Mengukir Senja Bersama Soe Hok Gie Dan Kenangannya di Museum Taman Prasasti



Feryanto Hadi


Perjalanan saya kali ini, Selasa (06/11) telah sampai pada Museum Taman Prasasti yang terletak di Jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat. 

Museum ini, mempunyai banyak perbedaan dengan museum-museum yang lain di Jakarta. Pasalnya, koleksi yang Museum Taman Prasasti bukanlah benda-benda yang biasa kita saksikan di museum, melainkan didalamnya hanya berisi makam khususnya orang-orang Belanda dan orang asing pada jaman pendudukan VOC dan Jepang di Indonesia. 

Tapi jangan salah, meski di dalamnya berisi ribuan kuburan kuno, namun tempat ini, sekarang, sudah didesain menjadi sebuah taman dan setiap hari ada saja masyarakat yang berkunjung ke sana untuk menyaksikan kuburan para pejabat maupun orang penting Belanda yang gugur di Batavia maupun di berbagai daerah di Indonesia, saat itu.

Meski namanya tidak begitu terkenal seperti Museum Sejarah Jakarta dan Museum Nasional, ternyata banyak juga masyarakat yang berkunjung ke Museum Taman Prasasti. Tidak hanya masyarakat lokal yang ingin melihat langsung pemakaman kuno  yang menyimpan banyak cerita sejarah tersebut, namun banyak wisatawan asing yang berkunjung ke Museum Taman Prasasti ini, terutama dari Belanda. 

Museum ini sangat unik, selain gedung utamanya bernuansa bangunan khas Belanda, nisan-nisan dan prasasti di dalamnya juga mempertontonkan pemandangan yang tidak ditemui di pemakaman lain di Jakarta, maupun di Indonesia. Terlebih banyak makam yang dibuatkan prasasti di atasnya atau dengan bentuk nisan yang menjulang tinggi, bahkan ada makam yang di atasnya terdapat seorang patung wanita yang sedang tertunduk, menyembunyikan wajahnya. Menurut cerita, makam ini kerap disebut Si Cantik Menangis, dimana patung perempuan itu digambarkan sedang menangisi suaminya yang bunuh diri karena terkena malaria. Waktu itu, malaria merupakan penyakit yang menakutkan dan kerap menyebabkan kematian.

Makam orang-orang Belanda yang dulunya sekitar 4.600 nisan kini hanya tersisa 1.242 nisan. Ini dikarenakan banyak jenazah yang sudah dipindahkan. Ada yang dikembalikan ke negaranya Belanda dan ada sebagian yang dimakamkan di makam umum Tanah Kusir. 

Tertarik berkunjung ke museum ini?

Berkunjung ke tempat ini bias ditempuh dengan menggunakan bus Transjakarta koridor I jurusan Blom M-Kota, turun di Halte Monas lalu ikuti jalan yang berada di samping Museum Nasiona menuju jalan Abdul Muis. Lalu berjalanlah menuju ke arah barat, letak museum ini berada persis di samping kantor Balai Bota Jakarta Pusat. Atau bisa juga ditempuh dengan menggunakan mikrolet M-08 jurusan Tanah Abang-Kota.

Yang perlu diketahui, Museum Taman Prasasti sebagai bukti sisa taman pemakanan umum dari akhir abad ke-18, dengan koleksi nisan makam abad ke-16 dan ke-17, sangat berharga sebagai tempat yang memberi kesaksian tentang komposisi penduduk Batavia yang berasal dari seluruh dunia, informasi tentang panjang pendeknya usia termasuk kematian banyak anak dan beragam bahasa yang digunakan di kota ini.

Mendobrak Mitos Museum Taman Prasasti


Berada di area depan bangunan Museum Taman Prasasti, segera akan muncul kesan bahwa bangunan tersebut adalah bekas peninggalan Belanda. Bentuk bangunan di depan komplek pemakaman tua ini adalah bangunan bergaya Doria, yang disediakan untuk menyemayamkan jenazah sebelum melalui upacara penguburan. Terdapat dua sayap di kiri dan kanan masing-masing untuk menempatkan jenazah pria dan wanita.

Terdapat sebuah pagar kayu berukuran besar sebagai akses keluar-masuk pemakaman ini. Bentuk dan gayanya pun masih khas Belanda, dengan jeruji kayu yang besar disertai dengan gembok yang besar pula. Dekat dengan pagar besar inilah petugas museum menjual tiket masuk.

Masuk ke area museum, kita akan melihat hamparan nisan yang berdiri tegak. Bentuknya pun macam-macam dan sudah pasti berbeda dengan nisan yang kerapkali kita temui di pemakaman pada umumnya. Semua nisan, memiliki keterangan yang menjelaskan mengenai nama, asal, tempat dan tanggal lahir, tempat dan tanggal meninggal dan banyak juga kuburan yang di atasnya di bangun sebuah prasasti yang menjelaskan sekilas mengenai orang yang dikubur di makam tersebut.
Nisan, pada masa itu, menjadi identitas mereka yang dikuburkan. Seperti halnya nisan yang ada di komplek pemakaman ini, pada setiap nisan dijelaskan mengenai identitas jenazah yang dimakamkan di bawahnya. Seperti misalnya nisan berbentuk buku ada di makam Direktur Stovia Dr HF Roll. Roll adalah orang yang mempertahankan Sutomo tetap bersekolah meskipun ada berbagai tekanan dari Pemerintah Belanda untuk menghentikan gerakan Boedi Oetomo yang digagas Sutomo.
Keberadan Museum Taman Prasasti di ruang terbuka ini memberikan peluang penataan koleksi prasasti dan taman menyatu dalam suatu taman museum yang indah. Untuk itu, perlu penataan ulang taman dan koleksi prasasti baik yang lama maupun yang baru, pembentukan zona, hirarki ruang, visual, pemilihan jenis tanaman dan penambahan elemen taman lainnya.

Di komplek museum ini, pengunjung bisa mempelajari latar belakang orang yang disebut pada nisan dan kaitannya dengan sejarah Kota Jakarta. Tentu saja, sebagian jenazah yang dikuburkan di sana bukanlah orang sembarangan, karena dulunya, komplek pemakaman ini dikhususkan untuk para pejabat atau hartawan Belanda yang ada di Batavia, sebelum akhirnya bisa digunakan untuk pemakaman orang umum yang bisa menyewanya.

Selain itu, area pemakaman juga ditumbuhi pepohonan yang rindang dan sejuk dan damai. Memang, selain fungsi preservasi nilai historik dari museum ini, juga terdapat fungsi sosial dan pelestarian alam, dimana taman yang luas ini difungsikan sebagai paru-paru kota dan juga fungsi sosial lainnya.


Mengukir Senja Bersama Soe Hok Gie Dan Kenangannya

Gerimis masih turun dari langit ketika  saya datang kembali ke Museum Taman Prasasti pada keesokan harinya atau Rabu (07/11). Pekatnya awan, membuat suasana di komplek kuburan tua ini menjadi begitu mencekam. Apalagi sore itu suasana sangat sepi, hanya nampak beberapa pekerja yang sedang melakukan renovasi saluran air dan memasang paving blok di beberapa blok makam ini. Dijelaskan oleh salah satu penjaga museum, renovasi ini adalah program dari Pemerintah Provinsi Jakarta melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Museum Sejarah Jakarta sebagai upaya untuk mempercantik dan pelestarian koleksi.

Hamparan nisan, patung-patung malaikat serta prasasti lain masih menemani sore kami. Mereka, para jenazah yang dimakamkan di sini, tentu pernah menjalani kehidupan mereka di Indonesia, khususnya di Batavia. Apalagi, dikabarkan, orang-orang yang dikuburkan di pemakaman ini merupakan sosok-sosok penting, seperti misalnya para pejabat VOC maupun orang-orang yang dianggap berjasa pada masa itu.

Namun, di antara ratusan makam yang ada di Museum Taman Prasasti, terdapat salah satu nama yang cukup menarik perhatian saya. Meski museum ini dikenal sebagai komplek pemakanan para pejabat VOC maupun hartawan Belanda yang meninggal di Indonesia, ternyata nama Soe Hoe Gie juga ada di sini.

Suasana kuburan masih sepi.  Kami  masih tetap terpaku di depan makam Gie, sapaan akrab Soe Hok Gie sembari mengenang tentang dia, tentang kiprahnya. Gie , lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942 dan meninggal di Gunung Semeru pada 16 Desember 196. Ia adalah salah seorang aktivis Indonesia, penyair muda .

Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius dan selanjutnya menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Cina. 

Makam Gie, terletak di bagian tengah agak ke belakang, di bawah sebuah pohon. Pada nisannya, tertulis 'Soe Hok Gie', 17 Desember 1942 - 16 Desember 1969. Di bawahnya lagi ada sebuah tulisan "Nobody knows the troubles. I see nobody knows my Sorrow."

Nama Gie begitu tenar di kalangan aktivis, bahkan di masyarakat luas. Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya, idealismenya . Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”
(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)

Perjalanan Gie berakhir ketika pada 15 Desember 1969, ia bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. 

Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut, ingin menciptakan cerita yang mengesankan untuk masa depan hidupnya. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong. (Feryanto hadi)

0 Responses

Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini