Nostalgia Masa Kecil di Museum Layang-Layang

Feryanto Hadi



Berkunjung  ke museum yang menyajikan koleksi sejarah dan budaya mungkin sudah menjadi hal biasa buat kita. Apalagi ke museum yang memamerkan kemajuan teknologi. Tapi bagaimana jadinya jika museum yang kita kunjungi menyajikan koleksi layang-layang, sebuah permainan yang mungkin menjadi bagian dari masa kecil kita? begitulah yang kira-kira saya rasakan ketika berkunjung ke museum ini seorang diri, belum lama ini 

Jika penasaran atau mungkin ingin bernostalgia dengan masa kecil, maka cobalah untuk berkunjung ke Museum Layang-Layang yang terletak di Jalan H. Kamang No. 38 Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan. Di museum ini, terdapat beragam koleksi layang-layang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dari manca negara.

Letak museum ini yang berada di jalan kecil, menjadi salah satu kendala bagi masyarakat yang ingin datang ke museum tersebut. Jalan H. Kamang sendiri berada di jalan raya yang menghubungkan Pondok Labu dan Fatmawati. Jika Anda datang dari arah Fatmawati, jalan H.Kamang ini berada di sebelah SD Pondok Labu atau sebelum Sekolah Al Izhar Pondok Labu. Ikuti petunjuk arah di sisi kanan jalan, 500 meter kemudian Anda akan segera sampai di museum ini.

Jika ingin menikmati koleksi layang-layang yang unik dan estetik, pengunjung di atas 3 tahun dikenakan tiket masuk sebesar Rp. 10.000. Mungkin Anda berpikir, harga tersebut kok lebih mahal dibandingkan jika masuk ke museum lain? Memang benar adanya. Hal ini disebabkan karena Museum Layang-Layang merupakan museum swasta, yang tentunya tidak mendapat subsidi dari pemerintah. Tapi jangan kuatir, dengan Rp. 10.000 kita akan mendapatkan berbagai fasilitas seperti menonton film di ruang audiovisual, touring museum serta belajar membuat layang-layang.

Sejarah

Museum Layang-Layang  tidak seperti museum lain yang berada di bawah dinas atau kementerian dan mendapat dana pengelolaan termasuk untuk menggaji karyawan. Museum ini, murni milik swasta dan dikelola oleh sebuah yayasan. 

Museum Layang-Layang  Indonesia didirikan oleh seorang pakar kecantikan yang menekuni dunia layang-layang sejak tahun 1985 dengan membentuk Merindo Kites & Galery yang bergerak di bidang layang-layang. Namanya Endang W. Puspoyo. Kecintaannya yang mendalam kepada layang-layang, beliau kemudian mendirikan Museum Layang-Layang Indonesia pada 21 Maret 2003 dengan tujuan untuk melestarikan budaya layang-layang tradisional yang unik dari setiap wilayah Indonesia. Sebelum menjadi museum, bangunan yang kini dipakai untuk museum adalah sebuah home industry yang memproduksi layang-layang yang banyak di-ekspor ke luar negeri.

Kiprahnya dalam mendirikan Museum Layang-Layang Indonesia ini, telah mendapat pengakuan dan penghargaan dari berbagai pihak, seperti penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk pemecahan rekor pemrakarsa dan penyelenggara pembuatan layang-layang berbentuk diamond terbesar pada 2011 serta penghargaan kepariwisataan Indonesia pada 2004, yang diberikan oleh I Gede Ardika selaku Menteri Kebudayaan dan Pariwisata saat itu.

Salah satu Manajemen museum, Nai R.  Aslamiah ketika saya temui di lokasi menjelaskan bahwa jumlah koleksi layang-layang dimuseum ini berjumlah 600, namun jumlah tersebut terus bertambah seiring datangnya koleksi-koleksi baru dari para pelayang daerah dan luar negeri maupun layang-layang yang dibuat sendiri oleh karyawan museum.

Koleksi layang-layang di museum ini, terdiri dari koleksi dalam negeri maupun koleksi dari manca negara, termasuk layang-layang tradisional dan modern. Mulai dari layang-layang berukuran dua centimeter, hingga yang berukuran besar. Bahkan, dalam museum ini terdapat beberapa koleksi layang-layang berukuran raksasa terbesar di tanah air seperti layang-layang ‘Megaray’ berukuran 9 X 26 meter yang dapat disewakan untuk kegiatan eksibisi.

“Fasilitas lain selain ruang pamer museum adalah ruang pemutaran audio visual, dimana di sana pengunjung bisa menyaksikan pemutaran festival layang-layang di berbagai daerah, teknik menerbangkan layang-layang, baik layang-layang kreasi, olahraga maupun layang-layang tradisional,” jelas Nai

Selain itu, imbuh Nai, di komplek museum juga terdapat ruang pamer batik, yang dimana batik-batik itu adalah koleksi pribadi milik pendirimuseum, Endang W. Puspoyo.  Juga tedapat beberapa fasilitas lain seperti mushola, kantin serta rumah budaya yang kerap menjadi tempat pembuatan layang-layang berbagai jenis.

Mandiri Di Tengah Tantangan Besar

Hiruk pikuk teriakan para bocah pecah, ketika kami masuk ke lingkungan Museum Layang-Layang Indonesia, Selasa (20/11) siang. Puluhan bocah itu ternyata adalah siswa kelas II SDK IPEKA Puri Jakarta Barat yang sedang melakukan studi lapangan. Anak-anak itu nampaknya sedang asik melukis layang-layang, di salah satu taman lingkungan museum. Mereka nampak riang, menikmati, dan tak henti-hentinya ber-ekspresi menggores layang-layang dengan cat warna-warni.

“Inilah yang menjadi salah satu kekuatan kami, pemasukan-pemasukan dari kunjungan seperti ini,” ujar Nai R.  Aslamiah salah satu manajemen Museum Layang-Layang Indonesia ketika saya jumpai di tengah kesibukannya melayani anak-anak itu. 

“Ini sudah menjadi resiko kami sebagai museum swasta, yang tidak mendapatkan dana dari pemerintah. Kita harus bekerja keras untuk bisa mandiri, untuk menggaji 23 karyawan serta untuk biaya pengelolaan museum,” imbuh dia.

Meski tiket masuk tergolong lebih tinggi dibanding dengan museum-museum ‘negeri’, yakni Rp. 10.000 per orang, namun diakui Nai pemasukan dari tiket saja tidak bisa diandalkan untuk menutupi kebutuhan yang dibutuhkan museum.

“Tapi sejak tahun 2007 pengunjung mulai bertambah, seiring banyak masyarakat yang tahu museum ini.  Di hari libur, sampai saat ini, jumlah pengunjung bisa mencapai 300 orang per hari.  Dan kalau lagi high session, jumlah pengunjung sebulan bisa mencapai 7000 orang. Tapi kalau di rata-rata per-harinya 75 orang. Dan kita juga sering mengadakan pelatihan-pelatihan di luar dan sering juga digandeng oleh perusahaan untuk mengisi acara. Itulah yang membuat sampai saat ini kita masih eksis, kita mencoba untuk mandiri,” terang Nai 


Cerita dan Mitos Yang Menyertainya

Masuk ke bangunan utama Museum Layang-Layang Indonesia, kita akan segera disajikan oleh pemandangan yang menarik. Bayangkan, di ruang yang tidak terlalu besar ini, beragam layang-layang dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara, menghiasi seluruh bagian ruangan. 

Dua layangan 3 Dimensi besar menjadi penyambut bagi para pengunjung. Salah satu layang-layang berukuran besar itu bernama Janggan, berasal dari Bali. Layangan ini barangkali menjadi salah satu koleksi yang paling menarik. Bayangkan, selain bentuknya yang unik, layangan ini memiliki panjang ekor lebih dari 100 meter yang membuatnya gagah saat dia menembus angkasa. Kepala naga yang menjadi bagian teratas dari layangan, jika sedang berada di angkasa, seolah hidup dan menari. Dari informasi yang kami dapat, banyak perlakuan khusus yang diperlukan untuk kepala naga pada layang-layang Janggan ini. Layang-layang ini, oleh masyarakat Bali, disimpan di dalam Pura, ketika tidak digunakan berlayang, dan baru dikeluarkan saat akan dilakukan upacara pensucian layangan akan dimulai, tepatnya dua hari menjelang pesta layang-layang Bali.

Layang-layang lain yang berada di dalam ruangan ini adalah Len Bulenan, berasal dari Madura. Len Bulenan, dalam bahasa Madura berarti bulan. Layang-layang ini, rangkanya terbuat dari bamboo dan bahan pembungkusnya terbuat dari plastik berwarna putih. Bentuk layangan ini terdiri dari bentuk purnama dan bulan sabit. Umumnya, layangan ini dipasang juga alat bunyi yang dapat mengeluarkan suara saat terbang, seperti layangan tradisional Indonesia yang lain.

Layang-layang Koangan dari Jakarta menjadi koleksi menarik lain di museum ini.  Layang-layang  tradisional yang rangkanya terbuat dari bambu yang diraut ini memiliki bentuk yang cukup sederhana. Badan layangan dibungkus dengan kertas minyak. Selain itu, layang-layang ini juga dilengkapi dengan bunyi-bunyian yang merdu sehingga dikenal sebagai layang-layang koang atau koangan. Sedangkan warna-warna pada layangan ini tidak mempunyai arti khusus, hanya saja biasanya banyak layang-layang ini diberi hiasan ornament jika diperlombakan pada acara-acara khusus.

Cerita lain tentang layang-layang

Layang-layang yang menjadi koleksi di Museum Layang-Layang Indonesia, tidak hanya menarik dari sisi bentuknya saja. Namun, cerita di balik layang-layang itu yang membuat layang-layang itu menjadi lebih istimewa.
 Beberapa koleksi layang-layang di sini, mempunyai catatan mitos tersendiri, sesuai dari asal layangan tersebut. Bahkan, di beberapa tempat, layang-layang dianggap sebagai benda magis. Seperti layang-layang yang berasal dari Jawa, misalnya. Di Jawa, ada layang-layang yang digunakan untuk mengusir serangga dan burung liar di ladang sawah.  Misalnya saja layang-layang tradisional Pepetengan yang berasal dari Jawa Barat.  Layang-layang ini, oleh sebagian masyarakat Jawa Barat, difungsikan juga untuk menjaga sawah mereka. Melalui bunyi dan motif hiasan di dalamnya, Pepetengan diterbangkan berhari-hari untuk menghalau burung yang mengganggu padi.
Di Bali, cerita tentang layang-layang juga tak kalah menarik. Masyarakat Bali, masih kerap menggunakan layang-layang untuk melindungi singgasana para dewa. Dewa Layang-layang di Bali adalah Rare Angon. Dewa itu selalu diberi sesaji dan disembah sebelum layang-layang diterbangkan. Layang-layang yang telah disucikan itu merupakan benda sakral dan disyaratkan tidak boleh menyentuh tanah. Bila hal itu tidak diindahkan, konon akan terjadi kemalangan.
Cerita unik lain berasal dari daerah di Sumatera Barat, dimana sebagian masyarakat masih percaya pada layang-layang bertuah yang bisa memikat anak gadis. Layang-layang ini, bernama dangung-dangung.
Di Jawa Barat, Lampung, dan beberapa tempat di Indonesia ditemukan layang-layang yang dipakai sebagai alat bantu memancing. Layang-layang ini terbuat dari anyaman daun sejenis anggrek tertentu, dan dihubungkan dengan mata kail. Di Pangandaran dan beberapa tempat lain, layang-layang dipasangi jerat untuk menangkap kalong atau kelelawar. Sedangkan di Kalimantan Selatan, layang-layang Dandang dipercaya bisa menjadi berkah bagi masyarakat Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Di beberapa daerah lain, layang-layang dimainkan sebagai bagian dari ritual tertentu. Biasanya terkait dengan proses budidaya pertanian.
Tentunya masih banyak koleksi layang-layang lain yang ada di Museum layang-Layang Indonesia, baik layang-layang dari dalam negeri maupun dari mancanegara. Masing-masing layang-layang, memiliki cirri khas dalam bentuknya maupun cerita yang mengiringinya. 


Layang-Layang Kreasi Hiasi Koleksi Museum Layang-Layang Indonesia 



Bangunan Museum Layang-Layang, cukup unik. Pada bagian depan museum, sebuah bangunan joglo membuat kami merasakan sensasi berbeda, seperti tidak berada di sebuah museum, melainkan di rumah tinggal biasa. Apalagi, lingkungan di komplek museum cukup teduh, dengan banyaknya pepohonan rindang yang ada di sana. 

Beberapa karyawan nampak sedang menjemur layang-layang di sebuah bagian halaman. Kata seorang pegawai, layang-layang itu adalah hasil kreasi para anak sekolah yang melakukan studi ke museum tersebut, dengan salah satu kegiatannya adalah melukis layang-layang.

Langit di atas museum yang beralamat di Jalan H. Kamang No. 38 Pondok labu, Cilandak, Jakarta Selatan, pada Rabu (21/11) siang itu, masih nampak mendung. Kami sendiri, setelah melihat layang-layang kreasi para siswa itu, segera naik di bangunan joglo, bagian depanmuseum. Di sini, ada peraturan bahwa alas kaki harus dilepas.

Di bangunan joglo itu, beberapa koleksi layang-layang unggulan Museum Layang-Layang Indonesia bisa kita saksikan. Kebanyakan, adalah layang-layang kreasi, yang pernah mengikuti festival di beberapa kota bahkan ke mancanegara. 

Salah satu layang-layang yang mencolok berbentuk naga, dengan ekornya yang menjulur panjang. Kemudian ada layang-layang berbentuk serangga dengan ukuran besar pula. Selain itu, di tempat ini juga ada beberapa layangan lain yang berukuran besar seperti layang-layang 3 Dimensi berbentuk kereta kuda, layang-layang Pegasus dan yang unik adalah layang-layang 3 Dimensi yang berbentuk orang sedang bersepeda. 

Menurut Nai R.  Aslamiah, salah satu manajemen Museum Layang-Layang Indonesia, layang-layang kreasi ini sebagian dibeli dari para pelayang saat ada pelaksanaan festival di beberapa daerah. Harganya, ternyata cukup mahal, antara 30-50 juta.

Perjalanan kami belum selesai, di dalam bangunan utama museum, konon banyak tersimpan layang-layang unik yang lain, khususnya layang-layang yang mengandung unsur mitos, berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri


Layang-Layang Kaghati  Dari Sulawesi Selatan Yang Penuh Mitos



Salah satu koleksi Museum Layang-Layang Indonesia yang cukup unik adalah layang-layang yang berasal dari Muna, Sulawesi Selatan. Namanya, Kaghati. Sampai saat ini, layang-layang tradisional ini masih begitu digemari dan dilestarikan masyarakat Muna karena di samping sebagai hiburan sebelum dan sesudah masa panen, namun layangan ini memiliki latar belakang yang cukup sacral dan keyakinan mendalam bagi masyarakat tradisional Muna jaman dulu serta mempunyai nilai ritual tersendiri berikut penjelasan dari nara sumber tentang cerita rakyat turun temurun yang tidak tertuliskan dalam catatan buku.

Sesuai cerita yang ada secara turun temurun, masyarakat, terutama yang mendiami pulau Muna ada dua kelompok. Pertama, yang tinggal di dalam gua dan kelompok kedua yang tinggal di atas pohon. Kelompok masyarakat yang tinggal di gua-gua dipimpin oleh seorang kepala kelompok yang bernama Lapasindaedaeno dengan istrinya bernama Wa Ntiwose, merasa mempunyai anak laki-laki yang bersama La Rangku.

Pada saat itu, kedua kelompok masyarakat ini hidup bersamaan dan tidak pernah terjadi pertengkaran di antara mereka. Mereka belum mengenal pakaian dan api, makanannya hanya binatang-binatang buruan seperti  babi hutan, biawak, ular dan lain-lain. Mereka juga memakan makanan yang serba mentah.

Pada suatu ketika, istri ketua kelompok yang tinggal di gua-gua  berkata kepada suaminya bahwa ia ingin makanan yang bukan hanya dari binatang dari hasil buruan hutan, melainkan ingin menggantinya dengan tumbuh-tumbuhan. Mendengar ucapan istrinya tersebut, Lapasindaedaeno atau kepala kelompok masyarakat gua pergi untuk bermeditasi. Beberapa hari kemudian, selesailah meditasinya dan dia mendapat petunjuk yakni harus mengorbankan jasad anak laki-laki mereka, kemudian jasadnya dibagi menjadi empat dan dikuburkan di empat penjuru di tengah hutan. 

Petunjuk tersebut dilaksanakan oleh kepala kelompok masyarakat gua. Empat puluh hari kemudian, di panggillah istrinya untuk  masuk ke dalam hutan dan setelah tiba di tempat di mana anak mereka dikuburkan jasadnya, mereka melihat tumbuhan menjalar berupa umbi-umbian termasuk ‘Kolope’ (gandung). Dengan melihat tumbuhan tersebut, maka gembiralah hati sang istri dan sang suami berkata bahwa sesungguhnya itulah anak laki-laki mereka.

Ingin menjangkau Matahari dengan layang-layang

Masyarakat pada waktu itu hanya bersenang-senang pada waktu siang hari karena terdapat matahari, tapi bila pada malam hari mereka sangatlah susah dan sedih, sehingga mereka berkeyakinan bahwa mataharilah yang membuat mereka bisa hidup.

Selanjutnya, kepala kelompok masyarakat gua bermeditasi lagi guna mendapatkan petunjuk untuk kelanjutan hidup masyarakat yang dipimpinnya. Dalam perjalannya dia melihat angin yang sangat kencang bertiup dan membuat daun-daun gandung beterbangan di langit. Sejak saat itu, ia merenung kemudian mendapatkan petunjuk untuk naik ke matahari, sehingga dia menggerakkan seluruh masyarakatnya untuk memetik daun gandung dan membuat tali sepanjang-panjangnya.

Daun gandung tersebut disusun di atas rangkaian bambu yang sudah diraut dan dibuatkan layang-layang seperti model segi empat, lalu diikat dengan tali dan diterbangkan secara beramai-ramai. Setelah layang-layang sudah terbang, mereka bersorak gembira dan masing-masing berpegang di tali layang-layang agar mereka dapat terbang ke langit dan sampai ke matahari.

Tetapi niat tersebut tidak mungkin tercapai hingga pada akhirnya mereka putus asa, namun mereka tetap yakin bahwa layang-layang merupakan sarana penolong mereka dan memayungi mereka agar tidak terkena sengatan matahari di hari kemudian setelah mereka meninggal dunia. Keyakinan ini masih dianut oleh masyarakat hingga sekarang ini. Sehingga, setiap petani membuat layang-layang dan layang-layang tersebut bukan hanya suatu benda untuk bermain api, ada nilai-nilai tersendiri yang sangat sacral terutama pasca upacara-upacara sesudah panen.

Layang-layang biasanya menjadi hiburan mereka yang dinaikkan sejak sore hari hingga pagi. Maka dibuatlah upacara dengan memutuskan tali layang-layang tersebut dengan niat bahwa seluruh halangan dan rintangan yang tidak baik atau kesialan segera terbawa oleh layang-layang yang telah putus itu disertai dengan sesajen berupa ketupat dan makanan-makanan lain yang digantung di tali layang-layang.

Fakta sejarah tentang keberadaan layang-layang di Muna yang telah menjadi polemik dunia yaitu dengan adanya lukisan orang bermain layang-layang yang ada di salah satu goa purbakala sesuai hasil penelitian Arkeologi Nasional tahun 1981, 1986, 1991:
Periodik: Epi – Paleotik (Mesolitik) atau zaman prasejarah peradaban manusia zaman batu. Lokasi goa ini terdapat sebuah tempat berjarak 8 km dari kota Raha, kemudian menempuh jalan raya pergeseran 5 km, selanjutnya tracking (jalan kaki) sejauh 4 km ke arah tenggar. Letak goa ini berada di atas bukit batu dengan kemiringan 90 derajat.

Layang-layang yang seidentik dengan Kaghati juga ada di Kepulauan pasifik yang dimiliki oleh suku Maori yang mereka sebut dengan Manu, sedang di Muna ada juga jenis layang-layang untuk mainan anak kecil yang disebut Kamanu-manu Kadao yang hanya terdiri dari satu helai daun ubi gandung.

Demikian mitos yang terdapat pada layang-layang Kaghati, hingga kemudian tersohor ke penjuru dunia.(Feryanto hadi)


2 Responses
  1. Anonim Says:

    Jl H Kamang Pondok Labu? Saya pernah beberapa kali lewat situ untuk menghindari macet, dulu sekian tahun lalu. Baru tahu ada museum layangan! Terima kasih info menariknya, semoga kapan-kapan bisa cek ke sana lagi :)


  2. Feryantohadi Says:

    selamat bernostalgia di museum layang-layang kakak.. banyak edukasi soal layang-layang juga di sana


Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini