,” kata Oktiana yang menjabat sebagai Humas di SCOOWATT. Bahkan, imbuhnya, ada satu anggota komunitas yang belum lama ini menjalani touring seorang diri dengan rute Jakarta-Sabang. “Namanya Mami Nenden. Beliau anggota tertua di komunitas kami. Usianya sudah 67 tahun.”
Sebelum touring, mereka selalu mempersiapkan betul-betul kuda besi mereka. “Sebelum touring kami persiapkan betul motor kita, misalnya dengan service mesin dan pengecekan lampu dan rem agar meminimalisasikan gangguan saat perjalanan,” imbuh Oktiana.
Meski demikian, dalam perjalanan, tetap saja terjadi kendala dari satu atau beeberapa motor anggota, seperti mesin ngadat atau ban pecah. “Tapi kami tidak pernah kuatir. Karena sebagian besar anggota SCOOWATT punya kemampuan untuk mengatasi itu semua. Ada yang memang paham mesin, adapula yang bisa sebatas mengganti ban sendiri. Bahkan kami juga bisanyetep (mendorong motor dengan menggunakan kaki) jika ada vespa teman mogok. Jadi kami memang sudah diajarkan untuk mandiri ketika punya Vespa tua,” kata Oktiana.
Pada setiap kegiatan touring, para ladies ini tetap kuatir soal keamanan. Makanya, mereka selalu mengajak beberapa rekan lelaki untuk mengawal mereka. “Tidak banyak. Hanya beberapa rekan saja sesama pengguna vespa. Ini karena factor keamanan saja,” Oktiana menjelaskan.
Terlanjur cinta
Mengendarai vespa memiliki rasa dan sensasi tersendiri, kata salah satu anggota bernama Meily. Padahal, gadis berusia 20 tahun itu dulunya paling anti dengan kendaraan vespa. Ia pernah marah besar ketika orangtuanya mengantarkannya ke sekolah menggunakan vespa, awal ia bersekolah di SMP. “dulu malu kalau dibonceng ayah pakai vespa. Tapi lama-lama jadi suka, malah saya bilang ke orangtua mau bawa vespa sendiri ke sekolah,” ujar Meily.
Di sekolahnya, Meily menjadi satu-satunya murid yang menggunakan vespa. Hal itu pula yang membuatnya dikenal luas oleh kalangan murid lain bahkan guru.
“Saya ingat dulu orangtua saya dipanggil guru gara-gara saya membawa extreme vespa, yang suara knalpotnya kenceng banget. Katanya motor saya berisik dan mengganggu,” ceritanya.
Oktiana juga demikian. Kecintaannya kepada vespa menurun dari sang ayah yang juga menggemari kendaraan berbentuk unik itu. Saat sekolah di bangku SMA, ia pun mengaku mudah dikenali seluruh teman sekolah dan gurunya. “Sudah sejak tujuh tahun lalu saya suka vespa. Pengalaman seru ya saat di SMA. Kalau ada yang nyari saya tidak perlu tahu nama, tapi sebutkan saya cewek yang naik vespa, semua anak tahu kalau yang dimaksud itu saya. Karena saya satu-satunya murid yang bawa vespa ke sekolah,” kata Oktiana. (fha)
Twitter: @ScooterLadies
Path: SCOOWATT
Ig:scoowatt
Beberapa abad silam tempat ini menjadi salah satu lokasi penting tumbuhnya perekonomian Batavia. Ribuan pedagang dari berbagai negara bersandar dan menjual barang-barang mereka melalui pelabuhan ini. Dari sini, Batavia menjadi sebuah kawasan yang strategis. Tempat yang dahulunya berupa rawa-rawa tumbuh menjadi sebuah kawasan yang padat serta menjadi sentra perdagangan penting.
Nama pelabuhan itu adalah Sunda Kelapa, yang juga pernah menjadi nama bagi kota Batavia dan sekarang Jakarta. Perubahan namaSunda Kelapa menjadi Batavia dilakukan seorang Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen pada 12 Mei 1619. Pelabuhan itu menjadi Kali Ciliwung bermuara.
Pelabuhan Sunda Kelapa bila disaksikan dari Menara Syahbandar di Jalan Pasar Ikan No.1 Penjaringan, Jakarta Utara akan membawa memori kita terbang kepada masa kejayaan Sunda Kelapa pada jaman lampau.
Dari menara itu, bisa disaksikan deretan kapal yang bersandar di dermaga pelabuhan. Atau datanglah pada sore hari jika ingin menyaksikan sun-set yang menawan. Di sore yang cerah, matahari seolah memperlambat perjalanan dan senantiasa memamerkan cahaya jingga yang menawan. Beberapa angle menarik bisa menjadi pilihan wisatawan yang ingin mengabadikan moment.
Menara Syahbandar yang dibangun pada 1839 ini, pada 1977 telah ditetapkan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta saat itu, sebagai kilo meter kosong Jakarta. Sebab, dari sanalah pembangunan infrastruktur Jakarta berawal. Dari menara itu pula Jakarta menjelma sebagai sebuah kota Megapolitan seperti yang kita jumpai sekarang.
Surga pecinta fotografi
Suara mesin kapal menderu-deru. Asap hitam mengepul dan terbang ke angkasa. Kapal-kapal kayu berukuran besar berjejer di dermagaSunda Kelapa. Sementara, ribuan orang sibuk memindahkan barang dari kontainer ke atas kapal. Sebuah pemandangan yang jarang dijumpai masyarakat Jakarta yang selama ini sibuk dengan rutinitas pekerjaan di pusat kota.
Wisatawan, baik lokal maupun mancanegara sesekali berhenti di sebuah kapal besar. Mereka menyaksikan puluhan kuli yang sedang sibuk mengangkut barang-barang, memindahkannya dari truk melalui jembatan kayu berukuran kecil, ke dalam kapal.
Jerremy (38), turis asal Belanda, berkali-kali mengambil moment itu dengan kamera DSLR miliknya. Ia sengaja datang ke sana untuk menyaksikan pelabuhan yang sekaligus menjadi cacatan sejarah penting bagi perjalanan Jakarta, perkembangan Indonesia.
"Saya senang bisa berkunjung langsung ke tempat bersejarah ini. Menurut saya ini fantastis, pelabuhan yang dibangun sejak beberapa abad lalu sampai sekarang masih digunakan," kata Jerremy dengan bahasa Inggris. Ia datang bersama istri dan dua adiknya.
Pelabuhan Sunda Kelapa memang menjadi surga bagi pecinta fotografi. Menurut Wasdi (43), seorang kuli pelabuhan, hampir setiap sore kawasan itu ramai dikunjungi pelancong, utamanya pada akhir pekan.
"Kebanyakan bule. Mereka pada motret-motret. Banyak juga pengunjung lain yang datang pada pagi dan sore. Ada yang datang ramai-ramai, ada yang cuma berdua. Mereka semua pada motret aktifitas di sini," katanya.
Pantas jika para penggila fotografi menjadikan tempat itu sebagai destinasi unggulan. Sebab, di tempat itu banyak spot menarik yang bisa menjadi bidikan lensa, baik dari sisi human interest para kuli-kuli panggul, pemandangan ratusan kapal kayu yang bersandar maupun sun-set yang menjinggakan langit pelabuhan.
Andre Rimeko, fotografer, mengaku puas datang jauh-jauh dari Kabupaten Dhamasraya, Sumatera Barat, untuk hunting foto di kawasan itu. Menurutnya, tempat itu bisa menjadi ajang untuk mengasah kemampuan atau meningkatkan skill fotografi para fotografer.
"Banyak aktifitas yang ada di sini, misalnya bongkar muat barang dari kapal oleh para kuli. Itu jadi salah angle bagus buat para pecinta fotografi. Bagi yang ingin mengasah teknik komposisi, deretan kapal di dermaga juga bisa menjadi objek menarik. Ada juga perkampungan nelayan yang sangat layak untuk didokumentasikan jika berkunjung ke sini," katanya.
Ia pun tidak menyesal sudah bergelut dengan debu dari kendaraan besar yang melintas di jalan-jalan area bongkar muat.
"Untuk mendapatkan hal indah memang mahal. Saya anjurkan lebih baik datang ke sini pada sore hari, selain tidak begitu terik, aktifitas kendaraan besar yang melintas pun sudah tidak terlalu banyak," katanya.
Pelancong diimbau untuk berhati-hati ketika menikmati pemandangan-pemandangan di sana. Karena selain banyak kendaraan lalu lalang, aktifitas pemindahan barang dari truk dan kontainer ke kapal yang menggunakan alat berat juga bisa membahayakan pengunjung yang melintas.
Untuk mengeksplorasi di dalam pelabuhan yang terletak sekitar 1,5 km sebelah utara kawasan Kota Tua, pengunjung bisa menyusuri dermaga dengan berjalan kaki atau bisa menggunakan jasa sepeda ontel. Bisa juga menjelajah area pelabuhan dengan sepeda motor.
Jika tertarik untuk mengambil angle menarik di perkampungan nelayan, pengunjung bisa menyewa ojek perahu yang akan membawa pengunjung ke spot-spot menarik, termasuk ke perkampungan nelayan yang ada di sisi barat dermaga.
Pelabuhan Sunda Kelapa
Alamat: Jalan Baruna Raya No.2 Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara
Tiket Masuk: Gratis
Tiket parkir: Rp3000
Fasilitas: Lokasi pedagang kaki lima dan restoran sea food, masjid.
Cara tempuh: Busway jurusan Kota. Dari kawasan Kota tersedia ojek sepeda, bajaj atau mikrolet M-15 dengan jurusan Tanjung Priok dan turun di depan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Disarankan datang pada pagi atau sore hari agar mendapatkan pencahayaan yang baik.
Disarankan membawa beberapa jenis lensa, terutama lensa tele untuk mengeksplore objek lebih banyak.
Disarankan membawa masker karena pada waktu tertentu banyak trailer lalu lalang dan membuat debu jalan beterbangan
Suhu Jakarta beberapa hari terakhir panas, mencapai 34 derajat celcius pada siang hingga sore hari. Debu-debu beterbangan di jalanan. Orang-orang malas keluar rumah jika benar-benar tidak ada keperluan.
Tetapi suasana berbeda tampak di Taman Spathodea, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Tempat yang juga disebut sebagai Taman Miring, pada Minggu (12/10) siang, sudah dipenuhi masyarakat untuk berekreasi atau sekadar menghabiskan waktu libur bersama para kerabat.
Kondisi taman yang sejuk, asri dan tertata rapih membuat taman ini tiba-tiba booming sejak beberapa bulan terakhir. Selain itu, bentuktaman yang indah, dengan kontur tanah yang miring, menjadi kelebihan lain di taman ini, yang tidak dimiliki taman-taman lain di Jakarta. Kontur tanah yang naik turun menyerupai lembah itu pula yang menjadi alasan Taman Spathodea juga disebut Taman Miring.
Masuk ke area taman, kita akan dituntun oleh jalanan cor blok menurun. Dari jalan itu kita sudah bisa menyaksikan hamparan tanaman Spathodea. Dari sana pula tampak sebuah jembatan putih yang membentang di atas sebuah danau kecil. Jembatan yang memiliki bentuk indah itu menjadi salah satu spot favorit pengunjung untuk berfoto ria.
Di beberapa area taman juga terdapat beberapa wahana bermain anak-anak, seperti ayunan dan plorotan. Ini yang membuat tempat itu tidak hanya dikunjungi kaum muda, namun pengunjung keluarga juga selalu memenuhi tempat itu. Bukan hanya di akhir pekan, kata Nunah (49), seorang pedagang warga setempat, setiap hari orang-orang datang ke taman untuk bersantai.
"Tapi memang paling banyak di akhir pekan, Sabtu dan Minggu," katanya.
Sepengamatan saya, kebersihan taman ini cukup terjaga. Selain ditempatkannya beberapa tempat sampah, beberapa petugas kebersihan terus berkeliling untuk membersihkan sampah sekecil apapun. Ini yang membuat pengunjung taman semakin nyaman untuk bersantai dan beraktifitas di lingkungan taman. Seperti misalnya Reka Kurniawan (16) yang sore itu berkumpul bersama lima rekannya di salah satu sudut taman. Ia terlihat santai dan menikmati suasana yang teduh, duduk di atas rerumputan hijau. Sore itu ia bersama rekan-rekannya dari Cilandak Timur, Jakarta Selatan mengaku hanya ingin menghabiskan waktu libur.
"Bosan main ke mal terus. Di sini lebih enak. Nyaman. Adem. Tenang," kata Reka yang sebelumnya asyik bersosial media dengan laptopnya.
Di sudut lain, muda-mudi romantis berduaan. Dengan pemandangan rerumputan hijau dan danau, sepertinya mereka memperbincangkan hal-hal menarik atau perbincangan yang semakin merekatkan hubungan hati mereka.
Di sekitar danau juga ramai. Anak-anak asyik memberi makan ikan yang ada di danau. Makanan ikan mereka beli dari pedagang di sana dengan harga cukup murah, satu kantong Rp2000.
Sedangkan di sekitar wahana permainan, anak-anak bermain riang. Banyaknya pengunjung keluarga membuat anak-anak harus antre untuk bisa menikmati wahana-wahana itu. Moment itu dimanfaatkan anak-anak untuk menemukan teman baru.
Wajah Muinah (35), sore itu berbinar melihati anaknya Malika Ramadani girang bermain ayunan. Sesekali ia mendekati anknya, bermaksud menjagai bocah empat tahun itu. Tapi sang anak menyuruh Muinah untuk duduk. Ia masih menikmati kebersamaan dengan teman-teman barunya.
"Saya dari siang di sini, menunggui anak saya bermain ayunan. Sudah saya ajak pulang, dia tidak mau," kata warga Jalan Durian, Jagakarsa.
Sementara itu, Minan (45), suami Muinah kerap tersenyum-senyum sendiri melihati kebahagiaan sang anak. Selagi menunggui sang anak, ia duduk bersama istrinya, berjarak sekitar 15 meter dari ayunan.
"Harusnya Pemerintah DKI Jakarta memperbanyak taman-taman seperti ini. Selain sehat karena banyak pohon, sebagian masyarakat Jakarta juga memerlukan wisata murah," katanya.
Ia pun mengapresiasi langkah Pemprov melalui Dinas Pertamanan dan Pemakaman membangun Taman Spathodea. "Sebelumnya di sini tempat sampah daan rawa. Sekarang jadi taman yang bagus dan bisa dimanfaatkan masyarakat," katanya.
Berubah image
Tetapi suasana berbeda tampak di Taman Spathodea, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Tempat yang juga disebut sebagai Taman Miring, pada Minggu (12/10) siang, sudah dipenuhi masyarakat untuk berekreasi atau sekadar menghabiskan waktu libur bersama para kerabat.
Kondisi taman yang sejuk, asri dan tertata rapih membuat taman ini tiba-tiba booming sejak beberapa bulan terakhir. Selain itu, bentuktaman yang indah, dengan kontur tanah yang miring, menjadi kelebihan lain di taman ini, yang tidak dimiliki taman-taman lain di Jakarta. Kontur tanah yang naik turun menyerupai lembah itu pula yang menjadi alasan Taman Spathodea juga disebut Taman Miring.
Masuk ke area taman, kita akan dituntun oleh jalanan cor blok menurun. Dari jalan itu kita sudah bisa menyaksikan hamparan tanaman Spathodea. Dari sana pula tampak sebuah jembatan putih yang membentang di atas sebuah danau kecil. Jembatan yang memiliki bentuk indah itu menjadi salah satu spot favorit pengunjung untuk berfoto ria.
Di beberapa area taman juga terdapat beberapa wahana bermain anak-anak, seperti ayunan dan plorotan. Ini yang membuat tempat itu tidak hanya dikunjungi kaum muda, namun pengunjung keluarga juga selalu memenuhi tempat itu. Bukan hanya di akhir pekan, kata Nunah (49), seorang pedagang warga setempat, setiap hari orang-orang datang ke taman untuk bersantai.
"Tapi memang paling banyak di akhir pekan, Sabtu dan Minggu," katanya.
Sepengamatan saya, kebersihan taman ini cukup terjaga. Selain ditempatkannya beberapa tempat sampah, beberapa petugas kebersihan terus berkeliling untuk membersihkan sampah sekecil apapun. Ini yang membuat pengunjung taman semakin nyaman untuk bersantai dan beraktifitas di lingkungan taman. Seperti misalnya Reka Kurniawan (16) yang sore itu berkumpul bersama lima rekannya di salah satu sudut taman. Ia terlihat santai dan menikmati suasana yang teduh, duduk di atas rerumputan hijau. Sore itu ia bersama rekan-rekannya dari Cilandak Timur, Jakarta Selatan mengaku hanya ingin menghabiskan waktu libur.
"Bosan main ke mal terus. Di sini lebih enak. Nyaman. Adem. Tenang," kata Reka yang sebelumnya asyik bersosial media dengan laptopnya.
Di sudut lain, muda-mudi romantis berduaan. Dengan pemandangan rerumputan hijau dan danau, sepertinya mereka memperbincangkan hal-hal menarik atau perbincangan yang semakin merekatkan hubungan hati mereka.
Di sekitar danau juga ramai. Anak-anak asyik memberi makan ikan yang ada di danau. Makanan ikan mereka beli dari pedagang di sana dengan harga cukup murah, satu kantong Rp2000.
Sedangkan di sekitar wahana permainan, anak-anak bermain riang. Banyaknya pengunjung keluarga membuat anak-anak harus antre untuk bisa menikmati wahana-wahana itu. Moment itu dimanfaatkan anak-anak untuk menemukan teman baru.
Wajah Muinah (35), sore itu berbinar melihati anaknya Malika Ramadani girang bermain ayunan. Sesekali ia mendekati anknya, bermaksud menjagai bocah empat tahun itu. Tapi sang anak menyuruh Muinah untuk duduk. Ia masih menikmati kebersamaan dengan teman-teman barunya.
"Saya dari siang di sini, menunggui anak saya bermain ayunan. Sudah saya ajak pulang, dia tidak mau," kata warga Jalan Durian, Jagakarsa.
Sementara itu, Minan (45), suami Muinah kerap tersenyum-senyum sendiri melihati kebahagiaan sang anak. Selagi menunggui sang anak, ia duduk bersama istrinya, berjarak sekitar 15 meter dari ayunan.
"Harusnya Pemerintah DKI Jakarta memperbanyak taman-taman seperti ini. Selain sehat karena banyak pohon, sebagian masyarakat Jakarta juga memerlukan wisata murah," katanya.
Ia pun mengapresiasi langkah Pemprov melalui Dinas Pertamanan dan Pemakaman membangun Taman Spathodea. "Sebelumnya di sini tempat sampah daan rawa. Sekarang jadi taman yang bagus dan bisa dimanfaatkan masyarakat," katanya.
Berubah image
Taman seluas 1,5 hektar itu terletak di RT 11, RT 13 di RW 05, Jalan Raya Kebagusan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sebelum menjaditaman yang lebih cantik, taman ini dulunya masih belum tertata dan kerap digunakan pengunjung untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji seperti untuk mesum, mabuk-mabukan dan tempat berkumpulnya anak-anak jalanan. Itu kenapa taman ini dikonotasikan sebagai TamanMiring selain karena kontur tanahnya yang memang miring.
Untuk itu, perubahan besar dilakukan untuk mengubah stigma itu. Kini, operasi taman dibatasi, dari 06.00- pukul 18.00. Selain itu, di areataman ditempatkan para sucurity yang senantiasa mengawasi perilaku pengunjung. Security tidak segan-segan menegur atau bahkan menangkap pengunjung yang berbuat asusila.
"Sejak diperketat alhamdulillah sudah tidak ada yang berbuat mesum," kata Fauzi, seorang security.
Selain itu, untuk menampung animo warga yang besar atas keberadaan taman tersebut, pemprov melakukan perluasan area taman, penambahan fasilitas, dan ornamen taman. Pantauan Warta Kota, di bagian belakang taman juga sedang dilakukan perluasan dan penataan.
foto: http://youkepo.com/index.php/gambar-kepo/50-cabe-cabean-yah |
"Saya Sundari (bukan
nama sebenarnya)," suara lembut itu keluar dari seorang gadis ketika saya
mencoba mengajaknya berkenalan. Dia menjulurkan tangannya untuk bersalamanan,
sebuah senyum simpul terpampang. Bersama dengan Sundari, ada seorang gadis
lagi. Namanya Henny. Usianya mungkin seumuran dengan Sundari, sekitar 15 tahun.
Ketika berbincang, Sundari mengaku datang ke jalan Puri Kembangan atau lebih dikenal sebagai 'CNI' (karena dekat dengan gedung CNI), Kembangan, Jakarta Barat, sekadar untuk nongkrong. Di tempat itu, katanya, ia bisa melepas penat. "Saya suka nongkrong di sini karena ramai," katanya.
Malam itu, suasana di Jalan Puri Kembangan memang ramai. Pantas, sebab malam itu adalah malam minggu. Mereka, yang umumnya adalah anak muda, duduk-duduk di sepanjang tanggul kali yang membelah dua jalan Puri Kembangan. Ada ribuan orang, barangkali. Belum lagi para remaja yang berkumpul di atas motor mereka yang terparkir di tepi-tepi jalan.
Sabtu malam pukul 24.00 WIB. Gelak tawa para remaja kerap terdengar di balik cahaya remang. Memang, di sepanjang tempat nongkrong itu, tidak dipasang lampu penerangan yang cukup. Tapi, keremangan cahaya justru membuat para remaja senang. Mereka menikmatinya. Terlebih, bagi mereka yang datang bersama sang kekasih. Suasana menjadi lebih romantis, pikir mereka.
Dari ujung jalan Puri Kembangan, tampak kokoh berdiri bangunan Kantor Administrasi Kota Jakarta Barat. Dari jauh, tembok bangunan bertingkat itu berwarna putih pucat, akibat ditembak oleh beberapa lampu sorot. Rombongan kendaraan masih terlihat hilir mudik. Beberapa rombongan pengamen masih terus beraksi, mencoba menjajakan kreatifitas.
Sementara itu, Sundari dan Henny masih duduk di tanggul. Sesekali mereka terlihat mengobrol, tapi di waktu lain mereka lebih banyak diam. Hanya mata mereka yang terus mengawasi keadaan sekitar, memperhatikan keramaian kawasan CNI malam itu. Entah apa yang mereka pikirkan. Tapi tampaknya mereka sangat menikmati malam itu.
Jadi apa benar Sundari dan Henny hanya sekadar nongkrong di tempat itu? Mereka tersenyum ketika mendengar pertanyaan ini. Meskipun awalnya malu untuk menceritakan, namun akhirnya mereka mengakui bahwa ada maksud lain kedatangan mereka ke kawasan CNI. "Ya siapa tahu ketemu jodoh di sini, ha-ha-ha," cetus Henny.
Dua gadis ini mengaku sebagai siswa sebuah SMA di Kebun Jeruk. Asal mereka dari Kedoya Selatan. Sudah empat kali berturut-turut di malam minggu, mereka datang ke kawasan tersebut. Untuk apa? Kata mereka, untuk mencari kenalan saja. Benar saja, saat dimintai nomor telepon, mereka pun dengan senang hati memberikannya.
Lebih intim
Memang seperti itulah keadaannya. Dari sekadar nongkrong, berkenalan, saling bertukar nomor telepon kemudian terjadi pergaulan bebas. Menurut beberapa sumber, di kawasan tempat nongkrong Jalan Puri Kembangan ini, sangat mudah mendapatkan 'teman kencan'. Parahnya, para perempuan-perempuan yang kerap nongkrong di sana mayoritas adalah pelajar atau gadis seumuran pelajar.
Dari saling bertukar itu, para ABG perempuan biasanya akan dengan mudah melayani rayuan dari si cowok. Dari komunikasi yang intens inilah kemudian para remaja membuat janji untuk bertemu. Biasanya, kata Adi (bukan nama sebenarnya), pemuda yang biasa nongkrong di tempat itu, pertemuan juga dilakukan kembali di kawasan CNI pada hari-hari berikutnya.
"Di pertemuan kedua itu, biasanya mereka sudah akrab. Seperti yang kita saksikan di sini, muda-mudi bergaul seperti tidak ada batasannya. Bahkan tidak sedikit pula yang berciuman di depan teman-teman mereka. Padahal, sebagian dari mereka bukan pasangan kekasih. Cewek-cewek remaja itu bisa disebut hanya gebetan saja," katanya.
Awal kerusakan mental para remaja dimulai dari perkenalan saat mereka nongkrong dan tujuannya memang untuk mencari kenalan baru. Dari sana lah pergaulan bebas terjadi. Yang memprihatinkan, kenakalan remaja itu sepertinya sudah begitu sulit untuk dibendung karena begitu terbukanya pergaulan antar remaja.
Jadi tempat mangkal
Terkenal sebagai tempat nongkrong favorit, Jalan Puri Kembangan belakangan menjadi lahan bagi sebagian remaja perempuan untuk menjajakan diri. Pantauan saya, malam minggu menjadi moment paling ramai. Beberapa perempuan muda tampak berkumpul di beberapa titik sepanjang jalan Puri Kembangan. Misalnya saja di samping restoran tepat saji yang berada persis di depan kantor Walikota Jakarta Barat.
Di sana, malam itu tampak empat remaja putri duduk. Sebatang rokok terselip di sela-sela sela-sela jari mereka. Meski masih muda, pakaian mereka berani; celana hotpants dengan baju kaos berdada rendah.
"Banyak kalau di sini," kata Rimmi (bukan nama sebenarnya), perempuan yang biasa menjadi perantara pria hidung belang dan gadis-gadis penjaja.
Menurut Rimmi, meskipun para ABG di sana tergolong 'genit', mereka tetap pilih-pilih. Mereka akan mengutamakan lelaki yang berpenampilan keren dan tampan. Jadi, bagi lelaki yang 'bulukan', katanya harus bekerja ekstra keras untuk bisa merayu gadis-gadis itu. "Kalau yang ngajak keren, mereka pada seneng. Kalau nggak keren, mereka pikir-pikir biasanya meskipun ditawari duit banyak," katanya.
Soal tarif, Rimmi menceritakan setiap gadis punya tarif yang berbeda-beda. Tapi, katanya, harganya berkisar antara Rp300 ribu-Rp400 ribu untuk sekali kencan. "Ya mainnya dimana saja, tergantung kesepakatan. Nggak ada aturan short time atau long time. Asal ceweknya suka, ya bisa lama," ujarnya.
Meskipun para ABG masih berusia belasan tahun, Rimmi mengungkapkan, rata-rata gadis muda itu adalah korban putus sekolah. "Usianya macam-macam, ada yang 13 tahun sampai 16 tahun. Mereka itu anak putus sekolah," katanya.
Uang yang didapat para remaja itu, biasanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sisanya buat bersenang-senang. "Ada yang niatnya buat senang-senang. Tapi banyak juga yang melakukan itu karena terdesak kebutuhan ekonomi," jelasnya. Ditambahkan Rimmi, para remaja tersebut biasanya beroperasi mulai jam sembilan malam hingga dini hari. "Jumlah mereka banyak, ada sekitar 20 orang yang tersebar di beberapa titik.
biaya pengobatan
Ketika berbincang, Sundari mengaku datang ke jalan Puri Kembangan atau lebih dikenal sebagai 'CNI' (karena dekat dengan gedung CNI), Kembangan, Jakarta Barat, sekadar untuk nongkrong. Di tempat itu, katanya, ia bisa melepas penat. "Saya suka nongkrong di sini karena ramai," katanya.
Malam itu, suasana di Jalan Puri Kembangan memang ramai. Pantas, sebab malam itu adalah malam minggu. Mereka, yang umumnya adalah anak muda, duduk-duduk di sepanjang tanggul kali yang membelah dua jalan Puri Kembangan. Ada ribuan orang, barangkali. Belum lagi para remaja yang berkumpul di atas motor mereka yang terparkir di tepi-tepi jalan.
Sabtu malam pukul 24.00 WIB. Gelak tawa para remaja kerap terdengar di balik cahaya remang. Memang, di sepanjang tempat nongkrong itu, tidak dipasang lampu penerangan yang cukup. Tapi, keremangan cahaya justru membuat para remaja senang. Mereka menikmatinya. Terlebih, bagi mereka yang datang bersama sang kekasih. Suasana menjadi lebih romantis, pikir mereka.
Dari ujung jalan Puri Kembangan, tampak kokoh berdiri bangunan Kantor Administrasi Kota Jakarta Barat. Dari jauh, tembok bangunan bertingkat itu berwarna putih pucat, akibat ditembak oleh beberapa lampu sorot. Rombongan kendaraan masih terlihat hilir mudik. Beberapa rombongan pengamen masih terus beraksi, mencoba menjajakan kreatifitas.
Sementara itu, Sundari dan Henny masih duduk di tanggul. Sesekali mereka terlihat mengobrol, tapi di waktu lain mereka lebih banyak diam. Hanya mata mereka yang terus mengawasi keadaan sekitar, memperhatikan keramaian kawasan CNI malam itu. Entah apa yang mereka pikirkan. Tapi tampaknya mereka sangat menikmati malam itu.
Jadi apa benar Sundari dan Henny hanya sekadar nongkrong di tempat itu? Mereka tersenyum ketika mendengar pertanyaan ini. Meskipun awalnya malu untuk menceritakan, namun akhirnya mereka mengakui bahwa ada maksud lain kedatangan mereka ke kawasan CNI. "Ya siapa tahu ketemu jodoh di sini, ha-ha-ha," cetus Henny.
Dua gadis ini mengaku sebagai siswa sebuah SMA di Kebun Jeruk. Asal mereka dari Kedoya Selatan. Sudah empat kali berturut-turut di malam minggu, mereka datang ke kawasan tersebut. Untuk apa? Kata mereka, untuk mencari kenalan saja. Benar saja, saat dimintai nomor telepon, mereka pun dengan senang hati memberikannya.
Lebih intim
Memang seperti itulah keadaannya. Dari sekadar nongkrong, berkenalan, saling bertukar nomor telepon kemudian terjadi pergaulan bebas. Menurut beberapa sumber, di kawasan tempat nongkrong Jalan Puri Kembangan ini, sangat mudah mendapatkan 'teman kencan'. Parahnya, para perempuan-perempuan yang kerap nongkrong di sana mayoritas adalah pelajar atau gadis seumuran pelajar.
Dari saling bertukar itu, para ABG perempuan biasanya akan dengan mudah melayani rayuan dari si cowok. Dari komunikasi yang intens inilah kemudian para remaja membuat janji untuk bertemu. Biasanya, kata Adi (bukan nama sebenarnya), pemuda yang biasa nongkrong di tempat itu, pertemuan juga dilakukan kembali di kawasan CNI pada hari-hari berikutnya.
"Di pertemuan kedua itu, biasanya mereka sudah akrab. Seperti yang kita saksikan di sini, muda-mudi bergaul seperti tidak ada batasannya. Bahkan tidak sedikit pula yang berciuman di depan teman-teman mereka. Padahal, sebagian dari mereka bukan pasangan kekasih. Cewek-cewek remaja itu bisa disebut hanya gebetan saja," katanya.
Awal kerusakan mental para remaja dimulai dari perkenalan saat mereka nongkrong dan tujuannya memang untuk mencari kenalan baru. Dari sana lah pergaulan bebas terjadi. Yang memprihatinkan, kenakalan remaja itu sepertinya sudah begitu sulit untuk dibendung karena begitu terbukanya pergaulan antar remaja.
Jadi tempat mangkal
Terkenal sebagai tempat nongkrong favorit, Jalan Puri Kembangan belakangan menjadi lahan bagi sebagian remaja perempuan untuk menjajakan diri. Pantauan saya, malam minggu menjadi moment paling ramai. Beberapa perempuan muda tampak berkumpul di beberapa titik sepanjang jalan Puri Kembangan. Misalnya saja di samping restoran tepat saji yang berada persis di depan kantor Walikota Jakarta Barat.
Di sana, malam itu tampak empat remaja putri duduk. Sebatang rokok terselip di sela-sela sela-sela jari mereka. Meski masih muda, pakaian mereka berani; celana hotpants dengan baju kaos berdada rendah.
"Banyak kalau di sini," kata Rimmi (bukan nama sebenarnya), perempuan yang biasa menjadi perantara pria hidung belang dan gadis-gadis penjaja.
Menurut Rimmi, meskipun para ABG di sana tergolong 'genit', mereka tetap pilih-pilih. Mereka akan mengutamakan lelaki yang berpenampilan keren dan tampan. Jadi, bagi lelaki yang 'bulukan', katanya harus bekerja ekstra keras untuk bisa merayu gadis-gadis itu. "Kalau yang ngajak keren, mereka pada seneng. Kalau nggak keren, mereka pikir-pikir biasanya meskipun ditawari duit banyak," katanya.
Soal tarif, Rimmi menceritakan setiap gadis punya tarif yang berbeda-beda. Tapi, katanya, harganya berkisar antara Rp300 ribu-Rp400 ribu untuk sekali kencan. "Ya mainnya dimana saja, tergantung kesepakatan. Nggak ada aturan short time atau long time. Asal ceweknya suka, ya bisa lama," ujarnya.
Meskipun para ABG masih berusia belasan tahun, Rimmi mengungkapkan, rata-rata gadis muda itu adalah korban putus sekolah. "Usianya macam-macam, ada yang 13 tahun sampai 16 tahun. Mereka itu anak putus sekolah," katanya.
Uang yang didapat para remaja itu, biasanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sisanya buat bersenang-senang. "Ada yang niatnya buat senang-senang. Tapi banyak juga yang melakukan itu karena terdesak kebutuhan ekonomi," jelasnya. Ditambahkan Rimmi, para remaja tersebut biasanya beroperasi mulai jam sembilan malam hingga dini hari. "Jumlah mereka banyak, ada sekitar 20 orang yang tersebar di beberapa titik.
biaya pengobatan
Dari penelurusan malam itu, saya berkesempatan berbincang secara langsung dengan para ABG 'cabe-cabean' yang kerap beroperasi di kawasan Kembangan. Cabe-cabean merupakan istilah yang lazim dipakai untuk menyebut 'gadis muda' yang suka menjadi primadona bagi anak nongkrong.
Salah satunya adalah Hena, gadis berusia 14 tahun. Warga Srengseng ini mengungkapkan, awalnya dia sama sekali tidak berniat menjadicabe-cabe. Berawal dari pergaualannya bersama anak motor, ia kemudian terjerembab ke kehidupan yang tidak pernah dia bayangkan. Sebutan cabe-cabe pun kemudian melekat pada dirinya.
Pola pergaulan bebas remaja, membuat pendidikannya hancur. Beberapa tahun lalu, saat ia masih duduk di kelas VII SMP, ia justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama para anak motor. Punya wajah cantik dan bentuk badan proporsional, ia pun sempat menjadi primadona. Dari pergaulan itu, kepribadian Hena berubah drastis. Ia menganggap pendidikan bukan sesuatu hal penting. Usai lulus SMP, ia memilih untuk tidak melanjutkan ke jenjang ke lebih tinggi. Dia lebih nyaman menjadi seorang Hena, cabe-cabe yang menjadi primadona anak-anak motor.
"Sekarang sudah nggak sekolah, males," kata Hena, yang malam itu mengenakan baju dengan dada terbuka. Beberapa tahun menjadi teman nongkrong anak-anak motor dan kerap berhubungan badan dengan beberapa orang, membuat dirinya merasa hanya dimanfaatkan saja. Ia berpikir, rugi kalau dia tidak mengambil selangkah lebih maju dari kondisinya saat itu. Ia pun kemudian memasang tarif; siapa saja yang ingin bercinta dengan dirinya, harus bayar!
"Awalnya saya hanya sering nemenin mereka (anak-anak motor). Tapi saya malah dimanfaatin sama mereka. Sekalian saja saya pasang tarif," ujarnya.
Dorongan menjadi cabe-cabean berbayar, diakui Hena, juga karena ia terdesak masalah finansial. Saat ini lambungnya sakit dan perlu dioperasi. "Setiap nongkrong saya selalu minum mimuman keras. Apapun jenis minumannya, mulai dari AM (Anggur Merah), tuak, arak bali sampai minuman berlabel. Itu mungkin yang menyebabkan lambung saya rusak. Kata dokter, biaya berobatnya mahal. Sementara saya nggak berani bilang sama orang tua. Terpaksa saya cari uang sendiri," terangnya.
Hena sudah berniat bekerja sebagai Sales Promotion Girl (SPG). Tapi ia mengurungkan niatnya lantaran gajinya kecil. Maka ia pun sampai saat ini masih terus berusaha mengumpulkan pundi-pundi tabungan sampai cukup untuk biaya berobat. "Katanya habisnya sekitar Rp20 juta," cetus Hena.
Hena mengaku tidak terlalu kaku mematok tarif kencan. Sebab, ia paham siapa saja yang menggunakan jasanya; remaja yang mayoritas masih berstatus pelajar. Hena pun tidak sembarangan menerima tawaran dari setiap lelaki. "Niat saya datang ke sini (Kawasan KembanganI) sebenarnya karena ingin nongkrong saja dengan teman-teman. Nggak terlalu ngejar itu juga (prostitusi). Kalau yang ngajak anaknya keren, saya mau. Tapi kalau yang ngajak mukanya jelek, pakai celana lebar kayak Rano Karno, saya nggak mau. Saya bilang sama mereka, 'kalau nggak keren mending cari yang lain saja'".
Lalu berapa pendapatan Hena tiap malam dari hasil menjadi cabe-cabean berbayar? "Ha-ha-ha, itu rahasia. Yang pasti saya nggak selalu masang tarif. Malah kalau sayanya yang suka, saya yang ngajak dia jalan," katanya.
Seks kilat di kebun kosong
Kisah tak jauh berbeda keluar dari Ning (15), remaja lainnya yang sering mencari hidung belang di kawasan itu. Dia menganggap, menjual diri menjadi pilihan terbaiknya, setidaknya untuk saat ini. Dia letih menjadi anak jalanan; mengamen dan mengharapkan bantuan dari sesama anak jalanan lainnya. Sebagai salah satu perempuan di sebuah geng anak jalanan, ia malu kalau terus-menerus menjadi benalu.
"Saya butuh makan, butuh hidup. Uang dari hasil mengamen bersama teman-teman biasanya buat mabuk. Saya capek jadi anak jalanan," katanya.
Belum lagi Ning sering mendapat tindakan asusila dari sesama anak jalanan. Ia trauma, sungguh. Pernah ia mencoba keluar dari komunitas anak jalanan, tapi ia berpikir mau ke mana dia. Sementara, dia sejak dua tahun lalu memutuskan pergi dari rumah karena berbeda pendapat dengan keluarganya.
"Ya mungkin saat ini yang terbaik ya kayak gini," katanya, pasrah. Sama dengan beberapa cabe-cabean lainnya, Ning tidak terlalu memikirkan soal tarif. Apalagi dia sadar, di antara puluhan cabe-cabean lainnya, ia kalah cantik. Ia biasanya hanya menjadi pilihan ke-sekian dari para remaja hidung belang. "Berapapun mau. Asal bisa dapat uang," katanya.
Mendengar kisah Ning selanjutnya, miris. Karena tak terlalu cantik, Ning biasanya justru menjadi sasaran remaja pria berkantong tipis. Remaja itu memilih Ning, karena mereka bisa memberi uang berapapun. "Kadang malah pada pergi begitu saja setelah kencan. Mereka itu yang pada nggak punya duit, mabuk dan pengen bercinta," katanya.
Ning menjelaskan, dirinya dan cabe-cabean lainnya sebenarnya sangat paham dengan kondisi pelanggannya. "Mereka bawa duitnya nggak banyak. Jadi kita mau meskipun bercinta di kebun atau bangunan-bangunan kosong. Jadi, sekali main, setelah itu balik lagi ke kawasan CNI," ungkapnya.