SECANGKIR CINTA DALAM DEKAPAN CUACA

 

Judul: Secangkir Cinta Dalam Dekapan Cuaca
Genre: Fiksi/Prosa
Tahun Terbit: Agustus 2010
Penerbit: Sendawai Publishing
Harga: 43.500

Ini adalah karya saya yang berbentuk Novel prosa. 
Petikan salah satu bab dalam buku ini:

Petikan salah satu bab

*AKU PERNAH MENJADI DAUN YANG TERBUANG

Kepada pagi aku telah berkata, bahwa embun sudah tak lagi mencintaiku. Dan pada saat yang sama aku marah kepada cahaya mentari yang telah menjadi sebab kepergian para embun dari hatiku. Pada udara aku mengeluh, karena ia telah berkompromi dengan ranting-ranting untuk mengusirku dari rumah yang telah sekian lama kusinggahi dan karena ulah udara itu juga aku terjatuh pada sebuah ladang yang asing.
Atas nama keusangan, aku pernah terbuang dari pertalian cintaku. Atas nama persaingan, aku telah menjadi daun yang tercecer di tanah asing dan kini aku hanya menunggu ada seseorang yang menyapuku dan membuangku di tempat sampah. Atas nama harapan cinta, aku benar-benar prihatin terhadap kemalangan cintaku sendiri.
Aku hanya selembar daun yang ingin selalu membungkus kecantikan wajahmu, melindungi dirimu dari gangguan cuaca dan menghangatkan jiwamu ketika hujan menjadi satu-satunya kehidupan di malam hari. Aku juga rela menjadi alas tidur ketika hatimu sudah letih akibat problema cintamu dengan kekasih terdahulumu.
Padahal kau telah menuliskan banyak kisahmu pada jiwaku dan aku dengan senang hati akan mendengarkannya, menjadi sandaran ketika kau mulai menitikkan airmata, ketika batinmu kembali tersayat oleh segenap ingatanmu mengenai kisah cintamu terdahulu. Aku rela menjadi yang terpilu ketika kau selalu membicarakan kenangan-kenangan manismu bersama dirinya. Akupun rela jika cintamu kepadaku begitu sederhana karena ketakutanmu terhadap bayang-bayang masalalu cintamu.
Tapi kenapa kau kini mencampakkanku? Kenapa setelah semua pengorbanan kulakukan kau justru membalasnya dengan melemparkan serpihan matahari yang telah menimbulkan rasa gundah yang luar biasa bagi diriku?
Dulu kau pernah punya keyakinan bahwa akulah tabib yang sanggup mengobati luka hatimu. Dulu kau berjanji bahwa kau akan membuang masalalumu, dan memasrahkan sepenuhnya masa depan cintamu kepadaku. Dulu kau berjanji ini dan itu. Tapi nyatanya, kau sendiri yang menarik segala ucapan, dan pergi tanpa meninggalkan sebuah jejak, selain catatan janjimu yang kau ukirkan pada dinding hatiku.
Benar katamu, menjadi yang terbuang memang sakit. Benar juga apa yang pernah kau katakan, memang sulit melepaskan luka atas janji yang tak dilakoni,
Ah, alangkah nestapanya diri ini. Tahukah bahwa ketika kau meninggalkanku dulu, aku mengalami duka cita yang begitu panjang dan pedih. Duka cita yang kurasakan bukan karena aku kehilangan dirimu, akan tetapi aku merasa telah kehilangan penyatuan cinta yang selama ini telah kujadikan sebagai salah satu sumber motivasi dalam setiap aktifitasku.
Pada setiap kesepian waktuku, aku lebih banyak berkaca kepada cermin diri tentang segenap kenangan kasihku yang jatuh pada lubang kepedihan, dan aku tiada pernah berkata tidak untuk cinta yang melarakan ini. Biarlah aku saja yang merasakan bayangan keindahan cinta itu, biar aku merasakan duka dan menghikmati semua keperihan ini, dan biarkan saja aku duduk sendirian dalam singgasanaku, meresapi betapa sepinya hidup ini, ketika aku berada dalam ambang batas kerinduan dan tak ada sesiapapun kini yang bersedia menghampiriku dengan senyum cintanya.
Tiada lagi dalam heningku harapan-harapan menggapai hari-hari bahagia bersamamu. Justru kini aku lebih banyak datang pada pemikiranku, mengambil sebuah jeda atas hiruk-pikuk yang terjadi didalamnya, dan tiba-tiba saja kutemukan hari-hari yang telah berlalu, senja begitu cepatnya berjalan pada rumah malam, dan aku aku makin menyadari bahwa diriku masih begitu terbius dengan kehidupan duniawiku, aku masih begitu bernafsu untuk menggapai kepuasan indraku.
Selepas kepergianmu, tidak banyak yang bisa aku lakukan selain berusaha untuk menanggalkan kepedihan yang kurasakan. Sesal dan pedih memang wajar jika ada, tapi terlalu naif jika keadaan-keadaan itu kupergunakan sebagai penjara yang membelenggu jiwaku, yang menghambat perjalananku.
Atas hal itu aku telah meminta kepada alam, bahwa aku ingin meleburkan keperihan ini dalam dunianya. Hingga aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan kisah-kisah itu, aku akan berpisah dengan segenap lara yang telah kupahami bahwa laraku itu hanya akan membunuhku secara perlahan.
 — 

Label:
0 Responses

Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini