Jejak Kampung Janis


 Kebakaran hebat melanda sebuah perkampungan padat penduduk di daerah Tambora, Jakarta Barat 28 Juli 2012 silam. Saat itu api benar-benar mengamuk di sana. Sebanyak 197 rumah menjadi belantara puing. Dua balita berusia 3,5 dan 6 tahun meninggal. 1.114 jiwa kehilangan tempat tinggal.

 Namanya Kampung Janis. Sebuah perkampungan yang terdiri dari 20 RT, berada di wilayah RW 08 dan RW 09 Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Semenjak kebakaran besar itu, kini kehidupan di Kampung Janis sudah kembali normal.

Kampung ini seperti memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan perkampungan lain di Jakarta. Sebagian besar warga di sana merupakan kaum urban dari berbagai daerah. Mereka hidup berdampingan, membentuk komunitas kecil para perantau.

Samuti (43), tokoh masyarakat di RW 08 mengatakan,  keberadaan berbagai etnis di sana tidak lepas dari jarak kampung yang dekat dengan pusat perdagangan, misalnya Pasar Angke dan Pasar Pagi. “Para kaum pendatang sudah mulai menempati kampung ini sejak masa kolonial,” kata Samuti belum lama ini.

Dia kemudian berkisah, almarhum ayahnya, sudah bertempat tinggal di kampung itu sejak 1940. Saat itu, di kawasan Tambora dan Tamansari, geliat ekonomi sudah ramai. “Ayah saya datang ke sini bersama para tetangganya dari sebuah desa di Serang. Dulu mereka rata-rata bekerja sebagai kuli di perusahaan ekspedisi maupun toko-toko milik warga keturunan di daerah Jayakarta,” kisah Samuti.

Berdasarkan cerita dari sang ayah, Samuti menjelaskan bahwa pada tahun 1940an Kampung Janis masih berupa rawa dan semak belukar. Ayah Sumuti beserta rombongan urban dari Banten kemudian membangun gubug di sekitar rawa itu. “Namanya juga orang dulu, datang, asal main patok tanah saja. Sejak ada beberapa rumah berdiri, orang-orang semakin banyak yang datang dan membangun rumah di sini,” katanya.

Pasca-kemerdekaan, semakin banyak urban yang datang ke Kampung Janis. Mereka memanfaatkan tanah-tanah yang masih kosong di sana untuk membangun tempat tinggal. Pada tahun 1950an, dijelaskan Armi (73) salah satu sesepuh Kampung Janis, saat itu arus kedatangan orang dari berbagai daerah mulai banyak. “Entah darimana datangnya mereka, tapi banyak yang membangun gubug-gubug kecil sebagai tempat tinggal di tepi-tepi rawa atau empang. Karena kami juga merasa tidak memiliki tanah ini, dulu kami biarkan saja. Justru mereka kami jadikan tetangga,” kisah wanita asal Balaraja, Tangerang.

Armi sendiri mengaku datang pertama kali ke Kampung Janis sejak sebelum masa kemerdekaan. Ia diajak sang suami untuk bekerja di Jakarta dengan karena sulitnya mencari uang di desa asalnya. “Suami saya dulu dagang di Gang Kancil, dekat dengan Jembatan Lima. Dagangnya apa saja, dari kelapa, sayur, daun pisang,” jelasnya.

Puncak arus kedatangan pendatang dari luar ke Kampung Janis terjadi di awal 1980. Keramaian di Pasar dan Stasiun Angke menjadi penyebabnya. Saat itu semakin banyak pedagang dari luar daerah, khususnya Banten dan Jawa yang kemudian menetap di Kampung Janis. Semenjak itu pula tanah-tanah yang masih tersisa berubah menjadi deretan rumah. “Bahkan rawa dan empang diuruk, dibangun rumah,” imbuh Armi.

Seiring bertumbuhnya kehidupan sektor ekonomi di kawasan Tambora dan sekitarnya, kampung tersebut menjadi semakin padat seperti yang dijumpai saat ini. Hampir tidak ada lahan kosong. Rumah-rumah rapat. Tersisa gang-gang kecil sebagai ‘ruang publik’ dan akses para warganya.

Menurut pengurus RW, tiga etnis terbesar di sana adalah Jawa-Madura (30%), Sunda-Banten (30%), dan Cina (20%). Sisanya, warga dari beragam etnis seperti Bugis (5%), Betawi (10%), dan etnis lainnya.

 Sektor Informal
 Masuk ke kampung ini dari arah timur atau fly over Jalan Tubagus Angke, segera terlihat betapa kampung ini menjadi denyut nadinya kaum urban di Jakarta. Jalan selebar enam meter di tepian rel kereta api itu kini diberi nama Jalan Pekojan III. Deretan lapak pedagang seolah menjadi 'penyambut' orang yang datang ke Kampung Janis. Barang-barang seperti VCD/DVD, aksesoris sepeda motor, warung kopi, penjual mainan bahkan sampai barang bekas mewarnai lapak-lapak itu.

Melintasi jalan itu, selalu ditemukan kumpulan orang di beberapa titik. Pagi, siang atau malam, di beberapa lokasi seperti gardu, depan toko kelontong, warung kopi atau depan rumah warga lelaki berkumpul.

Ada yang bermain catur, saling bekelakar di warung kopi atau sekadar duduk-duduk di sekitar lapak penjual barang bekas. Pemuda-pemuda bertato juga kerap berseliweran di jalanan itu. Kadang mereka menenteng barang-barang bekas, baik elektronik maupun perkakas rumah.

Kondisi tidak jauh berbeda jika menelusuri gang-gang kecil di kampung itu, khususnya di kawasan RW 08. Hampir di setiap sisi kanan-kiri gang selebar satu hingga satu setengah meter itu banyak warga berkumpul. 

Entah apa yang mereka perbincangkan, tapi seperti itulah pemandangan sehari-hari di Kampung Janis.Sementara para orang tua berkumpul, anak-anak bermain dan berlarian. Beberapa perempuan juga terlihat mencuci baju atau perabotan di depan rumah. Pengendara sepeda motor harus ekstra hati-hati melewati gang kecil yang ramai ini.

Di gang-gang tersebut juga banyak didapati toko kelontong maupun penjual makanan yang menggelar dagangannya di meja kecil.

Bahkan, di jarak sekitar lima meter, beberapa warga berjualan jenis makanan yang sama. Tidak sedikit pula rumah-rumah warga yang digunakan sebagai tempat usaha lainnya, seperti membuka jasa cukur rambut dan kios jual-beli barang bekas. Menyusuri gang-gang di sana, layaknya berjalan di sebuah pasar.

Umumnya, warga Kampung Janis berprofesi sebagai pekerja informal. Para warganya bergelut dalam berbagai pekerjaan seperti pedagang kelontong,tukang cukur, buruh konveksi, penyablon, serta pedagang mainan anak-anak, makanan, sate dan alat-alat rumah tangga.

Sebagian adalah pedagang keliling yang menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki, naik sepeda, atau mendorong gerobak berisi dagangan mereka.

Ada juga pedagang yang memilih mangkal di beberapa lokasi di sekitar Pasar Pagi, pasar buah di sekitar Stasiun Kereta Api Angke, atau di tepian rel kereta api.

Beberapa warga lain membuka usaha jual-beli dan memperbaiki barang bekas atau memulung. Ada pula yang menjadi kuli panggul di pasar buah atau di pasar tak jauh dari lokasi itu.

“Memang saat ini tidak ada pilihan lain. Warga sini, kalau nggak jadi buruh ya dagang,” kata Rodiyah (53) seorang pedagang kue yang lahir di Kampung Janis pada 1963. Menggeluti pekerjaan di sektor informal, bagi masyarakat Kampung Janis, seolah menjadi tradisi secara turun-temurun.

Seperti yang diceritakan Rodiyah, latar belakang para orang tua pendahulu di Kampung Janis yang merupakan kaum urban dari pedesaan, menjadi sebab ‘tidak disiapkannya’ generasi penerus yang lebih baik.

“Punya anak, yang penting dibesarkan saja. Kalau sudah besar, biar mereka cari pekerjaan sendiri,” kata Rodiyah yang telah menjanda sejak 20 tahun silam. Penghasilan Rodiyah dari berjualan kue rata-rata Rp350.000 per bulan. “Buat jajanin empat cucu saya saja,” katanya.

Sementara itu, Tatang (58) yang tinggal di lokasi itu sejak 1954 membuka usaha jual-beli dan memperbaiki barang bekas mengaku penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Beruntung Istri Tatang, Nunung Hartati (54), ikut bekerja dengan berdagang kebutuhan pokok di rumah warungnya. Satu anak dan tiga cucunya masih tinggal bersama mereka. Dari pekerjaan itu, penghasilanTatang rata-rata sebulan Rp 1,5 juta dan pendapatan istrinya sehari Rp 50.000 sampai Rp 70.000.

Rendahnya pendidikan warga Kampung Janis dibenarkan oleh Samuti. Di RW 08 saja, kata dia, warga dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) mencapai 50 persen. Mereka umumnya adalah kaum-kaum tua yang lahir dalam rentang 1960-1990an. Para pemuda di sana juga relatif berpendidikan rendah, dengan rincian 25 persen lulusan SMP, 20 persen lulusan SMA dan lulusan perguruan tinggi hanya 5 persen.

Tingkat pendidikan yang rendah, menjadi fenomena sosial perkotaan yang ironis. Hal itu pula yang menyebabkan tingkat pengangguran di sana tinggi, mencapai 30 persen dari jumlah penduduk usia produktif.

“Masalah Jakarta tidak hanya soal banjir dan macet. Tetapi fenomena sosial seperti masyarakat miskin kota ini harusnya menjadi prioritas juga,” kata Samuti.

Bahkan Sumuti tidak menampik adanya persepsi di masyarakat luas bahwa Kampung Janis merupakan ‘kandang preman’. Dia menyebut itu sebagai salah satu protret dari kemiskinan masyarakat perkotaan. “Dari tahun 1985 sampai sekarang orang-orang pada segan kalau nyebut kampung ini. Memang benar, dulu ada beberapa preman dari sini yang disegani. Sampai sekarang pun masih ada generasinya. Hanya saja tidak separah dulu. Asal tamu yang ke sini sopan, mereka pasti segan.”


Dua Cerita
Nama sebuah kampung umumnya memiliki sejarah atau mitos. Jika tidak ada sejarah tertulis, cerita mengenai pembentukan maupun penamaan kampung biasanya diceritakan dari mulut ke mulut antar generasi.

Tetapi tidak demikian dengan Kampung Janis. Beberapa warga yang ditemui, mereka mengaku tidak mengerti dari mana asal-muasal penamaan Kampung Janis. Ada beberapa orang yang mencoba menjelaskan, tapi mereka juga tidak yakin dan urung melanjutkan cerita soal sejarah Kampung Janis.

Samuti menjelaskan, pada umumnya masyarakat Kampung Janis saat ini memang tidak tahu persis kenapa kampung itu kemudian disebut sebagai Kampung Janis. Tetapi, saat ini ada dua kepercayaan masyarakat setempat meskipun kebenarannya belum bisa dibuktikan secara pasti.

Pertama, kepercayaan mengenai keberadaan perempuan bernama Janis yang dulunya menempati daerah itu. Kepercayaan ini berkembang di masyarakat Janis setelah banyak warga sering menjumpai sosok itu kerap muncul di malam hari.

Beberapa warga yang pernah melihatnya, memberi kesaksian bahwa perempuan bernama Janis itu berwajah cantik, selalu mengendari pedati dan mengenakan pakaian kebesaran. “Sesepuh bilang Ibu Janis ini berasal dari Bugis,” katanya.

Tidak adanya catatan sejarah yang menjelaskan asal-muasal penamaan Kampung Janis mendorong beberapa orang untuk mencari jejak kampung itu melalui cara lain, yakni dengan cara penerawangan batin.

Menurut Sumuti, dari keterangan beberapa orang yang memiliki ‘ilmu’ itu, muncullah kepercayaan kedua bahwa Kampung Janis dulunya didirikan oleh seorang pangeran bernama Adnin Anin Janis.

“Jadi mereka melihat dulu di sini adalah sebuah kerajaan. Di tempat sekarang dibangun kantor Kelurahan Pekojan, menurut mereka merupakan pintu gerbang menuju kerajaan,” terang Samuti.

Dalam penerawangan itu pula, para pelaku ilmu batin itu mendapatkan petunjuk bahwa di sekitar Kampung Janis terdapat makam pangeran Adnin Anin Janis. Hanya saja, kata Sumuti, keberadaan makam tersebut sampai sekarang belum ditemukan. 

“Jarak waktunya sudah ratusan tahun. Di dekat makam pangeran itu, katanya terdapat semacam prasasti sebagai pertanda di sana adalah makam Pangeran Janis. Tapi untuk lokasi persisnya sampai sekarang belum ketemu,” katanya

Label:
3 Responses
  1. Unknown Says:

    Salam kenal Mas Feryanto. saya ibu Welly mau berbincang2 ttg kampung janis. bisa email ke saya no telp Mas Fery agar kita bs copy darat? trims ya


  2. Anonim Says:

    Saya pernah tinggal disini dari lahir smp thn 92.... terakhir kesana bulan feb 2020.... makin kumuh kayanya...


  3. Anonim Says:

    Saya warga kampung janis yg pindah ke tangerang, tapi tertarik untuk mengulik sejarah kampung kanis


Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini