Bersahabat Dengan Alam di Kampung Naga







Namanya tidak biasa; Kampung Naga. Banyak orang menghubungkan kampung ini dengan sosok naga. Adapula yang mengira namaKampung Naga diambil karena di daerah tersebut banyak buah naga. Tetapi kedua pendapat itu salah. Kampung Naga sama sekali tidak berkaitan dengan kedua hal itu.

"Sama seperti kampung lainnya, Kampung Naga tidak ada hubungannya dengan sosok naga atau buah nagaNaga sendiri berasal dari kata sunda Gawier yang berarti kampung yang dikelilingi tebing," kaata Mang Ndut Suganda (45), warga setempat yang juga menjadi pemandu bagi masyarakat yang berkunjung ke Kampung Naga.

Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer atau 45 menit, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.

Kampung Naga tersohor karena masyarakatnya masih memegang adat budaya, mempertahankan cara hidup dengan alam meskipun dikepung oleh peradaban modern. Untuk menuju kampung ini, dari jalan besar Tasikmalaya-Garut, harus melalui tangga sejumlah 439, yang sudah ditembok sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Jaraknya, kira-kira 500 meter sebelum sampai di tepian sungai Ciwulan. Jalan setapak, diapit Kali Ciwulan dan hamparan persawahan mengantar kita ke dalam lingkungan Kampung Naga.

Pada sisi sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakatKampung Naga. Di sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh hutan larangan dan utara adalah parit-parit tempat mengalirnya air ke persawahan.

Untuk areal perkampungan seluas 1,5 hektar sendiri, dibatasi oleh pagar yang dipasang memutari kampung. Penduduk setempat dilarang mendirikan rumah di luar pagar tersebut.

"Memang ada beberapa larangan adat di sini. Ada aturan adat. Seperti misalnya di Hutan Larangan, masyarakat tidak boleh mengaambil apapun dari hutan itu," kata Mang Ndut.

Memasuki area perkampungan, mata akann disambut dengan pemandangan rumah-rumah yang memiliki bentuk sama. Seperti umumnya suku sunda, rumah-rumah di Kampung Naga berbentuk panggung. Dinding maupun langit-langit rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang. Lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap ke utara atau ke sebelah selatan dan memanjang kearah barat-timur.

Desain rumah pun dibuat sama, pintu ruang tamu dan pintu dapur menghadap ke depan. Pintu ruang tamu dibuat tertutup dengan kayu, sedangkan pintu dapur dibuat dengan anyaman sesek. Kata Mang Ndut, penggunaan pintu anyaman sesek dimaksudkan untuk mengetahui keberadaan orang di dapur dari luar rumah.

"Selain itu untuk antisipasi kebakaran juga. Semua bahan rumah di sini kan terbuat dari benda-benda mudah terbakar. Jadi, kalau ada api dari dapur bisa kelihatan dari luar sebelum api membesar," jelasnya.

Cara memasak warga Kampung Naga masih tradisional, menggunakan tungku. Di area dalam dapur, masyarakat memiliki lumbung padi, biasanya berukuran 1,20x2,5 untuk menyimpan gabah dan beras. Untuk penerangan, masyarakat setempat masih menggunakan lampu tempel dan lampu petromak karena memang di sana tidak menggunakan listrik.

Meski demikian, banyak penduduk setempat yang memiliki televisi dan handphone. "Kalau televisi tidak dilarang, cuma kita menggunakan aki sebagai energinya. Begitu juga bagi yang memiliki handphone, nge-charge-nya ya di luar kampung ini," jelas Mang Ndut.

Sedangkan untuk kamar mandi, hanya ada beberapa di kampung itu, sebagai kamar mandi bersama. Letaknya, di sisi luar areal perumahan.

"Kamar mandi di luar, kandang di luar disebut masyarakat sini sebagai tempat kotor. Kalau tempat bersih itu rumah sebagai tempat tinggal."

Kesederhanaan



Kampung Naga saat ini memiliki 108 kepala keluarga, dengan jiwa 314. Jumlah bangunan, termasuk rumah dan fasilitas umum seperti masjid dan gedung pertemuan, ada 113. Di area tengah kampung, terdapat tanah lapang. Masyarakat setempat menyebutnya alun-alun. Tempat yang berdekatan dengan masjid dan gedung pertemuan itu kerap digunakan masyarakat untuk berkumpul atau berolahraga. Di sekitar alun-alun itu pula, beberapa rumah menjual aneka kerajinan seperti anyaman, tatakan, caping, alat musik dari bambu dan sebagainya.

Mayoritas masyarakat menggantungkan hidup dari bertani dan membuat kerajinan dari kayu dan bambu. Cara hidup yang serba sederhana inilah yang membuat banyak orang ingin mencoba menginap di sana, di rumah-rumah penduduk.

"Banyak yang pengin ngerasain nginep di sini. Katanya, ingin tahu bagaimana hidup secara sederhana. Tidak hanya orang lokal, banyak juga orang asing yang menginap di sini. Tapi sampai sekarang kami menolak kampung ini disebut tempat wisata. Kami hanya terbuka serta ingin membagi cara hidup sederhana dan bersahabat dengan alam kepada orang-orang yang datang ke sini," jelas Mang Ndut.

"Ada cerita lucu bagi tamu yang menginap di sini. Semisal mereka pergi ke luar ke kamar mandi, banyak yang lupa rumah yang ditinggalinya. Banyak yang salah masuk rumah, karena bentuk semua rumah sama," kisah Mang Ndut.

Sehubungan dengan aktifitas warganya sebagai petani, Mang Ndut mengatakan mereka memiliki dua musim tanam, Januari-Juli dan Juli-Desember. "Sambil menunggu panen, warga juga membuat berbagai kerajinan dari bahan bambu dan lidi aren. Bahkan beberapa jenis kerajinan kami dijual sampai ke Amerika oleh tengkulak," katanya.

Memegang tradisi nenek moyang, dalam setahun warga Kampung Naga menggelar enam kali upacara adat seperti upacaara tahun baru Islam, malud nabi, sambut ramadan, idul fitri, peringatan jumadil akhir dan pada idul adha. Ada beberapa ritual khusus yang dilakukan saat upacara tersebut dengan semua warga mengenakan baju adat warna hitam, yang dinamakan baju kampret.

"Kami juga punya hari tabu, yakni selasa, rabu, sabtu. Intinya, pada hari-hari itu tidak dipakai kegiatan-kegiatan adat," ungkap Mang Ndut.


Sejarah Kampung Naga



Dikutip dari situs www.disparbud.jabarprov.go.idKampung Naga memiliki sejarah yang cukup panjang. Bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Saat itu, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat.

Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebutKampung Naga.

Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat KampungNaga. Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya.

 Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga.

Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati seperti Pangeran Kudratullah, dimakamkan di Gadog Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai pengetahuan Agama Islam.

Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, dimakamkan di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan". Kemudian Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan".

Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di Mataram Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau kekayaan. Sunan Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian.


Tips Berwista Kampung Naga

Dari Jakarta, Kampung Naga bisa ditempuh melalui dua rute yakni melalui Jakarta-Nagrek-Tasikmalaya-Singaparna-Kampung Naga dan rute Jakarta-Nagrek-Garut-Kampung Naga. Disarankan melalui rute kedua, karena jarak tempuh lebih cepat sekitar satu jam.

Jika menggunakan transpotasi umum, dua rute tersebut juga dilalui bus. Jika melalui Tasikmalaya, dari Jakarta bisa naik bus PO Budiman jurusan Jakarta-Tasikmalaya dengan biaya Rp70.000-Rp90.000. Dari terminal Tasikmalaya, naik elf jurusan Garut turun di Kampung Naga, biaya Rp10.000. Waktu tempuh untuk rute ini sekitar 7-8 jam. Jika melalui Garut, dari Jakarta bisa naik bus PO Karunia Bhakti jurusan Jakarta-Singaparna, turun di Kampung Naga. Tarifnya, Rp70.000 dengan waktu tempuh 6-7 jam.

Disarankan menggunakan jasa guide yang merupakan warga setempat agar bisa menggali lebih jauh mengenai Kampung Naga. Guide tidak mematok biaya khusus, namun, seorang guide mengaku kerap menerima imbalan Rp50.000-Rp200.000 untuk menemani rombongan keKampung Naga. Para pemandu ini banyak ditemui di lokasi parkir.

Pagi hari merupakan moment yang baik datang ke Kampung Naga karena bisa menyaksikan secara langsung aktifitas warga di sawah atau warga yang sedang membuat kerajinan di rumah-rumah mereka.

Label:
3 Responses
  1. Unknown Says:

    Terima kasih buat tulisannya, bermanfaat

    gak sabar mau ke tasik :)


  2. Feryantohadi Says:

    sama2 mbak dewi. termakasih sudah berkunjung


  3. Unknown Says:

    aku mau nanya deh,kalau di kampung naga itu bisa menginap dimana yah? apa ada penginapan untuk rombongan ?


Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini