Sampai saat ini, aku merasakan sebagai makhluk yang pernah membuat hati seorang perempuan menjadi retak. Aku pernah membuat seorang perempuan tertunduk dalam kelesuan dan kepedihan, mengisi detik-detik dengan hampa sambil mengatakan bahwa nasib cintanya tak seindah apa yang ia bayangkan. Itu terjadi karena cinta yang ia inginkan dariku, harapan agar jiwanya dan jiwaku tersauh, justru telah terjawab oleh kebisuan punggungku.
Di sini suatu saat, atau pada masa-masa kemarin saat aku dekat dengannya, aku tidak pernah menduga, kalau ternyata di sebelahku secarik wajah telah menemukan cinta atas kehadiranku pada kehidupannya, adanya diriku telah meredakan tangisnya dan merubah duka menjadi keindahan-keindahan, dan ia mempunyai harapan besar agar diriku bisa menjadi penyangga baginya, dalam sebuah pertalian cinta.
Akupun merasakan ketentraman yang bersahaja ketika berada di dekatnya, merasakan hawa kasih sayangnya yang senantiasa tercurah, sehingga akupun selalu rindu akan kehadirannya. Tapi ternyata aku telah salah menilai. Aku mengira perhatian yang ia berikan hanya sebatas perhatian yang saling membutuhkan, dimana ketika itu aku pula sedang berada pada fase-fase yang sepi, dan aku membutuhkan lawan bicara untuk sebatas menjadi sahabat hati, atau tempat untuk saling bercurah.
Maaf karena aku sempat mengambil keuntungan darimu, dari ketentraman yang pernah kau berikan. Namun ketika kudapati engkau mendambaku, ingin mengajakku berjalan pada sebuah jalan diantara kembang-kembang cinta, aku masih tetap disini, memilih ruang-ruang yang sepi dan mengabaikan ajakanmu untuk sampai pada pantai cinta yang kau inginkan.
Sadarku atas semua sikap dan ketidakpekaanku dalam menilai hatimu, dalam menghormati kesungguhan yang telah coba kau berikan. Namun apa yang harus aku perbuat, sementara aku telah meletakkan dirimu dalam hatiku dalam sebuah ruang biasa, dan aku tidak menaruh cinta yang lain selain cinta untuk persahabatan.
Hingga kemudian kudapati engkau pergi dalam ruang dan waktu yang berjarak, dan aku kehilangan sapaanmu, kehilangan senyum yang dulu senantiasa kulihat dari keceriaanmu, hingga akhirnya perjalanan waktu telah mengembalikanmu dan menyapaku, “Aku lara atas segala harapan cintaku yang telah lebur. Aku lara atas kesalahpahamanku, dimana aku mengira kau juga merasakan apa yang selama ini aku rasakan. Aku memandang dan berbicara kepadamu dengan cinta, tapi kau tak sedikitpun menganggap bahwa itu sebagai cinta.”
Apalagi yang bisa aku lakukan, sementara pada hatiku ia hanya tertulis sebagai sahabat. Tidak ada rasa yang lebih, selain rasa sayangku pada konteks persahabatan. Tak adil rasanya jika aku memaksakan hatiku untuk menyambut cintanya. Karena aku membayangkan betapa beratnya menjalani hubungan tanpa adanya pertemuan cinta, dan aku tidak mau menjadikan sebuah hubungan yang palsu.
Ah, sebenarnya aku tak tega membiarkannya hidup dalam kekecewaan dan mengisi hari-hari dengan perasaan yang tak tentu. Aku bisa merasakan apa yang terjadi pada hatinya, pada semua harapan yang telah terpilin di dalamnya.
Hingga kemudian dalam waktu-waktu sepiku, aku berupaya untuk meletakkan ego diri, dan membuat ikrar agar diriku bisa berusaha menumbuhkan cintaku kepadanya. Aku mencoba memandang hatinya dengan kebijaksanaan, membaca ketulusannya dengan penuh penghayatan, agar aku menjadi paham bahwa kekasihan yang ia berikan kepadaku begitu nyata, membuatku tersanjung, kemudian bisa menumbuhkan rasa cinta pada hatiku.
Dan detik pun terus berlalu, hingga pada suatu hari kau berkata kepadaku, “Kini aku harus pergi, dan aku akan menitipkan cintaku kepada segenap kenangan kedekatan kita. Biarkan aku berjalan sendiri, menikmati cintaku yang tidak mungkin tersambut olehmu. Maafkan jika mungkin aku tak akan kembali dan aku akan menjadikan jarak sebagai pembatas antara hatiku dan hatimu.”
Andaikata jiwamu tak lelah menunggu kesadaran cintaku dan hatimu tak putus asa menantikan lunaknya kekakuan perasaan ini, mungkin kini aku dan engkau sudah duduk dalam persinggahan cinta yang pernah kau mintakan kepadaku. Tapi kau sudah terlanjur menghilang, ketika aku sudah merasakan betapa damainya gerimis kasih sayang yang kau rintikkan pada hatiku sejak lama. Kini kau tiada, ketika aliran cintaku sudah mulai bisa menuju danau yang ada pada hatimu.
Di sini suatu saat, atau pada masa-masa kemarin saat aku dekat dengannya, aku tidak pernah menduga, kalau ternyata di sebelahku secarik wajah telah menemukan cinta atas kehadiranku pada kehidupannya, adanya diriku telah meredakan tangisnya dan merubah duka menjadi keindahan-keindahan, dan ia mempunyai harapan besar agar diriku bisa menjadi penyangga baginya, dalam sebuah pertalian cinta.
Akupun merasakan ketentraman yang bersahaja ketika berada di dekatnya, merasakan hawa kasih sayangnya yang senantiasa tercurah, sehingga akupun selalu rindu akan kehadirannya. Tapi ternyata aku telah salah menilai. Aku mengira perhatian yang ia berikan hanya sebatas perhatian yang saling membutuhkan, dimana ketika itu aku pula sedang berada pada fase-fase yang sepi, dan aku membutuhkan lawan bicara untuk sebatas menjadi sahabat hati, atau tempat untuk saling bercurah.
Maaf karena aku sempat mengambil keuntungan darimu, dari ketentraman yang pernah kau berikan. Namun ketika kudapati engkau mendambaku, ingin mengajakku berjalan pada sebuah jalan diantara kembang-kembang cinta, aku masih tetap disini, memilih ruang-ruang yang sepi dan mengabaikan ajakanmu untuk sampai pada pantai cinta yang kau inginkan.
Sadarku atas semua sikap dan ketidakpekaanku dalam menilai hatimu, dalam menghormati kesungguhan yang telah coba kau berikan. Namun apa yang harus aku perbuat, sementara aku telah meletakkan dirimu dalam hatiku dalam sebuah ruang biasa, dan aku tidak menaruh cinta yang lain selain cinta untuk persahabatan.
Hingga kemudian kudapati engkau pergi dalam ruang dan waktu yang berjarak, dan aku kehilangan sapaanmu, kehilangan senyum yang dulu senantiasa kulihat dari keceriaanmu, hingga akhirnya perjalanan waktu telah mengembalikanmu dan menyapaku, “Aku lara atas segala harapan cintaku yang telah lebur. Aku lara atas kesalahpahamanku, dimana aku mengira kau juga merasakan apa yang selama ini aku rasakan. Aku memandang dan berbicara kepadamu dengan cinta, tapi kau tak sedikitpun menganggap bahwa itu sebagai cinta.”
Apalagi yang bisa aku lakukan, sementara pada hatiku ia hanya tertulis sebagai sahabat. Tidak ada rasa yang lebih, selain rasa sayangku pada konteks persahabatan. Tak adil rasanya jika aku memaksakan hatiku untuk menyambut cintanya. Karena aku membayangkan betapa beratnya menjalani hubungan tanpa adanya pertemuan cinta, dan aku tidak mau menjadikan sebuah hubungan yang palsu.
Ah, sebenarnya aku tak tega membiarkannya hidup dalam kekecewaan dan mengisi hari-hari dengan perasaan yang tak tentu. Aku bisa merasakan apa yang terjadi pada hatinya, pada semua harapan yang telah terpilin di dalamnya.
Hingga kemudian dalam waktu-waktu sepiku, aku berupaya untuk meletakkan ego diri, dan membuat ikrar agar diriku bisa berusaha menumbuhkan cintaku kepadanya. Aku mencoba memandang hatinya dengan kebijaksanaan, membaca ketulusannya dengan penuh penghayatan, agar aku menjadi paham bahwa kekasihan yang ia berikan kepadaku begitu nyata, membuatku tersanjung, kemudian bisa menumbuhkan rasa cinta pada hatiku.
Dan detik pun terus berlalu, hingga pada suatu hari kau berkata kepadaku, “Kini aku harus pergi, dan aku akan menitipkan cintaku kepada segenap kenangan kedekatan kita. Biarkan aku berjalan sendiri, menikmati cintaku yang tidak mungkin tersambut olehmu. Maafkan jika mungkin aku tak akan kembali dan aku akan menjadikan jarak sebagai pembatas antara hatiku dan hatimu.”
Andaikata jiwamu tak lelah menunggu kesadaran cintaku dan hatimu tak putus asa menantikan lunaknya kekakuan perasaan ini, mungkin kini aku dan engkau sudah duduk dalam persinggahan cinta yang pernah kau mintakan kepadaku. Tapi kau sudah terlanjur menghilang, ketika aku sudah merasakan betapa damainya gerimis kasih sayang yang kau rintikkan pada hatiku sejak lama. Kini kau tiada, ketika aliran cintaku sudah mulai bisa menuju danau yang ada pada hatimu.
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Subhanallah.. Kapan ya saya bisa membuat tulisan sebagus dan sekeren ini... Hmmm.. sepuluh jempol untuk kak Feryanto hadi..
dari Lisda..
Terimakasih atas apresiasinya, Mbak Lisda.. Semua orang pasti punya bakat untuk menulis. Jadi, segera lakukan. Menulislah yang lebih indah.:-)