Di Sini Kemerdekaan Itu Berkumandang




PULUHAN anak-anak terlihat bermain bola, riang. Di beberapa sudut  tampak orang-orang berkumpul, ada yang berfoto dan adapula yang hanya sekadar bersantai. Para skateboarder juga nampak memainkan papan skateboard dengan lincah. Suasana di area Tugu Proklamasi yang terletak di Jalan Proklamasi 56, Jakarta Pusat, ramai. Kamis (29/11), saya merenung di sini, berkhidmad di depan dua buah patung, dua gambaran sosok yang punya arti penting bagi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari tempat inilah deklarasi kemerdekaan berkumandang, disambut riuh gembira rakyat. Dari sinilah Indonesia menjadi sebuah negara berdaulat. Dari tempat inilah tetes air mata keharuan bercucuran dari mata rakyat Indonesia. Kita merdeka, bung! 

Proklamasi yang dulu dilaksanakan di tempat ini, melalui proses yang cukup pendek, meski cita-cita kemerdekaan sudah ada sejak lama, sejak Belanda terus menggerus kedaulatan bangsa. Berawal dari menyerahnya Jepang atas Sekutu pada 15 Agustus 1945 akibat bom atom yang menggempur dua kota besar di Jepang, beberapa anak bangsa memanfaatkan moment ini untuk mendeklarasikan kemerdekaan. 

Apalagi, pihak Jepang sudah membuat Mou bahwa mereka ingin mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Beberapa gerakan dilakukan oleh para anak bangsa, salah satunya adalah peristiwa Rengasdengklok, dengan tujuan untuk mengamankan Sukarno dari pengaruh Jepang serta untuk meyakinkan dia bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. 

Sementara, di saat yang sama, di Jakarta, para golongan muda dan golongan tua, salah satunya adalah Mr. Ahmad Soebardjo, melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. 

Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia. 

Di rumah Laksamana Maeda ini, naskah proklamasi dirumuskan oleh Sukarno, M. Hatta dan A. Subardjo dan disetujui oleh para tokoh yang hadir. Setelah naskah proklamasi sudah dirumuskan dan ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta, di rumah Laksamana Maeda, pada Jumat menjelang subuh, 17 Agustus 1945, kemudian ada pembahasan untuk menentukan tempat. Sukarni mengatakan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan agar datang ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. 

Namun saran tersebut ditolak oleh Sukarno. Menurut Sukarno, dengan memobilisasi massa ke Lapangan IKADA, hal tersebut akan memancing terjadinya insiden, karena lapangan IKADA merupakan lapangan umum. Sukarno tidak ingin terjadi salah paham dengan para penguasa militer saat itu. Sukarno menyarankan agar pemabacaan proklamasi kemerdekaan dilakukan di depan rumahnya saja, di Jalan Pegangsaan Timur Nomer 56, pada pulul 10.00 pagi. Sebelum meninggalkan rumah Maeda, Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia. 

Sementara para tokoh lain bergerak, mempersiapkan pelaksanaan deklarasi kemerdekaan. Wakil Walikota Suwiryo meminta kepada Wilopo untu mempersiapkan pengeras suara. Sementara, Sudiro memerintahkan S.Suhud untuk mempersiapkan tiang bendera untuk mengibarkan bendera merah putih. Suhud menemukan bambu di belakang rumah Sukarno, membersihkannya, diberi tali, dan lalu ditanam beberapa langkah dari teras rumah. Ia tidak tahu kalau di depan rumah Sukarno ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. 

Sementara itu, bendera yang dijahit oleh Fatmawati, istri Sukarno, sudah disiapkan. Pagi itu, rumah Sukarno mendadak dipadati oleh para tokoh pejuang, sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berdatangan untuk menyaksikan peristiwa bersejarah pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Seiring waktu beranjak siang, para sudah tidak sabar dan mendesak agar Sukarno segera membacakan proklamasi kemerdekaan. 

Padahal, saat itu, Sukarno masih dalam kondisi tidak sehat. Sukarno ingin membacakan teks proklamasi, tapi dengan syarat, yakni M Hatta harus menyertainya. Sementara, saat itu, M. Hatta belum datang. Beberapa menit sebelum acara dimulai, akhirnya M. Hatta datang. Ia menggunakan setelan putih-putih dan menjemput Sukarno di kamarnya. Sukarno senang melihat kedatangan M. Hatta. Soekarno pun bangkit dari tempat tidurnya dan lalu mengenakan busana yang sama, seperti yang dikenakan oleh M. Hatta. 

Keduanya lalu menuju teras rumah, berada di depan massa yang sudah menunggu. Selanjutnya, detik-detik yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia itu dilaksanakan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Ir. Sukarno didampingi oleh Drs. Muhammad Hatta membacakan teks naskah Proklamasi yang sebelumnya telah diketik oleh Sayuti Melik. Dan Indonesia, Merdeka. Di lokasi pembacaan teks proklamasi itu, kini berdiri dua patung sosok proklamator, Sukarno dan M. Hatta. Dua patung itu, berdiri dengan tegak, meski setiap sore menjadi penonton anak-anak yang bermain sepakbola di pelataran depan patung, masyarakat yang berolahraga atau menghabiskan senja di sini. Dua patung ini, terkadang juga menjadi tempat aduan para demonstran yang prihatin dengan kondisi bangsa jaman sekarang. 

Di tengah dua patung proklamator, juga terdapat patung naskah proklamasi terbuat dari lempengan batu marmer hitam, dengan susunan dan bentuk tulisan mirip dengan naskah ketikan aslinya. Sementara, bangunan rumah Sukarno, telah dirobohkan sekitar tahun 1960. Banyak pihak yang menyayangkan perobohan rumah Sukarno. Padahal, rumah tersebut, menjadi salah satu saksi atas deklarasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Saat ini, sebuah tugu bernama Tugu Petir, menjadi tempat yang menunjukkan keberadaan rumah Bung Karno sebelum dirobohkan. Di sinilah proklamasi itu dulunya dikumandangkan. 

Gerimis yang turun pelan-pelan dari langit menjadi saksi perpisahan saya dengan dua patung proklamator bangsa itu. Tugu Proklamasi, seharusnya tempat ini menjadi tempat merenung untuk para anak bangsa yang lain, untuk para pemimpin di masa kini, agar selalu teringat bagaimana perihnya para pejuang bangsa dalam meraih kemerdekaan. Betapa besar pengorbanan yang mereka lakukan. Hanya untuk Indonesia. Hanya untuk kedaulatan tanah pertiwi. Dan inilah Tugu Proklamasi, sepenggal sejarah penting telah tercatat di sini

Label:
0 Responses

Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini