Kisah Para Supir Bemo di Benhil





Asap rokok mengepul dari mulut lelaki itu. Tak lama kemudian, ia mengangkat sebuah gelas dan menyeruput kopi dari dalamnya. Di beberapa kesempatan, ia menawarkan kepada para pejalan kaki untuk naik ke becak motor atau bemo miliknya.

Sore itu Ruslan (43) sedang beristirahat, selagi menanti bemo yang dikemudikannya terisi penuh oleh penumpang. Lokasi mangkalnya, di sekitar Jembatan Kali Siragil, Jalan Bendungan Hilir Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

"Ya begini, kadang ramai, kadang sepi. Tidak beda jauh sama orang berdagang," kata Ruslan kepada Warta Kota, Jumat (27/6).

Menjadi pengemudi bemo sejak 1986, Ruslan sudah banyak menuai madu-garam. Rasa syukur terhadap pekerjaan yang menjadi semangatnya untuk terus menikmati pekerjaan itu. Tetapi, ia sering pula merasakan tahun-tahun redup, dimana pada moment itu ia benar-benar merasa "menghadapi kehidupan yang keras".

"Jelang 1990, rumah saya di Karet digusur. Bemo milik bapak saya dijual. Terpaksa saya harus berpindah-pindah tempat, narik bemo milik orang. Pernah di Klender (Jakarta Timur), di Tanjung Priuk (Jakarta Utara), sebelum akhirnya saya bawa bemo di Benhil sampai sekarang," kisahnya.

Ruslan berpikir, pekerjaan apapun, asal dijalani dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, pasti akan menuai hasil. Ia bersama rekan-rekan pengemudi bemo lainnya di Benhil, biasanya mencari penumpang dalam dua sesi, pukul 06.00-12.00 kemudian pukul 14.00 sampai malam hari sekitar pukul sepuluh.

Membawa bemo orang dengan setoran Rp40.000 perhari, pria yang kini menetap di Bogor ini berpenghasilan bersih rata-rata Rp50.000 per hari.

"Semuanya sudah diatur sama yang di atas. Dengan penghasilan segitu, saya sudah bisa membesarkan dan menyekolahkan mereka hingga SMA dan sekarang mereka sudah menikah dan bekerja. Mereka sudah mandiri," katanya.

Tetapi, 'kesuksesan' Ruslan itu butuh pengorbanan besar. Semenjak keluarganya pindah ke Bogor, ia sendirian di Jakarta. Masalah tidur, ia tidak begitu mempersoalkannya.

"Tidur saya ya di bemo atau dimana saja. Tidur bukan jadi masalah penting bagi saya. Daripada ngontrak, mending uangnya saya tabung buat ngirim ke rumah," katanya.

Hartoyo (55), pengemudi bemo lain di Benhil, bilang bahwa pada 1990an, bemo menjadi transportasi favorit di kawasan Benhil, Pejompongan, Karet dan Tanah Abang. Adanya angkot dan bajaj pun tak menjadi masalah atau tidak dianggap sebagai pesaing. Justru, semakin banyak masyarakat yang menggunakan sepeda motor membuat penumpang bemo lambat laun menjadi berkurang.

"Untungnya penumpang di Benhil sampai sekarang masih bagus. Cuma rutenya saja yang diperpendek, sejak 1996, dari Pasar Benhil sampai ke Pejompongan, tidak lagi sampai Tanah Abang. Umumnya para ibu-ibu yang akan belanja ke Pasar Benhil, anak sekolah dan para pekerja," kata Hartoyo.

Tarif penumpang bemo di Benhil antara Rp2000-Rp2.500. Hartoyo mengatakan, dengan masih banyaknya penumpang bemo, ia bisa mengantongi penghasilan bersih Rp100.000 sehari. "Itu sudah dipotong uang setoran Rp40.000 dan buat beli bensin campur 12 liter sehari," kata Hartoyo, yang sudah menjadi supir bemo di Benhil sejak 1989.

Dengan penghasilan itu, Hartoyo rutin mengirimkan uang setiap bulan kepada keluarganya di Tegal, Jawa Tengah.

Yang Muda Jalankan Strategi




Bemo-bemo milik juragan di kawasan Benhil menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat urban. Setidaknya, masih ada 100 bemo yang beroperasi setiap harinya. Masing-masing pengemudi, mendapatkan penghasilan berbeda-beda.

Mayoritas pengemudi bemo di sana berasal dari Tegal, Pekalongan, Bumi Ayu, Bogor. Di antara puluhan pengemudi senior di sana, tampak wajah-wajah pengemudi berusia muda.
Arie (20), misalnya. Pemuda asal Pekalongan, Jawa Tengah itu mengaku bangga dengan profesi yang digelutinya sekarang.

"Sebelumnya saya bekerja di beberapa MLM (Multi Level Marketing). Tapi lama-lama capek, karena pada nggak jalan. Akhirnya ikut bapak saya menjadi supir bemo di Benhil," katanya.

Meskipun awalnya ia under-estimate, toh sekarang dia sudah bisa menikmati hasil manis dari pekerjannya sebagai pengemudi bemo. Itu didasari atas semangatnya dalam bekerja ditambah pikiran kreatifnya untuk mendulang rezeki di tanah rantau.

"Saya tidak malu jadi supir bemo. Kenapa harus malu, orang kerjaan saya halal. Bahkan saya bisa dapat penghasilan lumayan dari kerjaan saya ini," katanya.

Tidak tanggung-tanggung, Arie mengontrak tiga bemo sekaligus kepada seorang juragan dengan harga satu bemo Rp400.000 untuk sewa satu bulan. Satu bemo ia bawa sendiri. Dua bemo lain ia pekerjakan kepada orang lain dan ia mendapat setoran setiap hari.

Alhasil, Arie kini berpenghasilan lebih tinggi dibandingkan dengan para supir bemo lainnya. "Saya sendiri saya tiap hari penghasilan bersih antara Rp100.000-Rp150.000. Belum ditambah setoran dari dua bemo lain yang saya sewakan," katanya.

"Alhamdulillah baru setahun di sini, saya sudah bisa kredit dua motor sekaligus dan masih bisa nabung," imbuh Arie.

Bemo di Benhil Paling Jos



Bidang transportasi merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi di Jakarta, pada era pembangunan sekitar tahun 1960. Semisal, becak motor atau karib disebut bemo. Kendaraan roda tiga ini telah masuk dan merambah beberapa wilayah di Indonesia pada 1961-1962 atau jelang digelarnya pesta olahraga Ganefo. Masuknya transportasi ini, membuat jalanan Jakarta saat itu, ramai.

Seiring perjalanan waktu, pemerintah melarang beroperasinya bemo di beberapa kota, termasuk di Jakarta seperti di kawasan seperti Menteng dan Tanjungpriuk. Para pengusaha dan pengemudi bemo pun pindah ke tempat-tempat dimana bemo masih beroperasi. Saat ini, bemo masih bertahan di Benhil, Grogol, Kota, Manggarai dan Klender.

Jalur Bemo dari Bendungan Hilir awalnya mencapai pasar Tanah Abang. Namun ketika jalur pasar Tanah Abang semakin macet maka, jalur Bendungan Hilir – Tanah Abang pun dibagi dua. Jalur pertama adalah jalur Bendungan Hilir sampai Pejompongan. Jalur kedua, dari sekitar daerah Karet  hingga pasar Tanah-Abang.

"Dari sekian banyak trayek yang tersisa, bemo-bemo di Benhil inilah yang paling terawat. Coba lihat di tempat lain, bemo yang bodinya sudah rengsek saja masih dipakai buat narik," kata Hartoyo (55), pengemudi bemo lain di Benhil.

Perawatan secara rutin, baik untuk mesin, interior maupun eksterior selalu dilakukan sebagian besar pengemudi bemo. Mereka mengaku ikhlas melakukan itu, meskipun bemo-bemo itu bukan milik mereka sendiri.

"Itu salah satu strategi biar bemo kita dinaikin orang. Kalau lihat bemonya bagus kan orang seneng naiknya. Makanya, bodi kita cat ulang dan selalu kita cuci. Kalau urusan mogok sih itu jangan ditanya, sering sekali. Namanya juga mesin tua. Biasanya mogoknya kalau pas lagi macet, mesin jadi panas," timpal Ruslan.

Untung saja, para penumpang paham dan tidak marah jika tiba-tiba bemo mogok di tengah jalan. "Paling murung aja, tapi mereka nggak marah. Biasanya kalau mogok langsung dioper ke bemo lainnya," kata Ruslan.

Bemo-bemo itu bermesin Daihatsu, mesin dua langkah dengan kapasitas 305 cc. Satu bemo bisa menampung tujuh penumpang, enam di belakang dan satu di depan, di samping supir. Hampir semua bemo di Benhil maupun di daerah lainnya, saat ini tidak memiliki kelengkapan surat.

Ruslan menyebut, beberapa suku cadang mesin masih bisa didapatkan dengan memesan ke bengkel langganan mereka, di Karet atau di Tanah Abang.

"Tapi ada juga yang sudah tidak ada suku cadangnya. Biasanya diakalin aja sama bengkelnya," katanya. Biaya perawatan bemo pun tidak sedikit. Sekali ke bengkel untuk service dan ganti suku cadang, kata Ruslan, bisa habis ratusan ribu. "Kalau turun mesin, minimal habis Rp800.000. Jadi para supir selalu menyediakan uang khusus untuk perawataan."

Para pengemudi bemo meminta kepada pemerintah untuk melestarikan bemo dan tidak menghapusnya dalam waktu dekat ini.

"Ini kan bagian dari sejarah transportasi di Indonesia. Bahkan sekarang banyak kolektor yang nyari bemo, untuk dikoleksi. Masih banyak pula masyarakat yang menyewa bemo hanya untuk jalan-jalan saja atau buat syuting," kata Ruslan

Label:
0 Responses

Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini