Mengenal Batavia di Museum Fatahillah


foto by Feryanto Hadi



Pada kesempatan Jelajah Museum kali ini, saya sudah menginjakkan kaki di Museum Sejarah Jakarta. Saya sejenak memandang bangunan tua itu dari halaman museum yang cukup lapang. Masih nampak kokoh, meskipun usianya tidak lagi muda. Sama seperti bangunan lain yang ada di kawasan Kota Tua, arsitektur museum ini juga kental dengan nuansa eropa klasik.

Terletak di Taman Fatahillah No 1 Jakarta Barat, membuat Museum Sejarah Jakarta lebih sering disebut dengan museum Fatahillah. Bahkan, sampai sekarang, banyak masyarakat yang menyangka bahwa museum ini benar-benar bernama Museum Fatahillah, padahal tidak.

Untuk menuju ke tempat ini, ada banyak pilihan transportasi yang bisa digunakan. Selain Anda bisa menggunakan mobil pribadi maupun taksi, akses menuju kawasan wisata sejarah Kota Kota bisa juga menggunakan angkutan umum. Paling mudah jika Anda naik Trans Jakarta. Anda bisa menggunakan koridor I, yang menghubungkan antara Blok M-Kota. Halte untuk Trans Jakarta sendiri, hanya beberapa puluh meter di belakang Museum Fatahillah.

Museum Sejarah Jakarta dibuka untuk untuk pada hari Selasa hingga Minggu, dari pukul 09.00 WIB dan ditutup pada pukul 15.00 WIB. Untuk harga tiketnya, sangat murah. Pengunjung dewasa dikenakan tiket masuk Rp. 2 ribu per orang. Jika datang secara rombongan, minimal 20 orang, maka tiketnya lebih murah yakni Rp 1.500. Bagi pengunjung mahasiswa, tiket yang dikenakan Rp. 1.000 per orang. Sedangkan untuk rombongan mahasiswa Rp. 750. Bagi pengunjung anak-anak, harganya lebih murah lagi. Harga tiket yang dikenakan untuk satu orang anak Rp. 600, dan jika datang secara rombongan harga tiketnya menjadi Rp.500. Cukup murah, bukan?

Di museum ini, kita bisa banyak belajar tentang sejarah Indonesia, khususnya sejarah Jakarta. Beragam koleksi sejarah ada di tempat ini, dengan koleksi unggulan diantaranya Meriam SI Jagur, pemisah ruangan bergaya Baroque dari abad 18, pedang eksekusi, lukisan Gubernur Jenderal VOC Hindia Belanda tahun 1602-1942, peralatan masyarakat prasejarah, prasasti dan berbagai macam senjata.

Museum yang mempunyai sebutan lain sebagai Museum Batavia ini, dalam segi tingkat kunjungan, cukup ramai ketimbang museum-museum lain di Jakarta. Salah satu faktornya, mungkin karena museum ini terletak di Kawasan Kota Tua, dimana banyak warga Jakarta maupun dari luar Jakarta kerap menggunakan kawasan ini sebagai tempat bersantai. Bahkan, kawasan ini sudah menjadi salah satu tujuan wisata unggulan di Jakarta yang banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun manca negara.


Ruang Sidang Dewan Kotapraja, Gelar Sidang Tiga Kali Dalam Seminggu

Memasuki Gedung Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah, kita akan menemui sebuah meja dengan panjang kira-kira 2,5 meter. Meja ini, difungsikan sebagai tempat penjualan tiket masuk museum. Lokasinya, persis di belakang pintu masuk museum yang terbuat dari kayu dan berukuran besar. Selain ada beberapa petugas museum, di tempat ini nampak petugas keamanan berjaga-jaga.

Sebelum mengupas lebih jauh koleksi-koleksi yang ada di lantai satu Museum Fatahillah, saya memutuskan untuk naik ke lantai dua gedung tersebut. Diantar tangga kuno yang terletak di depan loket penjualan karcis tadi, kami ingin melihat beragam koleksi yang berada di lantai dua. 

Sampai di lantai dua museum, seperangkat mebel tua tertata di ruangan dekat dengan tangga. Sayangnya, sebagian barang-barang yang terdiri dari meja dan kursi tersebut tidak ada penjelasannya. Jadi, kami beranjak menuju ke sebuah ruangan yang berada di sisi sebelah kanan tangga.

Di ruangan ini, terdapat satu perangkat meja dan kursi serta beberapa mebel lainnya. Sebuah kaca besar juga nampak di dinding sebelah barat. Ruangan ini, ternyata adalah ruang sidang Dewan Kotapraja.

Di ruangan yang berukuran cukup besar ini, dulunya, selama tiga kali dalam seminggu, digunakan untuk menggelar sidang oleh Dewan Kotapraja Batavia.  Sebagai informasi, sejak dibentuk pada tahun 1620, Dewan Kotapraja terdiri dari lima warga kota yang diangkat oleh pemerintah, ditambah empat pejabat kompeni. Di zaman itu, tidak ada yang namanya demokrasi. Dan keputusan Dewan Kotapraja, selalu bisa dirubah oleh Gubernur Jenderal dan para penasehatnya yang berada di dalam Benteng Batavia yang letaknya tidak jauh dari bangunan yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta ini.

Wewenang Dewan Kotapraja sendiri, mencakup semua perkara pidana dan perdata antara warga-warga kota, persoalan hutang, semua urusan kesejahteraan warga kota seperti surat izin usaha dan izin bangunan, pemeliharaan jalan, jembatan serta kanal, penarikan pajak, pengawasan lembaga umum dan standar timbangan dan takaran, urusan pasar dan penetapan harga barang tertentu, pengesahan perjanjian dan pinjaman untuk memberikan kebebasan kepada budak belian, dan sebagainya. Maka, pada jaman dulu, setiap hari kantor ini selalu ramai dikunjungi masyarakat.

Dewan Pengadilan Sebagai Lembaga Pengadilan Tertinggi Di Masa VOC

Kali ini saya sudah masuk pada sebuah ruangan, dimana pada tengah-tengah ruangan ini terdapat satu meja besar dan sebuah kursi pada sebuah ujung meja. Ruangan ini cukup lebar, atau hampir sama dengan ruangan Dewan Kotapraja yang sebelumnya kami kunjungi.

Ruangan ini adalah ruang Dewan Pengadilan. Menempati lantai dua sisi sebelah timur bangunan, atau hanya terpisah ruang tengah dengan ruangan Dewan Kotapraja. Dari segi furniture yang ada di sini, kami menilainya lebih baik atau terlihat sedikit lebih mewah jika dibandingkan dengan furniture di ruang Dewan Kotapraja. Selain ada sebuah mebel yang terlihat cukup menonjol, karena bentuk serta ukirannya, yakni lemari sketsel dan lemari buku besar, di ruangan ini juga terdapat sebuah lukisan tua berukuran besar. Letaknya, di apit oleh empat jendela di dinding sebelah utara ruangan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, sebagian mebel diruangan ini, berasal dari Benteng Batavia seperti lemari-lemari besar, penyekat ruangan (1700-1720) dan meja panjang dengan kursi-kursi tinggi. Semua mebel di ruangan ini berasal dari abad ke 18 dan kemungkinan besar dibuat tukang ahli Batavia. Selain untuk bersidang, ruangan ini dahulunya juga digunakan untuk upacara pernikahan sipil.

Ruang ini dulunya dipergunakan sebagai ruang sidang. Dewan Pengadilan sendiri merupakan dewan pengadilan tertinggi di masa VOC. Dulu,  konon penjara kompeni ada dekat ruang sidang ini, di dalam ruangan yang sekarang sebagian dipakai oleh UPT Kota Tua, gudang dan perpustakaan museum. Ruangan penyiksaan diduga juga berada dekat ruang ini, tetapi letaknya tidak diketahui dengan pasti. 

Pada masa itu, penyikasaan bagi tawanan lazim dilakukan di seluruh Asia dan Eropa. Maka apa yang terjadi di Batavia tidak berbeda dengan yang dilakukan di sana, seperti juga yang terjadi di Kartasura (Jaman Sunan Amangkurat I) maupun di Amsterdam Belanda.

Pada tahun 1978 Dewan Pengadilan berubah nama menjadi Hooge Raad van Justitie atau Dewan Pengadilan Tertinggi. Pada tahun 1819 pemerintah kolonial Belanda mendirikan beberapa Dewan Pengadilan di beberapa kota, dan di Batavia suatu Hooggeregtshof atau semacam Pengadilan Tertinggi untuk seluruh daerah jajahannya.

Dikisahkan pula, pada tahun 1829, Pengadilan Tertinggi ini dipindahkan dari Balaikota ke Gedung Putih yang baru dibangun di Weltevreden, sekarang Lapangan Banteng. Pada tahun 1848, dipindah lagi ke bekas Gedung Mahkamah Agung.

Dewan Pengadilan untuk kota Batavia dari tahun 1870 sampai tahun 1942 memakai gedung Paleis van Justitie yang sejak tahun 1976 menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik, sebuah bangunan yang kini berada di timur laut Museum Sejarah Jakarta.


Ilustrasi Terpidana Mati Di Tiang Gantungan



Puas menelusuri ruangan-ruangan yang berada di lantai dua Museum Sejarah Jakarta, saya  kembali lagi ke lantai dasar untuk menelusuri berbagai koleksi di tempat ini.

Masih nampak beberapa petugas museum, termasuk pihak keamanan museum berkumpul di dekat pintu masuk, tepatnya di meja penjualan karcis. Berada dekat dengan loket karcis, terdapat beberapa lambang kota Jakarta yang pernah digunakan dari sejak jaman dahulu hingga sekarang. Di tempat ini, ada empat lambang Kota Jakarta yang dipajang, berdampingan dengan peta denah museum yang terletak dekat pintu yang menghubungkan antara ruang depan dengan halaman belakang museum.

Tak jauh dari keempat lambang ini, atau tepatnya di dinding sebelah selatan, tedapat koleksi menarik yang dipamerkan, yakni berupa gambaran mengenai proses hukuman gantung yang ada pada jaman dulu.

Dalam pajangan itu, digambarkan seorang tentara VOC yang berseragam lengkap dengan pedang di pinggangnya, sedang menunggui dua calon terpidana mati yang akan digantung. Terpidana tersebut, sudah ditutup wajahnya dan sebuah tali sudah mengait lehernya.

Dikisahkan, hukuman mati dengan cara digantung ini dilaksanakan di depan serambi yang bertiang-tiang, pada hari tertentu, setiap bulan. Para hakim duduk dengan pakaian kebesaran mereka di balkon lantai dua untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati. Sedangkan lonceng di menara gedung dibunyikan sebanyak tiga kali 
selama proses pelaksanaan hukuman mati.


Prasasti Tugu, Prasasi Terpanjang di Masa Tarumanegara


Jika Anda berkunjung ke ruang pamer koleksi klasik (sejarah) di Museum Sejarah Jakarta, maka Anda akan menemui berbagai macam batu prasasti yang menempati dua ruangan tak terlalu besar, di museum tersebut. Ruangan ini, terletak di lantai satu, atau berdekatan dengan ruang koleksi penyimpanan benda-benda prasejarah Jakarta.

Terdapat beberapa prasasti yang dipajang pada dua ruangan yang bersebelahan itu. Diantaranya adalah Prasasti Tugu, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Munjul, Patung Wisnu Cibuaya 1 dan 2 serta Tugu Padrao. Semua koleksi ini, adalah benda-benda yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Jakarta pada masa-masa tertentu. 

Dalam pandangan saya, ada satu prasasti yang begitu menarik perhatian. Selain karena bentuknya, juga terpenting adalah sejarah yang terkandung dalam prasasti yang dipahatkan pada batu utuh berbentuk bulat telur berukuran 1 meter itu. 

Prasasti Tugu, dari berbagai sumber yang saya peroleh, ditemukan pada tahun 1878 di wilayah yang kini bernama Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Pada tahun 1911. Pada perkembangan selanjutnya, atas prakarsa P.de Roo de la Faille Prasasti Tugu Batu dipindahkan ke Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) hingga selanjutnya menjadi koleksi Museum Sejarah Jakarta.

Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sansekerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari lima baris melingkari mengikuti bentuk permukaan batu. 

Prasasti Tugu tidak mencantumkan pertanggalan. Kronologisnya didasarkan pada analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 masehi. Prasasti Tugu dan Prasasti  Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara. Atas dasar ini, sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha dan Citralekha) kedua prasasti ini adalah orang yang sama.

Dibandingkan dengan prasasti-prasasti dari masa Tarumanegara lainnya, prasasti Tugu merupakan prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan Sri Maharaja Purnawarman. Prasasti ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Purnnawarmman pada tahun ke-22 sehubungan dengan peristiwa peresmian (selesai dibangunnya) saluran Gomati dan Candrabhaga).

Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yang pada ujungnya dilengkapi dengan semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.

Adanya Prasasti Tugu ini, semakin menguatkan keyakinan bahwa pada masa dulu, Jakarta yang saat ini menjadi kota terbesar di Indonesia, merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Selain Kerajaan Tarumanegara sendiri, dijelaskan pula bahwa Kerajaan Sunda pernah berjaya di Jakarta pada masa dulu.

Pakaian Adat Betawi, Perpaduan Unsur Arab dan China




Lazimnya suku-suku lain di Indonesia yang mempunyai pakaian adat masing-masing, begitu pula dengan Betawi. Beberapa busana khas Betawi bisa kita saksikan pada setiap even-even budaya Betawi di Jakarta maupun pada saat acara pesta pernikahan adat Betawi.

Namun, jika Anda ingin mengenal dan lebih dekat dengan pakaian adat dari Betawi ini, tanpa harus menunggu ada even budaya Betawi atau pernikahan orang Betawi, Anda bisa bisa berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta atau yang kerap disebut sebagai Museum Fatahillah. Di tempat ini, disajikan beberapa contoh busana Betawi sekaligus kita bisa mendapatkan penjelasan yang jelas, baik dari keterangan tertulis dari pengelola museum maupun dari penjelasan guide di sana.

Ketika berada di ruang pamer etnografi Betawi, berbagai macam koleksi seni Betawi, bisa kita saksikan, termasuk busana khas masyarakat Betawi yang nampak mentereng di dalam salah satu lemari kaca di ruangan yang cukup gelap ini.

Pakaian adat Betawi merupakan unsur perpaduan beragam etnik. Yang paling menonjol, adalah etnik Arab dan China. Pakaian Betawi sendiri banyak ragamnya. Ada pakaian sehari-hari, adapula pakaian resmi. Pakaian sehari-hari lelaki Betawi biasanya baju koko atau Sadariah, celana batik, kain pelekat dan peci. Sementara pakaian sehari-hari perempuan berupa baju kurung berlengan pendek, kadang-kadang bersaku di depannya, kain batik sarung. Ada yang berkerudung dan adapula yang tidak, terutama orang pinggiran.

Pakaian yang disebut ujung serong biasa dipakai oleh bapak-bapak berupa jas tertutup dengan celana pantalon. Kain batik dikenakan di sekitar pinggang dengan ujungnya serong di atas lutut, dan selipan pisau raut. Aksesoris kuku macam dan jam saku rantai. Tutup kepala berupa liskol atau kopiah dan alas kaki sepatu pantopel. Ini merupakan pakaian demang di zaman dahulu yang kini menjadi pakaian resmi adat Betawi.

Pakaian ‘abang Jakarte’ juga kurang lebih  seperti itu. Sementara pakaian ‘none Jakarte’ adalah kebaya panjang berenda (kabaya encim), kain batik corak jelampang Pekalongan, bersanggul tidak terlalu besar dan diberi hiasan tusuk konde, melati atau cempaka putih.

Sedangkan untuk pakaian pengantin Betawi telah mendapat pengaruh dari Arab, Cina, Eropa dan Melayu. Pakaian pengantin laki-laki biasa disebut ‘dandanan care haji’ berupa jubah dan tutup kepala atau sorban yang dalam bahasa lain disebut alpie.

Sementara pakaian pengantin perempuan biasa disebut ‘rias besar dandanan care none pengantin cine’. Pengaruh Cina sangat menonjol pada model, nama kelengkapan dan motif hiasannya. Bajunya model blus Shanghai bahan saten atau kerap disebut dengan lame berwarna cerah. Untuk baju bawah atau rok disebut ‘kun’ dengan bentuk melebar ke bawah dengan motif hiasan burung dari mute atau manik dan benang emas.


Mengenal ‘Betawi’ di Museum Fatahillah


Idris (22), seorang pengunjung, dengan seksama tengah mengamati sebuah lemari yang menampilkan beberapa koleksi budaya Betawi. Ia terlihat sibuk mengamati benda-benda itu, membaca keterangan yang ada di lebel dan tak ketinggalan ia meminta kepada teman-temannya untuk memotret dirinya dengan baground alat musik Betawi.

Koleksi etnografi Betawi, menempati lantai satu Museum Sejarah Jakarta, merupakan salah satu unggulan yang ditawarkan oleh MuseumSejarah Jakarta. Pada ruangan ini, dipamerkan banyak hasil seni serta budaya asli masyarakat Betawi, dari alat musik, pakaian adat dan sebagainya. Jika ingin lebih ringkas mengetahui serta mengenal sejarah Betawi, warga Jakarta disarankan untuk mengunjungi tempat ini.

Betawi sendiri, merupakan sebutan bagi penduduk pribumi yang mendiami kota Jakarta (dulunya bernama Batavia). Kata Betawi sendiri, diyakini oleh banyak ahli berasal dari Batavia yang diucapkan menjadi Betawi oleh penduduk lokal.

Hingga kini, masih terjadi perdebatan tentang asal-usul suku Betawi. Ada yang menyebut suku Betawi berasal dari para budak yang didatangkan ke Batavia oleh Belanda. Para budak itu berasal dari beragam etnis sehingga budaya yang dihasilkan merupakan perpaduan antaretnis. Juga ada yang bilang, suku Betawi merupakan suku asli (berasal dari Kerajaan Sunda).

Terlepas dari perdebatan itu, yang pasti, kota Jakarta dan sekitarnya sudah dihuni manusia sejak ribuan tahun silam. Jejak arkeologi yang berasal dari masa prasejarah begitu banyak ditemukan, utamanya di sekitar aliran sungai Ciliwung.

Nama Djakarta Ternyata Diberikan Oleh Jepang


Di dekat pintu masuk, atau lebih tepatnya setelah melewati tangga menuju ke lantai dua, ada sebuah ruangan yang menjelaskan perkembangans sejarah Jakarta dari masa ke masa. Di ruangan ini, dipamerkan beragam foto moda transportasi dan para gubernur yang pernah menjabat di DKI Jakarta.

Diperagakan pula becak yang sempat menjadi sarana transportasi warga Jakarta selama puluhan tahun, namun dihapuskan pada dekade tahun 1980an.

Yang lebih penting dari itu, pada ruangan ini kita bisa mengerti banyak sejarah mengenai perjalanan Kota Jakarta sendiri, khususnya dari sistem pemerintahan yang dianut. Dulu, sebelum menjadi Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur, Jakarta masih dipimpin oleh seorang Walikota.

Pada Januari 1926, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaruan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di pulau Jawa, dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara). Provinsi Jawa Barat dibagi dalam lima karisedenan yakni Banten, Batavia, Buitenzong (Bogor), Priangan dan Cirebon.

Sebelum ditetapkan menjadi daerah tingkat satu, Jakarta merupakan Kotapraja di bawah pimpinan Walikota. Nama Jakarta (Djakarta) sendiri resmi digunakan pada 1942 untuk menggantikan Batavia yang sudah digunakan lebih dari 323 tahun (1619-1942). Penggantian nama ini dilakukan oleh Jepang sebagai upaya meraih simpati penduduk.

Khusus untuk pemberian nama Djakarta oleh Jepang, mungkin hal ini belum banyak diketahui oleh masyarakat banyak. Dan langkah Jepang untuk menarik simpati masyarakat pun nampaknya berhasil.Sejarah telah mencatat, sejak digulirkannya nama itu, nama Djakarta mulai familiar di kalangan masyarakat, baik untuk penduduk Batavia sendiri maupun penduduk dari daerah lain.
Pada tahun 1950, status Kota Djakarta ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu yang dipimpin oleh Gubernur. Pada 1961, status Jakarta kembali dirubah dari daerah tingkat satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI). Nama iniah yang hingga kini masih dipergunakan.

Sejarah perkembangan Jakarta memang sangat panjang, lengkap dengan kisah maupun tragedi-tragedi yang melingkupinya. Jika Anda ingin tahu lebih banyak mengenai sejarah Jakarta, sempatkan waktu untuk datang ke Museum Sejarah Jakarta.
https://ssl.gstatic.com/ui/v1/icons/mail/images/cleardot.gif

Napak Tilas Penjara Bawah Tanah Museum Fatahillah



Selain sebagai pusat pemerintahan atau balaikota, gedung Museum Sejarah Jakarta dahulu juga berfungsi sebagai penjara. Dewan Pengadilan maupun Dewan Kotapraja mempunyai penjara sendiri-sendiri. 

Penjara yang berada di bawah wewenang Dewan Keadilan berada di bagian timur gedung (sekarang menjadi kantor Kota Tua) dan dipakai untuk tahanan VOC. Sedangkan penjara yang berada di bawah wewenang Kotapraja berada di bagian barat dekat dengan Jalan Pintu Besar Utara dan dipakai untuk tahanan warga kota Batavia yang bukan pegawai VOC. Halaman belakang dan gedung samping juga dipakai untuk penjara dan rumah warga.

Selain ruang penjara tersebut, ada juga ruang penjara Dewan Kotapraja yang kerap dinamakan sebagai lubang gelap juga lima buah sel yang berada di bagian belakang bangunan atau lebih kita kenal sebagai penjara bawah tanah.

Ketika saya mencoba menengok penjara bawah tanah yang ada di gedung Museum Sejarah Jakarta, keadaan penjara-penjara ini masih cukup baik dari segi bangunannya. Batu-batu bundar terlihat berserakan. Namun, ketika masuk ke dalam sel ini, bau tak sedap begitu menyengat hidung. 

Sel-sel ini, selain menyimpan banyak cerita sejarah, banyak diperbincangkan orang karena menyimpan segudang cerita misteri. Dulunya, jumlah tahanan yang meringkuk di dalam penjara kerapkali melebihi kapasitas, hingga harus berdesak-desakan. Dikisahkan, sebanyak 300 orang lebih menghuni penjara ini. Bisa dibayangkan, bagaimana kehidupan di dalam penjara yang sempit itu dan hanya setinggi kurang lebih 160 cm itu, ketika diisi oleh lebih dari 300 orang.

Dalam penjelasan sejarah yang kami dapatkan, tahanan yang meringkuk dalam sel-sel ini bukanlah orang-orang yang sudah diadili, melainkan mereka yang menunggu proses pengadilan. Pada abad 17 dan 18, ada beberapa bentuk hukuman, yakni hukuman mati, hukuman siksa, dirantai, kerja paksa, hukuman denda dan hukuman pengasingan. Tetapi, sampai abad 19 tidak ada hukuman penjara.

Yang tinggal lama di penjara hanya dua kelompok, yakni para budak yang dikirim oleh majikan mereka karena pelanggaran yang seringkali bersifat sepele dan orang-orang yang disandera karena belum melunasi hutang-hutangnya dan memilih tinggal di penjara. Dengan membayar kepada sipir, kondisi mereka di dalam penjara tidak terlalu buruk.

Karena kondisi kesehatan penjara ini sangat buruk, banyak tahanan yang sudah meninggal sebelum perkara mereka diajukan ke meja hijau. Sebagian besar meninggal lantaran menderita tifus, kolera dan desentri. Penjara ini sendiri ditutup pada tahun 1846, lalu dipindahkan ke sebelah timur, yakni di Jalan Hayam Wuruk.

Sisi lain mengenai cerita tentang penjara bawah tanah ini, bahwa digedung yang dulunya merupakan balaikota (Staadhuis) itu pernah ditawan beberapa pahlawan nasional, antara lain Pangeran Diponegoro, sebelum dibuang ke Makassar dan Cut Nyak Dien pahlawan wanita yang berasal dari Daerah Istimewa Aceh. Selain itu pula orang Cina dan bahkan orang Belanda yang melawan pemerintah.


Pandangan Saya Tentang Museum Sejarah Jakarta


Selama hampir sepekan saya mencoba membaca Museum Sejarah Jakarta. Dalam waktu tersebut, banyak hal yang telah saya pelajari dan saya kupas baik dari koleksi museum, keadaan museum serta lingkungan di sekitar Museum Sejarah Jakarta.

Dari hasil pengamatan, ada beberapa catatan yang kami peroleh pada penjelajahan kali ini. Catatan ini, dimaksudkan sebagai saran yang membangun kepada pengelola museum serta kepada pemerintah daerah DKI Jakarta agar keberadaan museum-museum di Jakarta pada khususnya bisa berlangsung dengan baik.

Untuk pengelolaan koleksi museum, saya rasa ini menjadi hal yang paling krusial yang harus segera mendapat perhatian dari manajemen atau pengelola. Pasalnya, banyak sekali koleksi museum yang tanpa keterangan. Selain itu, koleksi-koleksi, baik koleksi mebel maupun koleksi yang berada di dalam lemari etalase, keadaannya sangat memprihatinkan, berdebu, dan sebagian koleksi bahkan terkesan hanya diletakkan begitu saja. Hal ini, tentu saja, bisa membahayakan koleksi yang menyimpan sejarah panjang tersebut, mengingat para pengunjung bisa dengan leluasa memegang atau berfoto-foto pada koleksi tersebut.

Pemandangan yang lebih miris bisa kita saksikan pada koleksi meriam yang ada di luar gedung. Benda-benda bersejarah itu, justru terkesan dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya untuk melindungi koleksi bersejarah itu. Dalam pengamatan kami selama beberapa hari, banyak sekali pengunjung, khususnya para pengunjung Taman Fatahillah menaiki meriam-meriam tersebut bak kuda lumping, hanya untuk berfoto. Ini, jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan merusak koleksi. Sisi negatif lain yang muncul, adalah pandangan turis mancanegara yang hadir di Museum Sejarah Jakarta. Mereka mungkin akan berpikir, “Semurah inikah Indonesia menghargai koleksi sejarah?”

Yang tak kalah miris, yakni adanya bau-bau tak sedap (bau pesing) pada dinding luar museum. Seolah, dinding-dinding museum yang kental dengan nuansa historis ini bak WC umum saja. Entah siapa yang kerap buang air kecil di situ, tapi ini jelas menggangu kenyamanan pengunjung lain. Bahkan, beberapa pengunjung yang kami temui mengaku sangat risih dan terganggu dengan bau pesing tersebut.

Barangkali perlu dilakukan upaya untuk konservasi kawasan ini, khususnya renovasi di beberapa ruangan pamer Museum Sejarah Jakarta. Saat ini, setidaknya, tidak bisa ditampik bahwa sejumlah ruangan di Museum Sejarah Jakarta  terkesan kumuh dan gelap. Penataan koleksi juga kami rasa masih perlu diperbaiki lagi, agar menjaga sisi estetika serta membuat para pengunjung menjadi lebih nyaman. Faktor pencahayaan juga kami nilai masih kurang.

Kebersihan lingkungan museum juga perlu diperhatikan, khususnya area yang berada di depan museum, dekat pintu masuk. Seperti diketahui bersama, pada jam-jam sore, area ini menjadi lapak bagi beberapa padagang untuk berjualan, selain puluhan pedagang yang memadati Taman Fatahillah. Juga, di jam-jam sore sampai tengah malam bahkan menjelang pagi, tempat ini digunakan oleh kelompok pengamen sebagai tempat berkumpul.

Tentu saja, harus dilakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dalam hal ini, dalam rangka mencari jalan keluar bersama agar areamuseum kebanggaan warga Jakarta khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, benar-benar menjadi tempat wisata sejarah yang nyaman, aman dan bersih.

Museum Sejarah Jakarta, sebagai cermin yang mampu mengantarkan masyarakat ke masa-masa perkembangan Jakarta dari masa ke masa, juga sepatutnya mampu menjadi tempat yang lebih mampu memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang arti pentingnya sebuah pelajaran sejarah maupun budaya. Menurut kami, hal ini bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti misalnya dengan mengemasmuseum selain menjadi tempat pendidikan sejarah dan budaya, juga bisa menjadi tempat yang menghibur. Dalam hal ini, perlu diperhatikan juga sisi edutainment bagi para pengunjung, khususnya para pelajar, agar mereka tak bosan berkunjung ke museum. (Feryanto Hadi)

0 Responses

Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini